Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Damar
Wiratama menatap penampilan Damar dari kepala hingga kaki. Hari ini ada kiriman ular, sehingga dia dipanggil untuk bertugas, sekalian ia ingin melihat benarkah pemuda itu bisa menangani ular seperti yang dia akui.
Penampilannya yang seperti pak guru di hari ketika dia datang melamar kerja telah ditanggalkan.
Hari ini, Damar datang hanya mengenakan celana jeans yang digulung hingga lutut, berpinggang sangat rendah, hampir di garis duyung. Dan bertelanjang dada.
Pertama kali melihatnya, mata Wiratama hampir jatuh dari rongganya karena membelalak sangat lebar.
"Emang harus banget penampilan lo kayak tukang selancar begini?" Wiratama mendengkus sambil merotasi matanya.
"Gak boleh, Bang? Aku pikir takut kecipratan darah, biar gak usah nyuci baju." Damar mengikat rambut panjangnya.
'Bukan gak boleh, gua kan jadi minder.' Batin Wiratama, sebab ia jadi membandingkan dengan tubuhnya sendiri, yang mulai gemuk seperti bapak-bapak pejabat, padahal pegawai negeri pun ia bukan.
Ketika mengenakan kemeja kemarin, Damar tampak kurus. Tetapi sekarang, Wiratama melihat tubuhnya ramping dengan otot-otot kering yang terbentuk sempurna. Tidak terlalu menonjol sampai menggembung, tetapi tampak liat.
Perutnya bahkan rata, dengan garis-garis yang seolah dipahat dengan hati-hati oleh seorang seniman patung yang ahli.
Entah olah raga apa yang dilakukan pemuda itu, hingga dia memiliki tubuh seelok ini di usia sembilan belas.
Wiratama tidak pernah bertanya apa pekerjaan lain yang dia lakukan ketika tidak ada kiriman ular. Dia berhak mencari penghasilan lain, karena kiriman ular hanya datang sekali-sekali.
Jika hanya mengandalkan penghasilan dari upah memotong ular, mana cukup untuk makan?
"Gak buka celana sekalian? Kalau takut kecipratan darah, bukannya celana lo juga bisa kecipratan? Alasan aja lo! Mau pamer, bilang!" Wiratama bersungut-sungut, "Terserah lo lah."
Wiratama melengos meninggalkan Damar yang menyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
'Untung kerjanya tengah malam,' Pikir Wiratama. Ia tidak ingin Qing Qing melihat penampilan 'tidak senonoh' pemuda itu.
Di jam saat Qing Qing berangkat sekolah nanti, pekerjaan ular sudah selesai dan Damar pasti sudah pulang.
Wiratama mengamati Damar bekerja. Bagaimana dia mengeluarkan ular dari karung, lekas menangkapnya sebelum melata jauh. Dengan cekatan memegang sisi kepalanya, meletakkan di talenan, kemudian memotongnya, lalu membeset kulitnya dan meloloskan kulit itu dari tubuh ular.
"Lumayan juga kerja lo." Wiratama memuji dengan tulus.
"Kepake, Bang?" Mata Damar berbinar.
"Hm," Wiratama menjawab singkat.
"Lo beneran gak mau pegang belut juga? Belut lebih sering datang."
"Enggak ah, Bang. Ular aja, lebih keren kan? Lebih laki," Damar meringis.
"Lo kerja mau dapat uang atau mau cari keren?"
"Yang pasti bukan buat uang, Bang. Kan datangnya jarang-jarang. Aku cuma mau merasa jantan, he he..."
"Dasar!" Wiratama mendengkus, tapi tak ayal, hatinya merasa lucu.
Ia mengamati Damar lagi. Meskipun di tengah malam, karena mengeluarkan tenaga, dan udara Bekasi sangat pengap akibat lama tidak turun hujan, keringat meleleh di dadanya.
Mata Wiratama mengikuti lelehan keringat itu. Ya, mengikutinya, mengalir dari dagu Damar, jatuh ke dadanya, terus turun ke perutnya, semakin ke selatan, dimana ada bulu-bulu halus memanjang dari pusar, ke garis duyungnya...
Sampai sini, Wiratama membuang pandang. Tabpa sadar meraba perutnya sendiri yang telah mulai melebar. Hah, indahnya masa muda.
Padahal, Wiratama sendiri belum tua. Ia memang telah menginjak usia tiga puluh delapan. Tapi karena tidak pernah berolah raga, ia tidak memiliki tubuh yang berotot, bahkan sudah mulai kelebihan lemak di beberapa tempat.
