Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Raya menarik napas gemetar. Ia lelah. Sangat lelah. Lelah dengan rahasia. Lelah dengan ketakutan. Lelah dengan bayangan malam itu. Dan yang paling menghancurkan, ia lelah membawa janin ini, benih dari pria brengsek yang berdiri di hadapannya, pengingat abadi atas kengerian yang merenggut masa depannya.
"Cukup," batin Raya berteriak. "Sudah cukup."
Ia berpikir, jika ia tetap di sini, ia akan mati perlahan, jiwanya digerogoti setiap hari. Jika ia pergi, mungkin ia akan mati juga di jalanan. Jadi, apa bedanya? Setidaknya jika ia harus mati, biarlah ia mati dengan mencoba untuk hidup bebas, walau hanya sesaat.
Tanpa sepatah kata, Raya berbalik dan melangkah pergi.
“Mau ke mana kamu?!” bentak Leo, suaranya menggelegar.
Raya tidak berhenti. Dengan sisa tenaga yang entah datang dari mana, ia menerjang pintu kamar, berlari menuruni tangga secepat kilat, dan menghambur keluar dari pintu utama yang belum terkunci rapat.
Udara malam yang dingin langsung menampar kulitnya, tapi Raya tidak peduli. Ia tetap berlari meski tanpa alas kaki.
Langkah kakinya tidak lagi lunglai, kini dipenuhi energi putus asa. Telapak kakinya menghantam aspal yang kasar. Perih yang hebat dari gesekan aspal yang merobek kulitnya dan darah tipis yang mulai merembes tidak ia rasakan. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal, menghilang.
Napasnya memburu, paru-parunya terasa terbakar. Di perut bagian bawahnya, kram hebat mulai menyerang, seolah janin itu protes karena guncangan yang terjadi. Raya meringis, menekan perutnya kuat-kuat dengan satu tangan, tapi kakinya tak melambat sedikit pun.
"Raya! Berhenti!"
Teriakan Leo terdengar di kejauhan. Pria itu mengejarnya. Suara langkah kaki Leo yang berat beradu dengan aspal, menciptakan suara yang menyeramkan.
"Jangan buat aku marah, Raya! Kembali!"
Ancaman itu biasanya membuat lutut Raya lemas seketika. Tapi malam ini, suara itu justru menjadi bahan bakar kakinya untuk melangkah lebih lebar.
Ia berlari melewati deretan perumahan elit, melewati gerbang-gerbang tinggi, meninggalkan segala kepalsuan dan ketidakadilan yang ia rasakan, hingga akhirnya terhenti di sebuah jembatan tua penghubung kota. Di bawah sana, sungai hitam mengalir deras, memecah bebatuan dengan suara gemuruh yang menakutkan sekaligus menenangkan.
Raya berhenti tepat di tengah jembatan. Napasnya putus-putus, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Leo tiba, langkahnya terhenti, napasnya tersengal. “Apa yang akan kau lakukan Raya?! Jangan berbuat macam-macam!” ucap Leo, ketika melihat Raya mulai memanjat besi pembatas jembatan.
"Turun, Raya! Jangan bodoh! Apa kamu ingin mati?"
Namun Raya tak mendengar, ia sudah berdiri di sisi luar pembatas jembatan, hanya berpijak pada beton sempit. Angin malam menerbangkan rambutnya yang berantakan, membelai wajahnya yang pucat. Ia mencengkeram besi jembatan dengan tangan gemetar.
Tubuhnya terasa begitu ringan sekarang. Seolah segala beban, rasa malu, rasa jijik pada dirinya sendiri, trauma akan sentuhan Leo, dan rahasia kelam di perutnya, perlahan menguap dibawa angin.
Ia menoleh, menatap Leo untuk terakhir kalinya. Tatapan matanya kosong, redup seperti lilin yang kehabisan sumbu. Tidak ada lagi air mata. Ia lelah. Sangat lelah menjadi korban. Lelah menjadi tempat pelampiasan nafsu bejat pria yang seharusnya menjaganya.
Sebuah senyum tipis, samar dan menyedihkan, terukir di bibirnya. Senyum kemenangan dari seseorang yang tak lagi memiliki apa-apa untuk dipertaruhkan.
"Kau tidak bisa menyakitiku lagi, Leo," bisiknya, suaranya hampir hilang ditelan angin, namun cukup jelas untuk meruntuhkan arogansi pria itu. "Kau... dan anak ini... tidak akan pernah memilikiku lagi."
Tanpa menunda lagi, Raya melepaskan genggamannya, menjatuhkan dirinya ke dalam sungai yang gelap dan berarus deras di bawah. Saat kakinya tak lagi memijak beton, waktu seolah melambat. Di detik-detik hening sebelum ia jatuh, bayangan wajah Dava, satu-satunya hal murni dan baik yang pernah ia miliki, melintas di benaknya. Senyum Dava, dan genggaman tangannya yang hangat tadi pagi.
Raya memejamkan mata, membiarkan kegelapan memeluknya. "Selamat tinggal, Dava," bisiknya lirih, mengucapkan salam perpisahan pada satu-satunya cahaya yang ia miliki.
BYUR!
Tubuh Leo menegang, matanya membelalak tak percaya. Semuanya terjadi begitu cepat. Ia segera berlari, tangannya terulur sia-sia, hanya untuk menangkap udara kosong.
“RAYA!!!” raungnya.
Semua sudah terlambat. Ia hanya bisa melihat tubuh gadis itu menghantam air dengan bunyi hempasan yang keras, lalu dengan cepat terseret oleh arus sungai yang ganas, menjauh dari cahaya, menjauh dari dirinya, menghilang dalam kegelapan.