Ramadan In Love

Ramadan In Love

Bab 1 Putus

“Aku akan menikahimu jika kamu putuskan Rama segera. Bagiku, dia hanyalah benalu yang harus segera disingkirkan!” kata Robby dengan wajah penuh kebencian.

“Tenang saja, Sayang. Aku akan segera membuatnya menderita. Kamu jangan khawatir. Dia pasti akan menyesal kelak.” Seringai licik pun terpampang di sudut bibir wanita cantik itu. Sudah lama dia menjalin hubungan dengan dua pria sekaligus. Begitu lihai dan pandainya Karina, wanita itu bermain sandiwara.

Karina menjalin hubungan dengan Rama, seorang manajer eksekutif di perusahaan ekspor-impor multinasional, sedangkan Robby adalah manajer keuangan yang juga menjadi bawahan Rama.

“Dialah orang yang sudah membuatku dipecat dari perusahaan itu. Aku  kehilangan karir dan pekerjaanku.”

Kedua mata Robby memancarkan amarah besar.

Karina menenangkan Robby. Dipeluknya pria itu agar kemarahannya sedikit terurai. “Tenang, Robby-ku sayang. Aku akan membuat Rama menderita.”

*

“Kita putus, Ram!” tegas Karina. Tanpa pernah Rama duga sebelumnya. Sesuatu yang membuat seisi dunianya seakan-akan runtuh.

“Apa?” Rama tak percaya dengan ucapan yang baru saja didengarnya dari mulut Karina. Ucapan itu terlontar begitu saja, tanpa ada penghalang atau sekat yang menghalangi.

“Kita putus!” kata Karin tegas sekali lagi sambil meletakkan cincim pertunangannya di meja, di kafe, sore itu. Kafe tempat biasa mereka menghabiskan hari-hari berdua. Rama terkejut dengan keputusan sepihak Karina.

“ Putus?”  Sekali lagi, Rama tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Dia betul-betul tidak mengerti jalan pikiran Karina yang sudah bersamanya kurang lebih empat tahun ini. Begitu mudahnya dia berkata; putus!

“Iya, kenapa?  Kamu nggak terima?” kata Karina sedikit mengejek.

“Apa aku nggak salah dengar, Rin?”  Ekspresi muka Rama menegang. Kepalanya mendadak pusing.

“Nggak, Ram! Kamu nggak salah dengar. Itu benar adanya!” lanjut Karina mantap. 

“Rin, kita sudah mau menikah, kita sudah berjuang bersama selama ini, kita sudah menghadapi masa-masa sulit bersama. Kenapa tiba-tiba kamu begini, Rin? Apa salahku?” tegas Rama pada gadis di depannya itu. Dia sangat mencintai Karina dan tidak ingin kehilangannya.

Dengan santainya, Karina menjawab, “Terus kenapa? Kamu merasa rugi dengan pengorbananmu selama ini? Merasa rugi dengan apa-apa yang sudah kamu berikan padaku. Begitu? Hmm …” Karina merasa jengah dengan Rama. 

“Bukan, Rin. Bukan begitu. Aku tidak mempermasalahkan semua itu. Aku tidak tahu mengapa kamu tiba-tiba memutuskan tali pertunangan ini. Ada apa? Mengapa kamu tidak berterus terang padaku? Katakan, Rin!” cecar Rama. Hingga membuat Karina emosi lalu berdiri dan berkata kepadanya,

“Hei, Rama! Kamu dengar, ya! Kalau aku bilang putus, ya putus. Artinya, aku tidak mau lagi berhubunganmu, juga menyangkut apapun tentang kita. Kamu paham?” Suara Karina terdengar keras, hingga beberapa pengunjung yang datang menoleh ke arah mereka. Dia meninggalkan Rama seorang diri yang kini sedang bingung.  Membiarkan Rama yang tengah berperang dengan berbagai macam persoalan yang  menggelayuti pikirannya. Rama tak tahan. Dia memukul meja itu kuat-kuat. 

Beberapa pengunjung pun menyeletuk, “ Kalau mau ngamuk, jangan sama meja, Mas.” Tatapnya melotot pada Rama. “ Jadi bikin nggak nyaman nih orang!”

Pemuda itu mengembuskan napasnya dengan kesal lalu berdiri dan meninggalkan kafe yang telah meninggalkan banyak kenangan bersama Karina dengan  langkah lunglai. Dia tak habis pikir, apa yang telah diperjuangkan, dijalani, dan dihadapi bersama Karina, semuanya sia-sia. Rama sangat terpukul, malu, bagaimana dia akan menjelaskannya pada keluarganya nanti jika tahu bahwa Karina telah memutuskan hubungan mereka.

