Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Membenci Diri Sendiri (a)
Tidak ada yang bisa menahan Meta untuk tidak menumpahkan air matanya, baik hari ini, sebelumnya, maupun lusa. Bahkan dirinya sendiri kehilangan kendali, Meta tidak bisa mempertahankan nyawanya sendiri dari Beni.
Karena ada yang harus ia lindungi, Risa. Dan Meta juga tidak ingin orang lain menjadi korban demi menyelamatkan dirinya dan Risa. Setiap malam ia selalu memikirkan hal ini, bagaimana caranya bisa lepas dari Beni dan membuat laki-laki itu bertanggung jawab atas kejahatannya. Tapi Meta tak pernah menemukan solusi, hingga akhirnya yang bisa ia lakukan adalah bertahan. Sampai Meta punya caranya.
Setelah mengusir Aksel tanpa belas kasih, sekarang Meta mengurung diri di kamar. Ada perdebatan kecil dengan Risa sebelum ia berhasil masuk ke sini, dan sekarang Meta malah membenci dirinya sendiri. Rasa bencinya terhadap Vina ikut bertambah besar saat melihat komentar-komentar menyakitkan teman-temannya di sekolah.
Kasihan, ya, Meta. Kalau gue jadi dia, gue nggak akan pernah maafin mama kandung gue. Perempuan kayak dia nggak pantas jadi mama gue.
Hati Meta semakin diremas kuat, membaca satu per satu komentar itu melenyapkan pelan-pelan kebaikan di hatinya.
Nggak kebayang Meta punya ayah jahat kayak gitu, suka mukul. Mendingan papa gue, pendiam, cuek, tapi sayang dan peduli banget sama gue.
"Hidup gue bukan ajang perbandingan siapa yang lebih beruntung," gumam Meta dengan mata yang sudah memerah. "Simpan rasa kasihan lo buat orang lain, gue nggak butuh!"
Meskipun menolak dengan keras, bersusah-payah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, Meta tetap menggulir layar hingga ke bawah. Terus membaca tanggapan dari beberapa orang di sekolah yang meninggalkan komentarnya di sana.
Mungkin orang tua Meta nggak mau dia lahir, hasil hubungan diluar nikah kali. Makanya dikasih ke orang, eh malah dapat keluarga angkat miskin dan nggak harmonis. Ayahnya suka mukul lagi!
Kayaknya, sih, iya. Siapa juga yang tega ninggalin anaknya sama orang lain, kalau bukan orang-orang yang punya anak diluar nikah?
Rahang mungil Meta mengeras, tatapannya menghunus tajam layar persegi panjang di genggamannya. Dadanya sudah berdebar kencang, emosinya naik-turun tidak bisa ditenangkan. Sampai ketika Meta mengangkat ponsel, hendak melemparnya ke dinding, sebuah panggilan grup berupa video menghentikannya. Mengejutkan Meta yang sedang marah.
Meta mencoba menenangkan diri, menghalau emosinya yang hampir meluap. Kemudian menggeser tombol untuk menjawab.
"Ta? Lagi apa, sih, kenapa nggak angkat telepon kami dari kemarin? Gue kangen banget sumpah!" heboh Wulan sambil memelas, menunjukkan rasa iba dan rindunya. "Lo ke mana aja sampe nggak ada kabar sama sekali?"
"Apaan, sih, lo berisik banget!" tukas Kayla sambil mengerutkan keningnya, kesal dengan reaksi berlebihan Wulan. "Bocah kayak lo ini seharusnya lagi belajar, ngapain ikutan gabung panggilan grup?"
Seketika Wulan cemberut. "Gue tabok lo, Kay!" ancamnya kesal. "Gue kangen banget sama Meta, nih."
"Maaf, ya, gue bikin kalian khawatir." Meta berujar lirih, pelan dan sedih. Kedua matanya tak bisa berbohong untuk saat ini.
Renata yang melihat reaksi itu langsung mengerti, lebam di wajah Meta sudah memudar dan nyaris hilang. "Nggak apa-apa, Ta, semua orang punya masalah, nggak cuma lo. Lo pasti butuh waktu sendirian untuk menerima keadaan ini," katanya, mencoba memahami Meta dan perasaannya.
"Udah dulu, ya? Gue mau istirahat."
Tanpa menunggu reaksi teman-temannya, Meta langsung memutuskan sepihak panggilan grup tersebut. Meta takut tidak bisa menegakkan bahunya seperti biasa di hadapan Wulan, Kayla, dan Renata. Meta tidak ingin membuat sahabatnya itu semakin cemas. Lalu memilih untuk rebahan, tidur dan beristirahat adalah keputusan paling baik.
