Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pingsan
Pelukan itu seharusnya menenangkan, tetapi bagi Leni, rasanya justru seperti sesuatu yang meyakinkan: Jae memang menyembunyikan sesuatu. Pelukan Jae terlalu rapuh malam itu—seperti seseorang yang takut kehilangan pijakan.
Dan semakin Jae mencoba menutupi, semakin dalam kecurigaan Leni tumbuh.
......................
Keesokan paginya Jae berangkat lebih awal dari biasanya. Katanya ada revisi dadakan di lokasi syuting. Leni hanya mengangguk, tapi matanya mengikuti punggung Jae dengan rasa waspada yang tak bisa ia hentikan.
Saat pintu apartemen menutup, keheningan yang tertinggal justru terasa menyesakkan.
“Kenapa dia harus bohong?” gumam Leni lirih, meremas lengan bajunya sendiri.
Ia berjalan ke dapur untuk menuang kopi, namun langkahnya terhenti saat pandangannya tertuju pada gelas Jae. Gelas itu hanya berisi setengah kopi, dan aromanya masih hangat.
Jae tidak pernah meninggalkan kopi setengah.
Tidak pernah.
Leni mendekat dan menyentuh gelas itu. Tangannya bergetar.
“Ada apa sebenarnya, Jae-ssi…?”
Ia duduk di meja makan, mencoba mengabaikan kecemasan yang sejak semalam menusuk di dadanya. Tetapi pikiran itu terus muncul—gambar Jae memegangi kepalanya, ekspresi yang ia sembunyikan dengan buruk, tubuhnya yang sempat limbung.
Dan perasaannya mengatakan satu hal:
Ini bukan kelelahan biasa.
......................
Leni tidak bisa menahan diri. Satu jam setelah Jae pergi, ia mengambil mantel, kunci mobil, dan menghubungi asisten Jae.
“Di mana lokasi syuting hari ini?”
“A—ah, Leni-ssi?” Asisten itu terdengar kaget. “Hari ini… Jae syuting di studio pinggiran kota. Ada adegan berat.”
“Apa dia terlihat baik-baik saja?”
Hening. Beberapa detik terlalu panjang.
“Dia bilang baik-baik saja,” akhirnya suara itu menjawab, “tapi… Jae-ssi terlihat pucat.”
Leni tidak menunggu penjelasan lebih lanjut.
Ia langsung pergi.
......................
Perjalanan menuju studio itu terasa seperti mimpi buruk. Lalu lintas padat, lampu merah seolah terlalu lama, dan setiap detik membuat kecemasan Leni meningkat.
“Aku tidak boleh telat,” bisiknya berulang-ulang, jari mengetuk setir tanpa sadar.
Ia ingat pelukan Jae semalam, bagaimana tubuh pria itu sedikit gemetar. Ia ingat bagaimana Jae memalingkan wajah ketika rasa sakit menyerang, seolah ia takut Leni melihatnya hancur.
“Kenapa kau tidak bilang padaku?” suara Leni parau, pecah di dalam ruang mobil.
Ia menekan gas lebih dalam.
Akhirnya, ia tiba di studio. Leni melewati pintu masuk tanpa ragu, menyelinap masuk lewat jalan samping yang biasa dipakai staff. Seorang kru mengenalinya, tapi tidak sempat menyapa. Leni berjalan cepat, hampir berlari.
Ia mendengar suara sutradara berteriak dari kejauhan.
“CUT! CUT! Siapa yang menyuruh dia ambil adegan ulang?! Dia kelihatan—”
Sutradara berhenti ketika seseorang berteriak, panik.
“Jae-ssi jatuh!”
Leni membeku. Seluruh tubuhnya seketika terasa dingin.
Kemudian ia berlari.
Melampaui kru, melewati kabel kamera, menabrak kardus properti. Napasnya terengah, tapi ia tidak berhenti sampai melihat kerumunan orang mengelilingi seseorang yang terbaring di lantai.
“Jae…”
Leni menerobos kerumunan tanpa mendengar satu pun protes yang diarahkan padanya.
Dan di sana—di tengah lantai studio yang dingin—Jae terbaring dengan napas memburu. Wajahnya pucat seperti kertas. Keringat membasahi pelipisnya, dan dari jarak dekat, Leni bisa merasakan panas tubuhnya.
Panas yang tidak wajar.
“Jae-ssi pingsan begitu saja,” ujar salah satu kru tergesa. “Kami pikir dia hanya butuh istirahat, tapi tubuhnya panas sekali.”
Leni berlutut, kedua tangannya langsung menggenggam wajah Jae.
“Jae,” suaranya pecah. “Bangun. Tolong bangun.”
Kelopak mata Jae bergerak sedikit, tapi tidak terbuka. Nafasnya pendek. Tubuhnya gemetar halus.
“Bawa ambulans!” teriak Leni tanpa menoleh.
“Tadi sudah kami—”
“Bawa ambulans sekarang!”
Kru itu langsung lari lagi.
Leni memegang bahu Jae, mencoba menstabilkan napasnya sendiri, tapi gagal. Air matanya jatuh ke kemeja Jae yang lembap.
“Kau bilang kau baik-baik saja…” bisiknya, suaranya retak. “Tapi lihat dirimu sekarang.”
Jae membuka mata perlahan. Tidak sepenuhnya. Hanya celah kecil.
Dan ketika ia melihat Leni, ia berusaha tersenyum—senyum yang hampir tidak berbentuk.
“Leni…”
“Jangan bicara,” ujar Leni cepat.
Tapi Jae tetap berbisik, sangat lemah.
“Aku… tidak mau kau… cemas…”
Leni menggigit bibir, menahan tangis. “Kau membuatku hampir gila, Jae. Kau benar-benar membuatku—”
Tiba-tiba tubuh Jae menegang, seperti dipukul rasa sakit dari dalam. Nafasnya tersendat.
“Jae?!”
Tubuhnya kembali terkulai.
Leni memeluknya, memanggil-manggil namanya, tetapi Jae tidak merespons lagi.
Dan saat ambulans akhirnya tiba, dunia Leni sudah runtuh sebagian.
Jae tidak membuka mata ketika mereka mengangkat tubuhnya.
Di atas brankar, demam itu masih menyala di kulitnya—panas seperti sesuatu yang terbakar dari dalam dirinya sendiri.
...****************...