“Uffffhhh!” Dipeganginya kepalanya yang terasa pening. Rama hanya berpikir ke satu tempat yang bisa membuatnya sedikit rilex. 

Ya,  ke sana. Ke tempat pencari kenikmatan sesaat, pelepas hiruk pikuk dunia yang melelahkan.

Rama terbuai dan melayang entah ke mana. Dia hanya ingin sejenak melepas kejenuhan dan juga kusutnya pikiran.

Dua orang wanita berpakaian seksi memdekati Rama. Gaya mereka yang menggoda membuat Rama terbuai

Sementara itu, Karina tengah berasyik masyuk dengan seseorang di lain tempat. Tempat yang membuatnya kian terbuai seakan-akan tengah berada di puncak nirwana. Binar-binar kebahagiaannya kentara. Sesekali terdengar celoteh dan tawa mereka terdengar ibarat nyanyian romansa terindah. Karina memang lihai bermain sandiwara yang kini tengah diperankannya. 

“Sekarang kita berdua hanya tinggal bersenang-senang saja, Sayang. Kamu mau kan?” katanya dengan kerlingan menggoda ke arah Karina. Tanpa banyak bicara Karina menyambutnya.

Rama masih  merasakan sakit di kepalanya akibat minuman nirwana  yang telah membawanya serasa berada di awan. Dia sadar, mengerjap, lalu memandang sekeliling.  Oh, ternyata sudah di rumah. Siapa yang membawaku? Seingatku, aku ada di sana.  Gumamnya seorang diri. Rama mengucek matanya, lalu turun dari ranjang dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Derit pintu terdengar. Seseorang masuk kamarnya, membawa nampan berisikan jus jeruk dan roti bakar kesukaannya. Diletakkannya nampan itu di meja kecil dekat ranjang Rama. 

Pemuda itu baru saja selesai membersihkan diri. Dia sedikit terkejut ketika melihat seseorang sudah berada di kamarnya.

“Mama,” sapa Rama. Dia mencoba tersenyum meski hatinya sakit dan terluka. Wajahnya terlihat segar. Tidak menunjukkan jika semalam dia telah kehilangan kesadarannya.

“Iya, Ram. Ada yang ingin Mama bicarakan.”

Rama sudah punya firasat jika mamanya akan bertanya tentang hubungannya dengan Karina.

“Silakan, Ma. Mama boleh tanya Rama apa saja.”

Wajah wanita di depannya itu muram, dia berkata kepada Rama, “Apa benar Karina sudah memutuskan pertunangan kalian?” Mamanya bertanya.

Rama menunduk, dia menjawab pelan, “Iya, Ma. Rama pun tak menyangka jika rencana-rencana indah Rama telah dirusak oleh Karina, Ma.” Tetes-tetes air masih saja terlihat dari rambutnya yang masih basah. Rama mengambil handuk, lalu mengeringkan  rambutnya pelan. 

“Mama pun sama, Ram. Selama ini, Mama lihat hubungan kalian baik-baik saja. Bahkan ketika kamu mengajak menikah, Karina pun setuju waktu itu. Dia pun menyetujui jika kalian bertunangan terlebih dahulu.” Wajah mamanya  terlihat  sedih. Rama bisa mengerti bagaimana perasaan mamanya itu, bagaimana rasa sayangnya yang besar pada Karina seperti pada putrinya sendiri. Rama tidak tega jika melihat mamanya menangis.

Semenjak berpisah dari papanya ketika Rama dan adiknya masih kecil-kecil. Mama Rama berjuang seorang diri membesarkan ketiga anaknya. Beruntung sekali Rama memiliki ibu yang tangguh, yang memiliki ketrampilan dan bakat, sehingga bisa membesarkan anak-anaknya dengan membuka usaha catering dan menjahit. Dari ketekunan, kerja keras, kesabaran, serta imannya yang kuat, Farida, mama Arman akhirnya berhasil menjemput pintu kesuksesan.

Rama menggenggam tangan mamanya yang mulai tampak mengeriput. Digenggamnya tangan wanita itu dengan penuh kasih sayang. Rama berkata seraya menatap dua telaga bening yang kini airnya tumpah itu, “Ma, mungkin Rama memang belum berjodoh dengan Karina. Mama tidak usah risau. Rama yakin, kelak Rama akan menemukan wanita yang memang benar-benar ditakdirkan untuk Rama. Yang bisa menv

cintai Rama, menghormati Mama dan juga menyayangi adik-adik.

