Rena Agnesia merasa sial saat tertimpa musibah, namun takdir itu mengantarkannya bertemu Jojo Ariando, pangeran tampan yang membuat hatinya meleleh.
Rena menjalin cinta jarak jauh dengan Jojo, seorang pria tampan nan dingin yang dikelilingi banyak wanita karena talentanya dalam pengobatan herbal.
Akankah mereka bersatu setelah konflik yang terus menghalangi cinta mereka? Mampukah Jojo memantapkan pilihan hati ke sosok Rena Agnesia di saat seorang rival berat hadir membayangi?
Saksikan romansa mereka hingga puncak manis yang didamba setiap insan di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Pilihan
Malam itu, Rena sedang menunggu kabar dari Jojo. Kemarin ia telah meminta agar Jojo mau mengabarinya setiap hari.
Tak lama, ponsel Rena pun menunjukkan sebuah pesan dari Jojo.
"Aku di rumah", hanya itu saja.
"Iih, dasar egois!", Rena dibuat kesal karena pesan Jojo yang terlalu singkat. Sama sekali tak ada kesan perhatian, malah hanya seperti sebuah laporan.
Rena pun segera membalas pesannya.
"Dear, sayangku, cintaku, pangeranku. Tolong kalau berkabar yang romantis lah. Jangan seperti mesin penjawab yang kaku dan monoton. Okey?", tulis Rena.
"Ya Ay", balas Jojo, membuat Rena geram dan mengepalkan tangan.
"Sudah romantis sih, tapi ya ngga sependek itu juga dear", protes Rena.
"Ya Ay-------------------------------------------------------------", tulis Jojo agar terlihat panjang.
"Iiiiiih keseeeeel! Dasar paijooooo!", balas Rena tak lagi bisa menahan rasa kesalnya.
Beberapa saat pun berlalu, namun Jojo tak lagi membalas pesan Rena.
Saat gadis itu tengah menanti balasan, terdengar lah suara panggilan di ponselnya.
"Paijo!", pekik Rena langsung menjawab tanpa melihat siapa yang memanggil.
"Ha? Siapa Paijo?", terdengar suara Abdul di ujung telepon.
Sontak Rena menjauhkan ponselnya dan melihat id pemanggil.
"Sial! Wak Abdul ini mengganggu saja!", batin Rena.
"Na, Rena. Kamu masih di sana kan?", panggil Abdul.
"I, iya pak. Ada apa?", tanya Rena, enggan berurusan dengan Abdul dan langsung menanyakan tujuan Abdul menelepon.
"Tumben kamu langsung angkat panggilan saya. Begitu seharusnya", ujar Abdul terdengar bahagia. Namun Rena tidak menjawab dan fokus mendengarkan saja.
"Em, bagaimana pendapatmu tentang Salsa?", Abdul ingin tahu perkembangan Salsa setelah sehari pelatihan.
"Lumayan lah pak. Dia belajar dengan baik", sahut Rena sekenanya.
"Bagus, berarti mentornya pintar", puji Abdul. Namun gadis itu tidak menggubris.
"Sudah ya pak, saya tutup teleponnya", ujar Rena sembari menutup telepon.
"Hufh, apaan sih? Ngga paijo, ngga Salsa, ngga Tini, apalagi wak Abdul, bikin jengkel semua", gumam Rena.
Tak lama, ponsel Rena kembali berdering dengan id Abdul nampak di layar.
" Apa lagi ini?", keluh Rena sembari menerima panggilan itu.
"Iya pak", terdengar suara Rena yang malas menjawab.
"Kamu kok seenaknya menutup telepon. Kan saya belum selesai!", marah Abdul.
"Iya pak, maaf", sahut Rena masih malas menanggapi Abdul.
"Apalagi yang bisa kamu ketahui tentang Salsa?", nampak Abdul ingin mencari tahu lebih dalam tentang Salsa dan perkembangan potensinya.
"Ya begitu lah. Tadi sudah saya sampaikan. Cuma, tadi sore dia pulang dijemput mobil dan sopir pribadi", ungkap Rena.
"Sopir pribadi?", tanggap Abdul yang juga heran.
"Mungkin anak orang kaya yang mencari hiburan dengan bekerja", sahut Rena, mengutarakan pendapat.
"Yah, tak apa. Selama menguntungkan salon kita, itu tidak mengapa", tanggap Abdul sembari mengingat biodata Salsa saat melamar kerja.
"Nah, sekarang ceritakan keluhanmu selama seharian ini", Abdul mencoba mencari alasan agar bisa berbicara panjang lebar dengan Rena.
"Tidak ada keluhan, semua baik-baik saja", nampak Rena ingin segera mengakhiri panggilan.
"Ngga mungkin. Ada apa sebenarnya antara kamu dan Salsa. Juga, siapa Paijo? Bukankah pacarmu bernama Ari?", terdengar Abdul mulai mencampurkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.
"Hanya urusan mentor dan trainee. Tidak ada yang lain. Selebihnya bukan urusan bapak", jawab Rena terdengar ketus, tak ingin terjebak untuk curhat kepada Abdul.
"Kamu kan pegawaiku. Jadi, apa yang mengganggu performamu, itu juga urusanku", Abdul mencoba mencari celah agar bisa melakukan pendekatan.
