“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 30 ~ SAH (2)
“Selamat atas pernikahan kalian, semoga pernikahan kalian langgeng sampai akhir usia,” ujar Fabian.
“Terima kasih.” Aku tersenyum, karena doa yang disampaikan oleh Fabian. Terlepas dia ikhlas atau tidak.
“Hm, minggirlah. Kamu menghalangi jalan kami.”
Fabian pun menggeser tubuhnya memberi akses jalan untuk kami. Pak Gentala kembali melangkah, begitupun aku. Kami sudah sampai di depan lift saat dua orang datang mengejar.
“Maaf Pak, mau ke mana ya?”
“Ke kamar,” jawab Pak Gentala. Seakan tidak ada beban.
Aku melepaskan genggaman tangannya dan memukul pelan lengan pria yang sudah menjadi suamiku. Bagaimana bisa dia mengatakan dengan santai akan ke kamar, jelas ini masih siang dan kami meninggalkan keluarga yang hadir menyaksikan akad nikah.
“Mereka dari WO,” ujarku.
“Lalu?”
“Pak Genta jangan nyebelin deh. Jadi gimana Mbak?” tanyaku pada salah satu panitia WO.
“Pak Gentala dan Mbak Ajeng istirahat di ruangan yang sudah kami siapkan saja. Tidak lama lagi akan di make up dan persiapan resepsi. Kalau ke kamar, kami khawatir agak susah komunikasi dan persiapan.”
“Oh, ayo,” ujarku.
Pak Gentala berdecak, aku menarik tangannya agar ikut orang WO yang mengarahkan di mana ruang istirahat untuk kami.
“Pak Genta bikin malu tahu,” bisikku saat sudah berada di ruangan.
Seperti biasa, kakang Prabu hanya diam. Bersandar pada sofa yang dia duduki setelah melepas jasnya dan hanya meninggalkan kemeja putih. Aku terpana, tidak menduga kalau Tuhan menghadirkan sosok yang terlihat sempurna.
Pantas aja Natasha klepek klepek. Pak Gentala terlalu sayang untuk ditinggalkan.
“Kenapa, baru sadar kalau aku tampan?”
“Ck, narsis nggak hilang-hilang juga ya,” ujarku. Dari pada meladeni Pak Gentala dan berujung emosi sampai ke ubun-ubun, aku menikmati makan siang.
“Kamu belum amnesia ‘kan?” tanya Pak Gentala
Aku menatapnya sambil mengunyah makanan yang ada di mulutku.
“Seharusnya kamu layani suamimu ini, bukan malah asyik makan sendiri.”
“Oh, bilang dong. Maaf Pak, saya ‘kan nggak belum berpengalaman sebagai seorang istri.”
Aku baru akan beranjak untuk mengambilkan makanan baru tapi ditahan olehnya.
“Itu saja, suapi!”
Kalau sebelumnya aku merasa geli melihat film atau drama dengan adegan makan sepiring berdua atau saling suap menyuap, tapi kali ini aku melakukannya sendiri. Bukan masalah kepedulian dan pengabdian istri pada suami yang aku tangkap di sini, tapi konsep berbagi rasa. Paling tidak itu yang aku maknai.
.
.
Resepsi pun berlangsung. Aku dan Pak Genta sudah berdiri di pelaminan sejak tadi. Menyambut dan menerima ucapan selamat dari para tamu. Sebagian aku tidak kenal, karena banyaknya tamu keluarga Yasa. Rekan kerja dari Go Tv sebagian sudah hadir, termasuk Anik yang begitu heboh bahkan berkali-kali mengajak selfie.
Aku mengenakan gaun yang cukup elegan tanpa bagian tubuh yang terekspos karena memang sudah pesan Pak Gentala pada designer ketika aku fitting gaun ini dan gaun yang aku kenakan bukan model gaun besar dan menyulitkan aku melangkah.
“Pak Genta, pegel,” rengekku ketika tamu berikutnya menaiki undakan pelaminan.
Pak Gentala mengusap punggungku.
“Sabar.”
Aku kembali mengulas senyum dan menyambut tamu. Tante Malea menghampiri kami, sepertinya dia tahu keluhanku. Beliau meminta Gentala untuk menyambut tamu bukan menunggu di pelaminan agar aku bisa rehat.
“Duduklah.”
Dia menemaniku duduk di sofa pelaminan dan Mbak Indah membawakan kudapan juga soft drink untukku. Sungguh ini benar-benar aku butuhkan.
