Mengandung Benih Kakak Ipar

Aya tampak mengerti jika Wisnu tengah memperhatikan dirinya. Gadis itu menundukkan wajahnya dan berusaha untuk tidak memperdulikan tatapan sang kakak ipar.

"Bisa nggak sih nggak usah lihatin kek gitu! Bikin parno saja, nyebelin!" umpat Aya sambil beranjak duduk di samping Wisnu yang sudah siap seratus persen menikahi gadis yatim piatu itu.

Pada dasarnya Wisnu sudah tahu jika Aya bukan adik kandung Anna, sehingga tidak akan ada masalah jika dirinya menikahi gadis itu, hanya saja Aya tidak memakai wali nikah karena ayahnya sudah meninggal.

Gadis itu cukup bersedih saat prosesi ijab kabul dilakukan. Ia tidak pernah bermimpi untuk menikah dengan cara seperti ini, menikah dengan kakak iparnya sendiri.

"Maafkan aku, Mbak Anna. Aku tidak bermaksud merebut suamimu. Aku juga tidak bisa menghindari semua ini. Tapi aku berjanji, aku akan mengembalikan suamimu lagi. Mas Wisnu akan tetap menjadi suamimu," batin Aya sembari merremas ujung selendang putih yang dikenakannya.

"Saya terima nikah dan kawinannya Ayana Pratistha binti Abdullah dengan mas kawin emas seberat 250 gram, uang tunai sebesar 50 juta, rumah dan isinya dibayar tunai!"

Mendengar Wisnu mengucapkan Kabul, Aya terkejut lantaran mahar yang diberikan oleh Wisnu sangat berbeda dengan mahar yang masih kepada Anna, istri pertamanya. Wisnu hanya memberikan mahar 5 juta dan emas seberat 25 gram kepada wanita itu.

"Kenapa maharnya beda dengan mahar yang diberikan untuk Mbak Anna? Mahar Mbak Anna dulu nggak sebesar ini? Mas Wisnu dapat uang dari mana? Bukannya Suudzon sih, tapi apa dia punya tabungan sebesar itu? Dia kan cuma seorang karyawan? Terus! Rumah dan isinya? Apa mungkin rumah ini dia maharkan untukku?" pikir Aya heran, karena bagaimanapun juga yang ia tahu jika Wisnu hanya karyawan biasa yang bekerja di sebuah perusahaan, tentu saja gajinya cuma pas-pasan.

Seketika Aya dibuat terkejut dalam lamunannya saat semua mengatakan jika pernikahannya sudah sah bersama Wisnu meskipun secara agama.

"Alhamdulillah, Non. Sekarang Non sudah menjadi istri Tuan Wisnu, selamat ya!" ucap Bi Asri yang terlihat begitu bahagia. Namun tidak dengan Aya, gadis itu tetap saja terlihat cuek dan tidak peduli.

"Sebenarnya tidak perlu mengatakan selamat, Bi. Karena pernikahan ini juga nggak akan lama kok! Ini kan cuma untuk kepentingan si bayi!" balas Aya.

"Jangan bicara seperti itu, Non! Tuan Wisnu menikahi Non bukan semata-mata demi bayi ini saja, tapi demi Non juga. Dia ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya sama Non. Harusnya Non bersyukur dong Tuan Wisnu masih peduli!" ucap Bi Asri.

"Kok Bibi malah ngedukung dia sih! Aku nggak mau dicap sebagai pelakor, Bi. Kek wanita murahan saja jadinya. Nikah diam-diam, bunting lagi. Sempurna sudah dia bikin hidupku sengsara!" Tanpa sadar, ucapan Aya didengar oleh sang kakak ipar yang sekarang menjadi suaminya.

"Siapa bilang kamu adalah pelakor? Aku tidak pernah merasa kamu rebut. Justru aku yang menginginkannya. Kamu dan anak itu adalah tanggung jawabku, paham!"

"Tapi, Mas!"