"Performa saya baik, bapak bisa periksa di kolom aplikasi komentar pelanggan", jawab Rena sudah mulai jengah. Ingin rasanya ia mematikan ponsel dengan alasan baterai lemah.
"Sudah ya pak, saya lelah, butuh istirahat. Saya tutup telepon ya, baterai saya juga sudah lemah", ungkap Rena. Semangatnya lah yang sebenarnya melemah. Rena menunggu sejenak, berharap Abdul tidak mengganggunya lagi, setidaknya untuk malam ini.
"Hufh", Rena menghela nafas lega.
Di sisi lain, Salsa yang baru saja sampai di kamarnya, segera membersihkan diri dan merebahkan tubuhnya ke ranjang. Di pangkuannya terdapat sebuah tab 10 inchi yang menampilan rekaman seminar Jojo. Ia selalu menyempatkan diri hampir setiap hari hanya untuk memandangi wajah Jojo yang tengah menjelaskan.
"Kapan kau akan terima lamaranku mas Jo?", lirih Salsa sembari menghentikan video dan memperbesar tampilan wajah Jojo di layarnya.
"Muuuah", terdengar suara Salsa mencium wajah Jojo di layar tab miliknya.
"Selamat malam mas Jo", ujar Salsa sembari memeluk tab bergambar wajah Jojo.
"Semoga kita berjodoh dan bisa bersatu dalam pernikahan", batin Salsa, tersenyum memandang langit-langit kamar, membayangkan dirinya tengah berbahagia dalam pernikahan bersama Jojo.
Puas berhayal, Salsa memeriksa akun sosial media pribadi milik Jojo Ariando dan menemukan beberapa postingan Jojo bersama seorang perempuan.
"Hm, seharusnya aku yang ada di sampingmu mas", gumam Salsa memandangi sosok perempuan yang sengaja difoto dari belakang. Gadis itu pun memperbesar sosok perempuan itu, penasaran.
"Sepertinya familiar dengan orang ini", lirih Salsa, merasa punggung sosok perempuan di samping Jojo itu pernah ia lihat.
"Ah, terserah. Selama kamu belum menikah, kesempatanku terbuka lebar. Kalau pun kamu sudah menikah, islam masih memberi kelonggaran agar aku bisa jadi yang kedua", batin Salsa sembari tersenyum, mengusap lembut foto Jojo. Baginya, pernikahan harus benar dalam memilih calon imam seperti sosok Jojo, juga tidak mengiringinya dengan tindakan kriminal atau pun zina, itu lebih penting daripada sekedar meributkan monogami atau poligami.
Keesokan hari, Rena bersama bu Sri berbelanja bahan coto makassar. Ia harus belajar membuat masakan itu dengan rasa mendekati contoh yang dibawa Jojo tempo hari.
"Buk, apa ngga bisa ibuk buatin bumbu saset saat aku nanti memasak di rumah mas Jojo? Biar enak dan mudah", usul Rena saat memilih bahan makanan.
"Ya ngga jujur itu namanya. Kapan ibu mengajari kamu menipu? Kalau dia jodohmu, maka pasti kalian disatukan. Jika bukan, nikahi Abdul saja. Dia siap menerimamu apa adanya, kaya, baik, kurang apa lagi coba?", ujar bu Sri sembari membayar bahan yang ia pilih.
"Apaan sih buk? Aku ngga suka sama wak Abdul. Dia tuh lebih tua dari mas Rafa", ungkap Rena, sontak bu Sri menoleh ke arahnya.
"Ya ngga apa-apa. Namanya mapan itu butuh proses dan Abdul sudah menunjukkan keberhasilannya", tanggap bu Sri yang memang lebih setuju jika Rena dinikahi Abdul.
"Iih, ibuk", kesal Rena menghentakkan kaki. Ia merasa hampir selalu kalah berdebat dengan ibunya.
"Jahat! Masa ibuk mau jual aku demi uang tanpa peduli perasaanku?", protes Rena seraya berbalik menuju parkiran, meninggalkan bu Sri.
Tak lama, bu Sri menyusul dan naik di boncengan Rena.
"Na, tidak semua yang kamu suka pasti baik. Ibu sudah mengalami dan membuktikan itu selama menikah. Semua bergantung bagaimana kamu memposisikan hatimu, sebagai orang yang mau menerima atau selalu menuntut", tutur bu Sri dalam perjalanan pulang.
"Memangnya ibuk bisa bahagia kalau sedari awal sudah benci dengan pasangan ibuk?", Rena tidak bisa menerima perkataan bu Sri.
"Mungkin ibu tidak bahagia, tapi berpikir rasional dan menempatkan hati untuk menerima, itu lebih tenang untuk kehidupanmu ke depan", bu Sri menanggapi dengan rasional.
"Ah, mana bisa buk? Nyatanya ibuk nikah sama bapak karena sudah jatuh hati kan?", kritik Rena.
"Memang, tapi ibu dulu tidak seberuntung kamu, didekati pria setampan Jojo dan pria semapan Abdul. Pilihan ibu cuma duda tua kaya atau pemuda miskin seperti bapakmu", ungkap bu Sri.
"Masa sih? Kayaknya ibuk pernah cerita deh, saat itu diinginkan saudara bapak yang sudah jadi militer tapi wajahnya jelek. Nyatanya ibuk ngga mau kan?", protes Rena. Bu Sri kali ini diam, tak bisa membantah.