Isak tangis wanita itu terdengar, meski lirih. Rama tak tega melihatnya. Sudah seringkali Rama melihat air matanya disembunyikan dibalik ketegarannya menghadapi berbagai macam cobaan yang silih berganti. “Sudah, Ma. Sudah. Mulai sekarang Rama ingin fokus pada Mama dan adik-adik. Rama ingin membahagiakan Mama.” Diletakkannya kepalanya di pangkuan sang bunda. Air mata Rama ikut berlinang. Meski dia seorang lelali yang pantang menangis, hari itu dia tumpahkan segala rasanya yang membuncah di dada di sana. Tempat ternyamannya. Farida membelai rambut putra sulungnya yang diiringi derai air mata. Satu tetesnya jatuh tepat di kepala Rama.

Jika saja Papa tidak meninggalkan Mama karena bujuk rayu wanita. Pastilah Mama tidak akan bersusah payah seperti ini. Aku yakin, kelak Papa akan mendapatkan apa yang telah Papa tanam pada Mama. Gumam hati Rama penuh luka. Rasa sakit hatinya pada sang ayah ynaag telah membuat ibunya menderita, membuat Rama kian teguh untuk membahagiakannya.

“Ram, Mama minta tolong, janganlah kamu berbuat seperti semalam, ya?” Ada sesuatu ynaag janggall pada perkataan ibunya. Rama mendongakkan kepalanya.

“Memangnya Rama kenapa, Ma?” 

“Kamu semalam kan mabuk.”

“Mabuk?” Rama baru ingat jika dia mampir ke suatu tempat yang membuatnya lupa diri. “Lalu yang membawa Rama pulang siapa?” tanyanya.

“Pak Joko. Dia ngeliat kamu berjalan sempoyongan lau jatuh. Akhirnya Pak Joko yang membawa kamu pulang.”

Ahh… Kenapa jadi begini? Pasti Mama sakit sekali melihat kelakuanku. Maafkan Rama, Ma.

“Sudahlah, Ram. Mama tidak ingin kamu terjerumus pada hal-hal yang membuatmu kian terperosok ke lembah hitam. Jika kamu memang benar-benar ingin membahagiakan Mama, tolong taati Mama.”

Rama mengangguk. Farida meninggalkan kamar putranya, sementara Rama bersiap menuju tempat kerja dengan rasa optimis. Rama berjanji pada dirinya sendiri, ingin berubah. Tidak ingin larut dalam kesedihan hanya karena masalah cinta.

Pak, ini dokumen yang Anda minta.” Jordan meletakkan map berwarna biru di meja kerja Rama. “Silakan Bapak cek kembali.”

“Terima kasih, Yo,” jawabnya. Diraihnya dokumen itu, lalu dibukanya. Rama mengernyitkan dahi setelah mengetahui isi dari dokumen yang dibawa Jordan. Raut mukanya berubah. Dia menatap Jordan.

“Ada apa, Pak?” Jordan ingin tahu.

Ram menutup muka dengan kedua telapak tangannya. “Mereka memutuskan hubungan kerjasama dengan kita, Yo.” Begitulah biasanya Rama memanggil  Jordan, asistennya. 

“Duh! Lalu gimana, Pak, selanjutnya?” Jordan menunggu titah selanjutnya dari sang atasan.

“Nanti saya kabari lagi ya, Yo?”  Mendadak Rama menjadi lemas, tetapi dia menyembunyikanya di depan Jordan. Jordan menelisik atasannya itu, seperti ada sesuatu.

“Baik, Pak. Saya undur diri dulu.”

“Silakan, Yo,” jawab Rama dengan senyum tipis.

Sepeninggal Jordan, Rama hanya duduk terpekur di depan layar monitor komputernya. Diketuk-ketuknya pena yang berada di tangannya. Pandangannya tertuju pada grafik-grafik yang terkadang berubah-ubah. Pikirannya kosong, melayang entah ke mana. Jiwa Rama seakan-akan sedang dihimpit celah sempit yang membuatnya kian terjepit. Diraihnya gelas berisi air putih di sebelahnya, diminum hingga habis. Sedikit melonggarkan pikirannya yang kusut.

Jam istirahat menyapa. Rama keluar  dari kantornya menuju lobby. Dia memakai motor menuju salah satu kedai makanan terkenal yang jadi favoritnya. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!