Di kiriman-kiriman ular berikutnya, Damar selalu tampil seperti itu, celana jeans yang digulung hingga lutut, dan bertelanjang dada.
Wiratama tidak pernah lagi menegurnya.
Sebaliknya, ia menikmati keindahan ragawi di depan matanya. Seperti perempuan suka melihat perempuan bertubuh indah. Siapa bilang lelaki tidak bisa mengagumi lelaki lain?
Suatu siang, Wiratama mendengar suara dua orang, laki-laki dan perempuan. Sesekali, suara sang perempuan terpekik, dan suara sang laki-laki tertawa.
Suara itu berasal dari area kolam belut. Itu jelas suara Qing Qing. Tapi, dengan siapa anak itu sedang bercanda? Lelaki itu bukan suara Tuan. Lagipula, Tuan sedang ke Cina.
Dengan kening berkerut, Wiratama berjalan menuju ke area kolam belut.
Dan, ia tertegun.
Damar dan Qing Qing berjongkok berdampingan di tepi salah satu kolam. Qing Qing mengulurkan tangan, mencoba menjepit belut tanpa hasil. Karena sangat licin, belut itu selalu lolos dari tangannya.
Qing Qing tertawa, mendesah kesal, lalu memekik ketika melihat Damar dengan mudah menjepit belut itu.
"Ahhh... kenapa aku gagal terus!" Qing Qing merengut cemberut. "Aku mau coba lagiii... Pokoknya harus berhasil!"
"Lihatin caranya, Abang tunjukkin." Damar mendemonstrasikan bagaimana cara menjepit belut agar tidak lolos.
'Abang?' Wiratama mencibir sinis.
"Bukan, jangan digenggam pakai telapak tangan, tapi dijepit pake tiga jari tengah. Kayak gini nih."
Qing Qing ikut membentuk jari-jarinya di darat. "Kayak gini?"
"Naahh... iya. Sekarang, ayo coba jepit belutnya. Kita balapan ya, siapa yang lebih cepat dapat."
"Gak mau, kamu kan udah jago. Aku belum berhasil. Kalau aku udah lancar, baru deh kita balapan. Sekarang latihan aja dulu."
"Ookke..." Damar setuju.
Mereka sama-sama mengulurkan tangan ke dalam kolam. Setelah dua tiga kali gagal, akhirnya Qing Qing berhasil.
"Awwww... aku berhasil!" Dia berjingkrak-jingkrak seraya mengacungkan belut yang terjepit ajeg di antara jari-jarinya. "Sekarang, ayo balapan!"
"Ehem!" Wiratama berdeham, kesal karena sejak tadi diabaikan. Dan hatinya meradang melihat betapa dekatnya mereka.
Saking asyiknya, mereka bahkan tidak menyadari kehadirannya.
"Eh... Bang," Damar gugup. "Ini... dia minta diajarin nangkap belut."
"Ngapain lo datang jam segini? Lagian, hari ini kan gak ada kiriman ular."
"Eh... itu, kemarin dompet aku ketinggalan, Bang. Tadinya mau ambil dompet, tapi ketemu Qing Qing, dan dia minta diajarin nangkap belut."
"Iya... Pak Wira. Damar boleh ya main sama aku? Aku senang punya teman sebaya. Jadi gak cuma berkutat sama Pak Wira, Mama dan Papa doang," ujar Qing Qing.
Hati kecil Wiratama tentu saja tidak rela. Ia telah was-was ingin mencegah mereka bertemu, justru karena takut mereka berkenalan dan menjadi akrab, karena usia mereka yang tidak terpaut jauh.
Selain menganggap Damar tidak pantas berteman dengan Qing Qing, entah mengapa, ia merasa tersingkir.
Namun, karena ini permintaan 'anaknya', Wiratama tidak mampu menolak.
Karena itu, sambil tersenyum masam,
dengan terpaksa, ia mengangguk.
byk yg qu skip krn byk yg g penting
karyawan baru emg hrs byk belajar g salah jg mirna menyuruh bangun dini hari
Kejutannya di karya ini adalah ternyata Qing Qing dan Dara Sepupuan.
ahh terpaksa komentar di bagi bbrpa kna kepanjangan wkwkwkwk
semangatt ka Dela👍👍👍
spt cinta Damar dan Qing Qing, tak ada yg salah sama Cinta mereka, wlpn Qing Qing 14 thn dan Damar 19 thn, mereka iya salah kna terpancing gelora muda hingga MBA... tapi jika spt ungkapan ada hukum sebab akibat bkn kah Damar dan Qing Qing sudah mendapatkan nya?