Putus dari Karina tidak membuat Rama larut dalam kesedihan. Justru dengan putusnya dia dengan Karina merupakan hal yang baik, karena Karina ternyata pintar bermain di belakang Rama.
Kehadiran seorang gadis bersahaja dalam hidup Rama, telah membuat semangatnya yang meredup, bersinar kembali. Tetapi ada saja pihak-pihak yang ingin memisahkan Rama dengannya. Bagaimana perjalanan kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astéria Omorfina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Sepenggal Kisah Masa Lalu
“Pokoknya Ayah tidak setuju jika kamu berniat menikahinya. Ayah tidak akan pernah setuju!”
“Tapi, aku mencintai Aisyah, Yah. Aku tidak mencintai Cintya. Bagiku, Cintya hanyalah sahabat biasa, tidak lebih.”
“Ayah nggak mau tahu. Pokoknya Ayah tidak setuju jika kamu terus berhubungan dengan Aisyah, titik! Kamu harus menikah dengan Cintya. Harus! Tidak ada penolakan!”
“Mengapa Ayah dan Ibu tidak setuju jika aku menikahi Aisyah, mengapa? Bukankah Ayah dan Ibu bilang bahwa dia kriteria calon menantu idaman. Mengapa jadi seperti ini?”
“Dan, Ayah dan Ibu tidak ingin sembarangan menikahkan kamu, karena asal-usul Aisyah tidak jelas. Orang tuanya pun tidak diketahui. Sedangkan Cintya, dia gadis yang baik, berpendidikan, dan juga memiliki karir cemerlang. Sedangkan Aisyah, dia tidak ada apa-apanya dibanding Cintya.”
“Yah, jangan menilai orang dari hartanya saja. Aisyah wanita terpelajar. Budi bahasanya juga baik. Apalagi yang Ayah dan Ibu inginkan?”
“Ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan. Kamu nggak perlu tahu itu.”
“Pasti karena harta. Pasti karena bisnis. Iya, kan? Aku sudah tahu sedari dulu Ayah hanya memikirkan harta, harta, dan harta.”
“Semua itu demi kebaikanmu, kebahagiaanmu. Aku tidak mau hidupmu nanti kekurangan hanya karena menikah dengan orang yang tidak tepat.”
“Harta itu bisa dicari, Yah. Sedangkan kebahagiaan tidak bisa. Kebahagiaan itu ada jika pikiran dan hati kita tidak terbebani dengan banyak hal yang kita tidak mampu.”
“Tau apa kamu? Pokoknya Ayah akan tetap menikahkanmu dengan Cintya. Cintya sudah lama menyukaimu.”
“Jika nanti aku tidak bahagia, atau terjadi perpisahan, jangan salahkan aku, Yah. Semuanya kulakukan demi kebahagiaan Ayah dan Ibu. Meski aku yang jadi korban!”
Kata-kata itu masih terngiang di telinganya. Kata-kata yang pada akhirnya kini menjadi kenyataan. Sesal kemudian tiada guna. Apalagi selama ini, rumah tangganya tidak diliputi dengan rasa bahagia. Tidak ada ketentraman dalam hatinya. Justru, sesuatu hal yang kini telah membuat biduk rumah tangganya berada dalam ambang kehancuran.
Dia melangkah memilih menjauh dari beberapa orang yang kini masih bercakap-cakap membicarakan keharmonisan rumah tangga Rama. Dia harus menyelidiki terlebih dahulu.
Sebaiknya aku meminta tolong orang lain untuk menyelidikinya. Sebelum aku sendiri yang membuktikannya. Aku harus tahu dengan mata kepalaku sendiri, karena berita dari orang banyak yang tidak mudah dipercaya kebenarannya.
Kembali, kenangan-kenangan itu melintas di pikirannya. Kenangan yang dulu membuatnya meraih mimpi, kenangan yang dulu membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik, kenangan yang dulu pernah membuatnya selalu tersenyum, hatinya dipenuhi dengan bunga-bunga cinta, kini semuanya telah sirna. Redup, meremang, lalu menjadi bias kenangan terindah yang tak mungkin terlupakan.
Hatinya penuh luka, kebencian, pengkhianatan, cinta palsu, serta segenap kisah yang tidak bisa diungkapkan. Hanya lewat hati kecilnya saja dia berani mengatakan kejujuran, hanya dengan hati kecilnya dia membagi kisah suka dukanya.
Apakah ini karma bagiku? Teguran? Cobaan? Apakah ini cara-Nya mengujiku? Dengan apa? Dengan cinta-Nya ataukah dengan benci-Nya? Tidak! Sekali-kali tidak! Dia tidak pernah membenci hamba-hamba-Nya. Dia memberikan ini sebagai cobaan dan teguran, agar aku tidak terkekang dengan nafsu dunia. Andai saja aku bersamamu saat ini, Aisyah … duniaku takkan seburuk ini. Duniaku mungkin tidak penuh kelabu.