"Aku tidak mau ada bantahan lagi! Mulai saat ini kamu adalah istriku. Apapun yang terjadi padamu, itu adalah tanggung jawabku. Haruskah aku mengatakannya berkali-kali supaya kamu paham, Aya! Kamu, tanggung jawabku!" Wisnu berkata dengan tegas tepat di hadapan Aya. Gadis itu hanya bisa menghela napas berat dan kali ini ia tidak bisa membantahnya lagi.

Setelah ijab kabul dilakukan. Aya tampak pergi ke kamarnya. Kondisi kehamilannya membuat gadis itu merasa tak nyaman. Belum lagi rasa mual muntah yang semakin membuatnya malas untuk bangun.

Bi Asri terus menemani Aya, sedangkan Wisnu tampak masih mengobrol serius dengan Ferry di ruang depan.

"Aduhhh, Bi. Perutku rasanya nggak nyaman banget! perut mual kek ditusuk-tusuk, ya Tuhan sampai kapan aku tersiksa kek gini, Bi?" rintih Aya dengan suara beratnya.

"Sabar ya, Non! Cuma sebentar kok, paling cuma 3 atau 4 bulan. Ini wajar terjadi pada wanita yang sedang hamil muda. Non Aya mau makan apa? Biar Bibi ambilkan! Dari pagi Non belum makan sesuatu loh, kasihan bayinya!" seru Bi Asri menawarkan.

"Nggak usah, aku nggak mau makan, aku mau tidur saja!" jawabnya singkat. Di saat yang bersamaan, Wisnu datang ke kamar, ia sudah menyelesaikan urusannya dengan Ferry dan sebelum kembali ke rumah, ia ingin memastikan istri keduanya baik-baik saja.

"Ada apa, Bi?" tanya pria itu saat melihat Aya yang sedang berbaring dalam kondisi lemas.

"Eh Tuan, anu itu Tuan. Non Aya nggak mau makan, dari pagi belum makan apa-apa loh, saya jadi khawatir!" jawab Bi Asri. Wisnu menghela napas lalu menyuruh Bi Asri mengambil makanan untuk istrinya.

"Bibi ambilkan saja, biar nanti aku yang mengurus!" seru Wisnu.

"Baik, Tuan!" Bi Asri segera pergi untuk mengambilkan Aya makan. Sayangnya, Aya tidak suka dan gadis itu menolaknya.

"Aku nggak lapar, Mas! Perutku mual banget dari tadi, kamu ngerti ngga sih!" sahut Aya sembari menunjuk ke perutnya.

Mendengar keluhan istrinya, Wisnu mendekati Aya dan duduk di samping wanita itu.

"Kamu mau apa, Mas? Jangan dekat-dekat! Jangan mentang-mentang sekarang aku adalah istrimu, kamu bisa seenaknya menyentuh!" sergah Aya yang sedikit menggeser tempat duduknya.

"Kenapa kamu harus panik? Aku tidak akan macam-macam, aku cuma ingin bicara dengan anakku, apa tidak boleh?" seru Wisnu dengan santai.

"Apa? Bicara dengan bayi ini? Untuk apa? Tidak usah!" sahut Aya dengan tegas menolak.

"Aku cuma mau bisikin sesuatu sama dia, biar kamu nggak mual-mual lagi, kalau kamu sakit gimana? Aku tidak bicara denganmu, aku cuma bicara dengan anakku, bisa, kan?" seru Wisnu memohon.

Agaknya Aya mulai berpikir, mungkin jika dengan bisikan ayahnya bisa membuat bayinya tenang dan ia merasa lebih baik. Bukankah Bi Asri tadi bilang seperti itu? Pikir gadis itu.

"Baiklah, tapi ingat! Jangan lama-lama! Aku mau istirahat!" sahut Aya ketus.

"Terima kasih banyak. Boleh aku pegang perutmu!" pinta Wisnu. Aya pun terkaget setengah mati mendengar permintaan sang suami yang ingin memegang perutnya.

"Hah? Yang benar aja dong, Mas? Masa pegang perut?"

"Kalau bukan perut, apa lagi? Kan bayinya ada di dalam perut. Emangnya kamu hamil di bayinya di dalam punggung?" celetuk Wisnu yang seketika membuat wajah Aya bersemu merah. Antara ingin tertawa dan kesal.

BERSAMBUNG