Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).
Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.
Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 : No Turning Back
~Happy Reading~
Junseok masih bergulat dengan lelaki itu, cengkraman tangannya berusaha merebut senapan, punggungnya bertabrakan dengan rak, buku-buku berjatuhan, berpindah ke dinding. Haekyung siaga, menunggu pria itu mendekat ke arahnya—
Seoyeon menutupi mata Haekyung dari belakang. Haekyung bergerak sigap merebut tangan wanita itu kemudian menggigitnya. Dia menjerit kesakitan.
Tidak ada kepala sekolah lagi di sini! Yang ada mereka harus bertahan hidup!
Taera melirik buku kamus super tebal, menyambarnya kemudian menggebuk belakang tengkorak Seoyeon keras-keras menggunakan kamus yang besar. Seoyeon ambruk, Haekyung bebas.
Tubuh Seoyeon melemas ketika Taera menyeret wanita itu ke dalam lemari. Singkirkan dulu satu orang ini, agar Junseok dan Haekyung bisa berurusan dengan Daehwan, dua lawan satu.
Tepat di dalam lemari, Taera merasakan tubuh Seoyeon berubah dari sekarung kentang menjadi harimau liar yang mematikan. Berteriak seperti kucing besar, mencakar-cakar dan menggedor-gedor, menendang, mengamuk. Taera melangkah mundur, takut pintunya rusak digedor-gedor kesetanan seperti itu.
Junseok kalah. Dia bisa merasakan tangannya terlepas dari senapan. Tulang rusuknya menjerit kesakitan dalam setiap tarikan napas. Dia mencoba menendang Daehwan lagi. Namun meleset, si kurus ini sigap juga menghindarnya.
Kepala Daehwan tersentak ke samping, dihantam menggunakan gagang pisau di tangan Haekyung Pria itu terhuyung dan terpelanting ke lantai, senapan itu terlepas dari tangannya.
Haekyung menggenggam pisau, menatap orang itu dengan sorot tajam, mengawasi gerakannya, menunggu. Sementara Junseok melangkah mendekati pria itu, cukup dekat untuk mencium bau napasnya. Bau anggur murah dan gusi busuk.
Junseok mendorong pria itu ke tembok sebagai balasan sudah membuatnya bertabrakan dengan rak buku.
Dia menghindar dari pukulan Junseok, berlutut. Sesuatu jatuh dari kantongnya, pisau saku, terlipat rapat. Jari-jemari pria itu merangkak di atas karpet, berniat meraih pisau. Namun Junseok menginjak tangannya keras-keras hingga terdengar bunyi retak, dia menjerit kesakitan, ditendangnya pisau itu hingga melesat dari jangkauan. Ketika dia berdiri, Junseok meninju hidungnya, mengayunkannya dengan liar, mengenai dadanya, bahunya, dagunya, menendang tulang keringnya.
"Stoooop!" pekiknya.
Jari-jari besar milik Junseok membungkus kerah kaos pria itu, membantingnya ke lantai hingga tercipta debuman keras. Junseok menatap pria itu. Mereka berhadap-hadapan sekarang. Matanya kalut. Milik Junseok terbakar amarah.
Pria itu mencoba menggeliat. Tapi kerah kaosnya masih dicengkram Junseok. Terlalu keras sampai-sampai rasanya seperti dicekik. Junseok terdiam, menikmatinya, menunggu sejauh mana dia akan melawan.
Tangan pria itu berusaha menggapai-gapai ke atas, mencoba mencekik leher Junseok.
DUAKK! Junseok membenturkan dahi pria itu ke tembok terdekat. Pria yang kondisi wajahnya memprihatinkan itu meraung-raung, menderita. Cairan berwarna merah mengalir turun dari dahinya.
Rasa sakit yang nyata dan rasa sakit yang memancar di dalam hati membuat Junseok seperti kabel hidup pada aki mobil, melejitkan otot-ototnya. Caci-maki sang ayah memenuhi pikirannya, mengaburkan akal sehat Junseok.
"Pecundang! Lebih baik kau mati! Jangan pulang ke rumah sambil menangis seperti perempuan! Kau bikin malu!"
Itulah yang selalu diteriakkan ayahnya.
BUAKKK!! Junseok kembali menyumbangkan bogem mentah di wajah pria itu hingga batuk-batuk mengeluarkan darah.
