Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Sembilan
Aksa dan Om Jung segera pulang, setelah menemui Viko, dan mengancam pemuda itu agar jangan lagi mengganggu Medina. Viko sempat membela diri jika itu semua idenya Andrew, tapi Aksa tetap tak percaya. Bagi Aksa, jika Viko tidak ikut andil, mantan kekasih sang adik itu tak 'kan membiarkan Andrew menggunakan ponselnya untuk menghubungi Medina.
Setelah kepulangan Aksa dan Om Jung, Viko marah-marah pada teman baiknya itu. Andrew hanya mendengarkan omelan Viko dan tak ingin menanggapi. Pemuda yang tadi bermesraan dengan Zara itu malah segera berlalu dari hadapan Viko untuk menyusul Zara, yang pamit ke toilet.
"Baby! Kamu masih di dalam?" seru Andrew bertanya, sembari mengetuk pintu toilet yang ada di samping rumah Viko.
Tidak ada jawaban dari dalam, tapi sejurus kemudian pintu toilet itu terbuka. Zara hanya melongokkan kepala sembari mengedarkan pandangan.
"Mereka sudah pergi, Beib. Jangan khawatir! Ayo, keluar!" Andrew lalu menyeret pelan lengan Zara.
"Aku mau pulang aja, An!" pinta Zara dengan raut wajah kesal.
"Kenapa, Baby?"
"Pokoknya aku mau pulang! Aku lagi marah, ya, sama kamu!"
"Marah kenapa, hem?" tanya Andrew, tapi Zara tak menjawab.
"Aku bisa, kok, meredam amarah kamu," lanjut Andrew sembari mencuri kecupan di pipi Zara.
"Enggak, An! Aku tetep harus pulang!" Zara melengos, menghindari Andrew.
"Lagian, aku tadi cuma pamit sebentar sama mami."
"Itu gampang, Beib. Kamu udah biasa nyari alasan untuk meyakinkan mami kamu, 'kan? Sebaiknya, kita lanjutkan yang tadi, oke?"
Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, Andrew mempercepat langkah menuju mobil dengan tangan yang melingkar posesif di pinggang Zara..Pemuda itu segera membuka pintu mobil bagian belakang. Andrew yang sudah menahan hasrat yang tertunda karena kedatangan Aksa, lalu mendorong tubuh Zara masuk ke mobil. Pemuda itu segera ikut masuk, kemudian menutup pintunya dengan tidak sabar.
Andrew segera membuka hijab Zara lalu mulai melepaskan kancing baju gadis itu satu per satu. Zara yang juga senantiasa menikmati apa pun yang dilakukan pemuda itu terhadap dirinya, sama sekali tak melakukan perlawanan.
Baru saja Andrew melempar baju Zara ke sembarang arah, ponsel Zara berdering. Gadis itu kemudian menahan dada Andrew yang hendak menindihnya.
"Wait, An! Aku angkat telepon mami dulu!"
Di saat Zara menerima panggilan dari maminya, Andrew terus saja mencumbui gadis itu. Tak tahan dengan sentuhan yang Andrew berikan, Zara pun hampir kelepasan. Beruntung, Zara masih bisa mengontrol diri hingga desahannya dapat ditahan ketika berbicara dengan sang mami.
"Kenapa enggak sabaran, sih, An? Hampir aja mami curiga," protes Zara, setelah menutup panggilan dari sang mami.
Andrew tak menanggapi protes dari Zara. Pemuda itu terus mencumbui mantan kekasih yang kini kembali menjalin hubungan tanpa status dengannya. Hingga beberapa saat lamanya, kedua insan itu masih asyik bercumbu di dalam mobil.
"Gimana, Ra? Keselnya udah ilang, belum?" tanya Andrew, setelah melepaskan penyatuan.
"Belum, lah! Aku masih kesel, ya, sama kamu karena kamu enggak cerita kalau gadis yang kamu telepon itu ternyata si Dina! Aku 'kan jadi malu sama mereka, An!"
"Kenapa harus malu, Ra? Apa jangan-jangan, kamu masih mengharapkan calon suami Si Dina yan gus-gus, dan sok suci itu, Ra? Yang enggak pernah mau nyentuh kamu meski kamu udah beberapa kali menjebaknya?"
Zara tak langsung menjawab. Gadis yang saat ini penampilannya acak-acakan itu hanya menghela napas panjang. "Papi menginginkan agar aku menjadi wanita Sholehah, An. Itu sebabnya aku mati-matian mendekati Hamam."
Sejenak, Zara terdiam. Bulir bening nampak menggenang di pelupuk matanya. Mungkin, gadis itu menyesali apa yang telah diperbuatnya selama ini. Berpura-pura menjadi baik di depan sang papi, juga Hamam. Sementara setiap kali pulang ke tanah air kala liburan, Zara kembali menjalin hubungan dengan sang mantan.
Lembut, Andrew mengusap pipi gadis itu. "Sepertinya, kamu mendekati dia bukan semata karena papimu, Beib. Kamu pasti sudah terjebak perasaan dengan pemuda itu, 'kan?"
Zara menggeleng. "Entahlah, An. Tapi rasanya memang sakit ketika dia memilih gadis lain."
Hening, sejenak menyapa kabin mobil Andrew. Kabin sempit yang tadi sempet berisik dengan suara desahan mereka berdua.
"An," panggil Zara, mengurai keheningan.
"Hem."
"Kalau aku memintamu untuk menikahiku, apa kamu bersedia, An?"
bersambung ...
ya salam
sesuai janjiku, di akhir bulan ini aku umumkan siapakah penghuni ranking pertama yang kasih dukungan pada kisah Medina-Hamam. Dan ... pendukung teratas adalah Kak Greenindya 🥰
Untuk pemenang, silakan chat aku, ya, untuk kirim alamat lengkap. Insyaallah novelnya aku kirim pertengahan bulan Juni, karena masih dalam proses cetak 🙏
Buat kalian yang pengin meluk aku, eh.. meluk novelku, bisa hub aku, yah, via chat di sini atau yg sudah save nmr wa ku bisa langsung japri.
mksh banyak untuk kalian semua. lope sekebon 😘😘