Ini adalah novel religi pertamaku. Banyak banget yang butuh perbaikan sana sini. jika ada yang tidak sesuai, othor terima banget masukannya.
Tiba-tiba dilamar oleh seorang Ustad, membuat Arin berpikir dan melakukan berbagai cara untuk membatalkan pernikahan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Danie A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Huda tersentak kaget. Pria itu hanya diam dan mendengarkan perkataan sang istri dengan seksama.
"Arin pengen balik ke rumah Bapak. Arin kangen sama Ibu Bapak," ucap Arin. "Tolong kasih izin Arin untuk pulang."
Huda masih bungkam. Novi yang mendengar perkataan Arin pun ikut merasa canggung. Kedua orang tua Huda juga tak kalah terkejutnya saat mendengar permintaan Arin.
"Gimana, Mas? Mas kasih aku izin, kan?" tanya Arin lagi mulai tak sabaran, karena Huda yang sejak tadi hanya diam.
Setelah lama mengunci mulut, Huda pun akhirnya mulai membuka suara. "Tolong tunggu di kamar sebentar, ya? Nanti Mas susul ke sana," ucap Huda kemudian.
Pria itu tidak langsung memberikan jawaban pada Arin di depan banyak orang. Huda ingin membahasnya berdua saja bersama dengan sang istri.
"Iya, Mas." Arin menurut den masuk ke dalam kamar terlebih dulu.
Sementara, Huda berusaha membujuk Riski agar ia bisa meninggalkan bocah itu sebentar, setidaknya selama ia berbicara dengan istrinya. "Di sini dulu ya sama nenek? Abi mau ke belakang sebentar, ya?" ucap Huda.
Huda hanya ingin berbicara berdua saja dengan Arin dan ingin mendapatkan privasi bersama sang istri. "Abi mau buang air sebentar di belakang. Riski main dulu di sini, ya?"
"Riski mau ikut!"
"Abi kan mau ke toilet. Masa' Rizki mau ikut? Riski main dulu aja di sini, ya? Kan ada banyak temennya, tuh!"
Huda berusaha keras membujuk Riski agar mau ditinggal. Nyai Rosyidah dan Ustadz Wahab pun juga membantu roda agar dapat melepaskan diri dari Riski. "Riski mau jajan nggak sama Nenek? Tadi Nenek lihat ada tukang es krim lewat loh di depan rumah. Kita periksa dulu, yuk!" ajak Nyai Rosyidah untuk mengalihkan perhatian Riski.
Untungnya usaha mereka tidak sia-sia. Huda akhirnya dapat lolos dari Riski dan segera menghampiri istrinya yang saat ini sudah menunggu di kamar.
Di dalam kamar, Arin sendiri saat ini tengah sibuk berkemas sembari menunggu sampai suaminya datang. Arin sudah memasukkan banyak pakaian ke dalam tas besar miliknya. Tidak hanya pakaian saja, kemarin juga memasukkan begitu banyak barang hingga barang-barang Arin di kamar tersebut hampir habis.
Wanita itu langsung menoleh ke arah pintu begitunya melihat Huda yang sudah berdiri di ambang pintu. Huda melihat dengan jelas istrinya yang sangat ini tengah mengemasi banyak barang untuk dibawa pergi.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Huda sembari menoleh ke arah lemarinya yang hampir kosong. Hampir semua pakaian Arin sudah dimasukkan ke dalam tas besar yang ada di hadapan Huda saat ini.
Mengetahui hal tersebut, Huda pun mulai menangkap maksud permintaan istrinya yang ingin pulang. Huda tahu, Arin bukan ingin pulang karena rindu, tapi Arin akan pulang untuk selamanya dan tidak akan kembali lagi pada Huda.
"Duduk dulu, Rin. Kamu bisa kemas-kemas nanti," sahut Huda meminta Arin untuk berhenti sejenak dan mengajak wanita itu untuk berbincang.
"Apa alasan kamu pengen pulang? Kamu beneran rindu sama Ibu Bapak?" tanya Huda.
Arin terdiam dan masih mengemasi bajunya. Huda ikut meraih pakaian milik sang istri, dan memasukkannya kembali ke dalam lemari. "Jika memang itu alasan kamu pengen pulang, Mas akan nyuruh orang buat jemput Ibu sama Bapak. Biar Ibu sama Bapak yang ke sini aja, ya? Kamu nggak perlu pulang," sahut Huda.