Dua bola matanya memanas. Mengenang carut-marut nasib hidupnya yang tidak pasti. Awal pernikahan yaang penuh kepalsuan. Pernikahan yang hanya formalitas demi nama bernama harga diri. Apakah selama ini yang dicari anggota keluarganya dari harga diri? Tentu saja dia telah mengetahui jawabannya. Harga diri bagi mereka adalah jika mampu menumpuk kekayaan, memperlihatkan kelebihan serta keberhasilan yang mereka miliki. Derajat, pangkat, juga segudang embel-embel kehormatan yang melekat. Meski pada akhirnya, harga diri itu menjerumuskan. Menyesatkan serta melenakan.
Sementara itu, di tempat berbeda. Seorang wanita tengah meminta pada seorang dokter untuk mengaborsi janin yang kini tengah dikandungnya. Usia janin itu memang baru empat minggu. Ini adalah kesekian kalinya dia melakukan aborsi karena setiap pria yang mengencaninya tidak mau bertanggung jawab. Mereka hanya memanfaatkan tubuh serta kecantikannya.
“Dok, tolong saya. Saya tidak ingin anak ini lahir tanpa seorang ayah,” pintanya memelas. Dokter itu hanya menatapnya dengan pikiran tak mengerti apa yang sebenarnya berada dalam benak wanita itu.
“Bu, mohon maaf. Saya tidak bisa!” jawabnya tegas.
“Tolonglah, Dok. Saya tidak ingin anak ini lahir. Saya tidak mau bentuk tubuh saya berubah. Tolong, Dok. Tolong ….”
“Maaf, Bu. Saya tegaskan tidak bisa! Jika Ibu bersikeras ingin menghilangkan janin itu, harap cari tempat lain saja. Saya takut dosa besar pada Tuhan. Silakan, Bu. Silakan.”
Akhirnya, wanita itu pergi dari sana. Di sepanjang perjalanan dia berurai air mata. Banyak penyesalan yang kini ditanggungnya. Banyak hal yang telah dilakukannya untuk menjadikannya sang primadona, tetapi ternyata, semua yang diharapkan sia-sia.
Andai dulu aku tidak mengkhianatinya, pasti hidupku sekarang takkan begini. Hidupku pasti sudah bahagia dengannya. Betapa kerdilnya pikiranku ini dan mau saja dibodoh-bodohi beberapa pria yang mengajak beberapa pria yang berkencan. Alhasil, inilah yang kutanggung. Janin ini, benih siapa yang telah menanamkannya di rahimku. Tuhan, hamba sudah sangat kotor. Jauh dari segala laranganMu. Tapi kini aku harus menanggungnya. Janin yang tidak berdosa ini siapa ayahnya?
Dia berjalan terseok-seok. Pikirannya buntu. Dia tidak tahu ke mana lagi tujuan langkah kakinya. Andai dia harus menghilangkan nyawa janin itu, dia harus menerima segala resikonya. Akhirnya dia memutuskan untuk menanggung segala akibat yang akan dihadapinya; anak itu akan lahir tanpa kehadiran seorang ayah pun dia juga tiada suami.
Dia terus berjalan hingga malam pun menyapa. Tidak tahu lagi ke mana langkah pastinya. Tujuannya hanya satu, mencari tempat tinggal sementara untuknya dan mencari pekerjaan yang layak untuk menyambung hidupnya.
Aku harus berjuang sendiri, apapun yang terjadi.
Dirabanya perutnya yang masih rata. Kali ini dia memutuskan tidak akan mencampakkan bayi itu lagi seperti sebelum-sebelumnya.
“Kita harus hidup berdua, Nak. Tanpa kehadiran seorang ayah, semoga kamu bisa memaafkan Ibu. Ini semua salah Ibu. Semua Ibu lakukan karena nafsu dunia. Sekarang, Ibu merasakannya,” katanya pada diri sendiri.
Dia terus melangkah di bawah kelamnya malam. Mencari persinggahan untuknya berteduh. Malam itu, gerimis tipis mengguyur bumi. Rintik-rintiknya ibarat nyanyian luka dari perjalanan hidup seorang hamba pendosa yang mencari jalan pulang.
Tiba di salah satu warteg yang sepi, dia berhenti untuk membeli makan.
“Bu, saya minta nasi ramesnya ya?”
“Iya, Mbak.”
Pemilik warteg melayaninya dengan sigap. Dia melihat, wanita itu berbeda. Ditambah, dia juga membawa koper dan tas besar. Ditatapnya berulang kali wanita yang tengah lahap makan itu, sebelum dia memberanikan diri bertanya.
sweet nya kebangetan thor🥰
next thor