...***...
Jika di rumah Meta tidak ada ketenangan dan kemewahan, di rumah besar milik orang tuanya, Putra justru mendapat limpahan kasih sayang. Untuk ketenangan dan sejenisnya tidak perlu dipertanyakan, sudah jelas anak tunggal keluarga kaya ini mendapatkan apapun keinginannya.
Seperti halnya saat ini, ketika Putra mengajak ayah dan ibunya berbincang di ruang keluarga. Dan keinginannya pun tidak main-main, mempertaruhkan nama baik keluarga.
"Putra, kamu sudah memikirkan rencana kamu itu dengan matang? Berhadapan dengan Beni bukan perkara mudah, papa dan Mama bahkan tidak bisa lepas dari dia sampai sekarang. Dia sangat licik!"
Sang ibu, Andria, menatap putranya dengan gelisah, khawatir itu pasti, apalagi akan mempertaruhkan nyawa. Jelas ia tidak mau anaknya kenapa-napa. Begitu juga dengan sang ayah, Davin, yang sedang menimbang keputusan.
"Aku tahu, Ma. Kalau aku gagal, aku akan mencoreng nama baik keluarga. Tapi dengan bantuan kalian, aku yakin nggak akan gagal," ucap Putra meyakinkan, menatap ayah serta ibunya bergantian.
Putra melihat ayahnya sedang menatap ibunya, seakan bertanya apa keputusan yang baik untuk ia ikuti. "Kalau menurut Papa, kita bisa menyerang Beni kalau bukti yang kita kumpulkan sangat kuat. Sampai tidak ada cara bagi Beni untuk mengelak, atau bahkan mencari celah untuk melarikan diri. Teman-temannya banyak, bahkan anggota kepolisian, kalau dia dipenjara, hukumannya pasti diringankan. Kalau kamu bisa memikirkan bagaimana caranya, Papa dan mama akan bantu kamu," jelas sang ayah.
"Maksud kamu, Putra yang menyusun rencana sendiri?"
Davin mengangguk. "Dia yang punya rencana, Ya. Tugas kita berdua cuma membantu," ujarnya.
"Terus kamu membiarkan Putra dalam bahaya? Putra itu dalam pengawasan Beni sekarang, kalau dia yang menyusun rencana, bakal ketahuan!"
"Nggak akan, Ya. Percaya sama aku, anak kita ini pintar dan banyak akal. Putra akan meringkus Beni suatu hari nanti, aku percaya dia bisa!"
Andria menjadi kesal, di sampingnya, Davin melemparkan senyuman yang membuat Putra sangat senang. Dukungan keduanya adalah anugerah paling indah yang Tuhan berikan, Putra akan tetap mengabdi pada Andria dan Davin selamanya.
"Makasih, Pa, udah percaya sama aku." Putra tersenyum tipis, melihat Davin yang sedang diacuhkan ibunya.
"Kamu nggak peduli perasaan Mama, Tra?"
"Ma, aku sayang banget sama Mama, gimana aku bisa nggak peduli sama Mama?"
Wajahnya Andria semakin memerah menahan kesal, apalagi Davin sudah terkekeh di sampingnya seolah meledek.
"Terus kenapa masih keras kepala? Kamu bahkan nggak mau dengerin nasehat Mama!"
"Ma, aku mau menyelamatkan Bu Risa sama Meta, mereka sama seperti kita. Mereka korban."
Andria berdecak. "Kamu pasti lebih sayang sama Risa ketimbang Mama."
Putra tertawa geli. "Siapa bilang? Mama lucu kalau lagi ngambek gini," godanya pada Andria.
"Tra, Mama sayang banget sama kamu. Janji nggak akan kenapa-napa!"
"Aku tahu! Mama sama papa sayang banget sama aku. Tapi Mama harus ngerti, aku tetap nggak bisa jauh dari Bu Risa dan Meta. Dan aku janji nggak akan kenapa-napa."
Tiba-tiba suasana yang menyenangkan tadi berubah menjadi keresahan dalam kegelapan. Rasa cemas di hati Andria dan Davin perlahan membesar, mereka tak menyangka putra kesayangan mereka telah beranjak remaja. Tumbuh menjadi pemuda tampan berhati malaikat, tapi tak menjadi milik mereka seutuhnya.
Davin yang melihat reaksi sedih Andria langsung memeluk istrinya, lalu sengaja berbisik. "Putra pasti suka sama anaknya Bu Risa!"
Andria langsung memukul lengan Davin karena berujar sangat keras, Putra yang mendengarnya pun langsung tersenyum malu.
Kentara banget, ya?