Pria itu tak rela istrinya pulang. Apalagi ia tahu kalau Arin tidak akan kembali lagi jika ia mengizinkan wanita itu untuk pulang.
"Kamu nggak usah pulang, ya? Biar Ibu sama Bapak aja yang ke sini nemuin kamu," ujar Huda.
"Aku pengen pulang, Mas. Mas nggak perlu jemput Ibu sama Bapak ke sini. Aku tetap pengen pulang," tegas arin.
"Kamu kangen sama Ibu Bapak, kan? Apa bedanya kalau Ibu sama Bapak yang ke sini? Nggak perlu harus kamu yang pulang."
"Aku yang pengen pulang. Aku nggak mau Ibu sama Bapak di ke sini. Biarin aku aja yang pulang ke rumah," seru Arin.
"Kenapa? Kenapa harus kamu yang pulang?"
Arin benar-benar merasa terbebani dengan pemandangan menyakitkan yang ia lihat akhir-akhir ini. Arin ingin menenangkan batin dan pikirannya dengan menjauhi hal-hal yang hanya akan menyakiti hatinya.
"Aku pengen pulang ke rumah orang tua aku. Emang apa salah, ya?" timpal Arin.
Keduanya pun mulai terlibat cekcok. Arin tetap memaksa untuk pulang, sementara Huda terus menanyakan alasan Arin dan mencoba mencarikan solusi agar istrinya itu tidak perlu pulang ke rumah Pak Agung.
"Bukan masalah salah atau enggaknya. Tapi kamu nggak perlu kan pulang bawa banyak barang begini? Kalau kamu kangen, ketemu di mana aja bisa, kan? Kamu nggak perlu pulang bawa barang banyak," seru Huda.
"Aku pengen bawa banyak barang! Ini semua barang-barang aku, kan? Kenapa bawa barang aja nggak boleh? Aku juga nggak boleh pulang ke rumah kedua orang tua aku?" sungut Arin.
"Pokoknya kamu nggak boleh pulang! Apalagi bahwa banyak barang begini! Kalau kamu beneran kangen sama Bapak Ibu, Mas akan jemput Bapak sama Ibu ke sini buat nemuin kamu!"
"Aku nggak mau! Aku nggak minta Mas buat jemput kedua orang tua aku! Aku bisa nyamperin orang tua aku sendiri! Apa aku nggak boleh ngunjungin kedua orang tua aku?"
"Mas nggak akan kasih izin kamu pulang. Kalau alasannya cuma kangen, Mas akan bawa Bapak sama Ibu ke sini!" tegas Huda terus menekankan, kalau ia yang akan menjemput Pak Agung dan Bu Wulan.
Arin makin frustasi. Wanita itu masih belum juga mengatakan alasan sebenarnya ia ngotot ingin pulang ke rumah kedua orang tuanya.
"Mas nggak bisa larang-larang aku! Ini hak aku!"
"Tentu Mas bisa melarang kamu! Kamu ini istri Mas! Mas berhak atas kamu. Mas berhak buat nggak kasih kamu izin."
Arin tersenyum kecut. Selama beberapa hari, wanita itu tak merasa dirinya seperti istri. Apalagi dengan adanya Novi di rumah. Perannya sudah direbut oleh Novi. Bahkan waktu suami dan anaknya juga sudah habis bersama dengan Novi.
"Istri? Mas yakin masih nganggep aku sebagai istri? Mas justru terlihat lebih bahagia sama Novi! Mas, Novi, sama Riski kelihatan cocok jadi keluarga. Aku cuma orang luar. Udah ada Novi yang bisa bikin Mas sama Riski bahagia. Mas udah nggak butuh aku lagi!" seru Arin keceplosan membahas tentang hadirnya Novi yang membuat dirinya merasa tak nyaman.
"Buat apa lagi aku ada di sini. Kehadiran Novi udah lebih dari cukup buat gantiin posisi aku, kan?"
****
akhirnya nikah juga..
syukur deh kalau wirda menyesali perbuatannya.. semoga Wirda diketemukan dengan org yang tepat yaa thor...