Kali ini Junseok menginjak kuat-kuat telapak tangan sebelah kiri sampai terdengar bunyi tulang retak. Junseok berlutut dihadapan pria itu lalu mencengkram pipinya kuat-kuat. Wajah itu penuh lebam dan babak belur kiri kanan. Kedua sudut bibirnya robek dan mengeluarkan darah. Di bawah hidungnya juga ada sisa darah yang mengering.
Meskipun Junseok samar-samar menyadari ini adalah tempat yang berbeda di waktu yang berbeda, di pikirannya Junseok hanya melihat Dia. Wajah marah sang ayah. Junseok menduduki wajah pria itu, tinju menghancurkan wajahnya.
Junseok memukulnya untuk kedua kalinya. Ketiga kalinya.
Kemarahan mengambil alih. Seperti cairan hitam yang mengisi paru-parunya, keluar dari pori-porinya, menyelubungi kedua matanya. Junseok tidak bisa lagi melihat kebenaran. Atau mendengar teriakan di belakangnya. Satu-satunya indera yang tersisa adalah sentuhan, dan semua yang Junseok rasakan adalah rasa sakit di tangannya ketika menghantam wajah pria itu. Junseok bangkit, sol sepatunya ikut campur.
Injak keras-keras.
Satu injakan lagi.
Setiap satu injakan membuat dada Junseok sakit, menggelegak di luar kehendak. Mulutnya terus memuntahkan kata-kata kotor dan beracun, memuntahkannya untuk Dia.
"Junseok!"
Itu bukan suara pria itu. Itu suara Haekyung. Tiba-tiba, sudah berdiri di belakangnya, menyeret Junseok menjauh dari tubuh pria itu.
"Berhenti," katanya. "Demi Tuhan, berhenti!"
Junseok menghabiskan beberapa detik pertama untuk melepaskan diri dari cengkeraman Haekyung, meronta-ronta dan menggeram. Seekor anjing liar terperangkap oleh tali.
Junseok baru tenang setelah matanya melihat darah. Ada noda merah gelap di tangan Haekyung. Melihatnya membuat Junseok berpikir dirinya telah menyakiti Haekyung. Perasaan menyesal tiba-tiba membuatnya tersadar.
"Hyung," Junseok terkesiap. "Kenapa tanganmu berdarah?"
Dia keliru. Itu bukan darah Haekyung.
Junseok terkesima melihat tangannya sendiri berkubang dalam noda merah gelap. Darah. Darah yang sama yang ada di telapak tangan Haekyung. Darah yang sama yang menetes-netes dari kepalan tangan Junseok, menetes ke lantai membentuk genangan kecil dekat sepatunya, menodai kaos Junseok, titik-titik percikan darah menghiasi pipi dan leher Junseok.
Sebagian kecil miliknya.
Sebagian besar tidak.
"Hyung? Apa yang terjadi?"
Alih-alih menjawab, Haekyung melepaskan pegangannya sambil menghela napas, sudah tau Junseok tidak bakal ke mana-mana. Dalam sekejap, dia berjongkok di samping pria itu. Junseok mengintip wajah pria itu. Apa yang tersisa darinya. Matanya bengkak. Hidungnya yang pecah mengeluarkan darah gelap. Dia tidak bergerak. Dua jari Haekyung menekan lehernya, mencari denyut nadi. Ekspresi khawatir muncul di wajahnya.
"Hyung?" Junseok mulai pusing, ketakutan, shock. "Dia masih hidup, kan?"
Penglihatan Junseok kabur.
"Hyung?"
Haekyung tidak mengatakan apa-apa. Masih tidak mengatakan apa-apa saat kedua jarinya menjauh dari leher pria itu. Masih tidak mengatakan apa-apa ketika dia memungut pisau yang tergeletak di lantai lalu mengantonginya. Bahkan ketika dia menyeret Junseok menjauh dari tempat kejadian.
Junseok sesak napas. "Apa yang kulakukan, hyung? Aku membunuh orang itu?"
"Tidak apa-apa," Haekyung menepuk-nepuk pundak Junseok. "Kau melakukan yang seharusnya kau lakukan, daripada dia yang membunuhmu."
Bernapas menjadi tugas yang sangat berat. Setiap asupan udara terhambat oleh gemetar cemas. Setiap tarikan napas disertai ganjalan di tulang rusuk.