“Sabar ya, ini tamu-tamu Pak Krisna.”
“Iya tante.”
“Kok tante lagi, Mami,” ujarnya sambil tersenyum.
“Maaf Mih, belum terbiasa.”
“Dibiasakan ya, nanti orang yang mendengar malah terkesan aneh.”
Aku mengangguk, berikutnya aku ditemani Mbak Indah. Sambil ngobrol aku mengalihkan pandangan mencari keberadaan keluargaku, tepat melihat Vina dan Gio. Vina jelas sangat murung, entah ada masalah apa aku tidak peduli. Untuk kali ini, aku hanya ingin menikmati duniaku yang damai.
Pandanganku terusik pada sosok wanita yang sedang bicara dengan suamiku. Aku tidak mengenalnya dan wanita itu berusaha menarik perhatian Pak Gentala agar tetap fokus padanya.
“Mbak, itu siapa?” tanyaku tanpa menunjuk arah mereka.
“Hm, kamu nggak tahu?”
Aku menggelengkan kepala.
“Yasmina, dia mantan istri Mas Gentala.”
What? Mantan istrinya.
Kalau dilihat sekilas, tidak ada cela dari wanita itu. Terlihat cantik, tinggi, cerdas karena bisa berbaur dan serasi dengan Pak Gentala. Aku tidak banyak tahu masa lalu dan kehidupan Pak Gentala, karena rencana pernikahan kami begitu mendadak dan bukan diawali dengan hubungan normal seperti pasangan kekasih.
“Dia putri pengusaha tekstil. Pria yang sedang bicara dengan Pak Krisna, di sebelah kirinya itu Ayah Yasmina. Yasmina juga seorang business woman dan alasan mereka bercerai aku kurang tahu detail, tapi sepengetahuan aku keluarga Yasa tidak mentolerir pengkhianatan.”
Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Mbak Indah, sepertinya aku cocok dengan Mbak Indah sebagaibteman gibah (wkwkwk). Akhirnya aku ditinggal sendiri karena kedua anak Mbak Indah sudah lelah dan ingin kembali ke kamar.
“Ajeng.”
Aku tersenyum pada Fabian yang sudah duduk di sofa yang sebelumnya ditempati Mbak Indah. Aku dan Pak Fabian memiliki kedekatan di Go TV, hal ini tentu saja tidak akan menyebabkan isu atau pemberitaan miring. Namun, aku khawatir pada Pak Gentala. Aku tidak ingin dia berprasangka buruk atau terpancing emosinya melihatku dan Fabian di sini.
“Kamu bahagia?” tanyanya.
“Pak Fabian apaan sih, serius amat.”
“Ajeng, jawab aku!”
Aku menelan saliva, karena tatapan dan ucapan Fabian tidak santai seperti biasanya. Pria ini dalam mode serius, benar-benar serius. Entah apa maksud pertanyaannya. Kalaupun aku tidak bahagia, apa urusan dengannya.
“Tentu saja. Ini hari pernikahanku, mana mungkin aku tidak bahagia.” Aku menjawab sambil menatap ke arah lain, mencari sosok … Gentala.
“Kita selama ini dekat, kenapa tidak bisa hubungan serius seperti kamu dan Om Yasa?”
Aku menoleh dan menatapnya dengan dahi berkerut. Entah pria di hadapanku ini amnesia atau bagaimana. Mana mungkin aku bisa serius dengannya kalau penyelesaian masalah dengan para wanitanya, terkadang melibatkan aku.
Bahkan aku mendengar jelas dia menghina dan hanya mengujiku. Bagaimana mungkin aku harus menyerahkan hidupku untuknya.
“Karena Ajeng terlalu polos untuk kamu yang brengs*k.”
“Pak Genta,” ujarku.
Entah kapan dia menghampiri kami dan sudah berada diantara aku dan Pak Fabian.
“Apa sudah tidak wanita yang bisa kamu permainkan sampai harus mendekati istri orang.”
“Pak Genta,” ujarku lalu berdiri dan memeluk lengannya. Dia menatapku, aku menggelengkan kepala agar dia tidak berbuat hal yang merugikan dan mempermalukan keluarga.
“Pak Fabian, pergilah!”
Fabian pun turun dari pelamin dan berganti Mami Malea menghampiri kami.
“Mih, bawa Ajeng. Jangan sampai didekati laki-laki brengs*k seperti Fabian. Aku masih harus menemani Papi.”
ato jangan-jangan .....