"Dengar," Haekyung mencoba menghibur Junseok. "Kupikir dia masih hidup."
Junseok ingin sekali mempercayainya, namun badan pria itu tidak bergerak-gerak lagi.
"Tidak," Junseok menggeleng. "Aku membunuhnya."
"Aku merasakan denyut nadi."
"Kau yakin?"
"Ya," ucap Haekyung. "Aku yakin."
Kali ini Junseok bisa bernapas lebih mudah. Helaan napas lega.
"Kita harus memanggil bantuan," tekad Junseok.
"Kita tidak bisa melakukan itu, Junseok."
"Tapi dia harus dibawa ke rumah sakit, hyung!"
"Kita tidak punya ponsel, ingat?"
Junseok mulai terengah-engah lagi. Kekurangan udara segar membuat Junseok pusing. Atau mungkin itu hanya karena pengaruh shock.
Nada Junseok tajam dan kasar. "Kenapa hyung tidak membantuku?"
"Kau kelihatan tidak butuh bantuan."
"Dia punya pisau!" Amarah Junseok kembali memuncak. "Kau hanya berdiri dan menonton."
"Aku ingin melihat apa yang akan kau lakukan."
"Sekarang aku berubah jadi pembunuh! Puas? Kenapa kau tidak mencoba menghentikanku?"
"Pertanyaan yang harus kau tanyakan adalah, mengapa kau tidak mencoba menghentikan dirimu sendiri?"
Begitulah cara Haekyung mengatakannya, dengan ekspresi datar.
Kemarahan mendidih di dada Junseok.
"Begini ya, kalau kita mengalah, yang mati kita. Makanya aku membiarkanmu menghabisi pria itu." Haekyung menepuk-nepuk punggung Junseok. "Dia pantas mendapatkannya."
BRAAAKKK! Pintu lemari berhasil didobrak dari dalam hingga engsel dan daun pintunya terlepas. Taera tercengang melihat wanita itu bergerak cepat ke arahnya, menjambak rambutnya lalu mendorong Taera menabrak pintu kamar mandi hingga terbuka. Tubuh Taera menghantam lantai, dia terkapar di sana, ngilu sebadan, berdenyut-denyut menyiksa kepala.
Mata Haekyung mendarat di senapan yang masih tergeletak, Haekyung mengoper pisau di tangannya ke tangan Junseok.
"Coba saja ambil." Cowok itu menyeringai bagai kuda, memberi peringatan. "Saya jamin saya lebih cepat."
Adrenalin memenuhi Seoyeon. Tangannya terbang ke senapan itu. Namun Haekyung lebih dulu menyambarnya.
Dia benar. Dia lebih cepat.
Masih berguling kesakitan di dalam kamar mandi, Taera mendengar suara tembakan. Meledak di udara, membuat dinding bagian luar bergetar.
Peluru melesat. Percikan cairan panas memerciki wajah Haekyung.
Terpincang-pincang Taera jalan ke pintu, matanya melotot melihat Seoyeon merosot jatuh. Sebuah genangan darah tipis mulai mengalir keluar dari bawah tubuhnya, menyebar dengan cepat.
Dia tidak bergerak. Taera bahkan tidak yakin dia masih bernafas.
"Taera?" Haekyung beralih menatap cewek itu, panik, cemas melintas di wajah tampannya. "Kau baik-baik saja?"
Bahkan dalam cahaya redup, Taera bisa melihat kilau mata Haekyung saat dia menurunkan senapannya.
Haekyung bergegas memeluk Taera, mengusap-usap kepala cewek itu. "Maaf... maaf aku tidak bisa melindungimu."
"Tidak..." Taera menangis, pundaknya bergetar pelan, dia benci dirinya yang cengeng ini. "Kau sudah membantuku, terima kasih sudah melakukannya untukku."
Junseok menatap genangan darah di lantai. Seoyeon belum juga menandakan tanda-tanda akan bangkit melawan balik. Jadi... sekarang ada dua orang pembunuh di ruangan ini.
Haekyung tidak menganggap dirinya seperti itu. Dia menikmati berpelukan dengan Taera. Menikmati statusnya sebagai pahlawan satu-satunya di hati gadis itu.
Oh iya...
Junseok baru ingat...
Jiha!
.
.
Bersambung...
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami