NovelToon NovelToon
Janji Di Atas Bara

Janji Di Atas Bara

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Balas Dendam / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Tamat
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.

Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.

Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.

"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.

Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 28

Petir kembali menyambar langit, kali ini lebih dekat, membuat tanah di sekitar mereka bergetar. Hujan turun lebih deras, mengguyur wajah Irvana yang kini sudah tak lagi mengenal rasa takut. Tangannya menggenggam rantai dan ponsel Roy erat-erat, napasnya tersengal, matanya berkilat bagai bara yang siap meledak.

Namun saat ia berbalik hendak pergi, terdengar gesekan logam dari belakang. Roy, dengan tubuh berlumur darah, berusaha bangkit sambil menyeret pisau yang entah dari mana munculnya. Nafasnya berat, matanya penuh dendam dan keputusasaan.

"Kau pikir-- aku akan mati semudah itu?" ucap Roy serak, darah menetes dari bibirnya.

Irvana menoleh, sedikit terlambat. Roy menerjang dengan seluruh tenaga tersisa, pisaunya terangkat tinggi. Namun Irvana bereaksi cepat. Ia menangkis, tubuh mereka jatuh ke tanah yang berlumpur, bergulat di bawah hujan badai.

Pisau berpindah tangan, saling dorong, saling rebut. Nafas mereka beradu, tatapan saling menembus amarah dan ketakutan.

Lalu_ srek!

Pisau menancap dalam ke perut Roy.

Ia membeku, menatap Irvana dengan mata membulat tak percaya. Darah hangat mengalir di sela jemarinya.

"Kau--" suaranya terputus di antara deru hujan.

Irvana menatapnya tanpa kata. Wajahnya dingin, seperti batu. Hanya matanya yang masih menyimpan sisa air mata dan dendam yang belum terbalas. Ia menarik pisaunya perlahan, membiarkan tubuh Roy jatuh terkulai di tanah, terseret lumpur dan darah.

Hujan terus turun, menutupi noda merah yang kini menyatu dengan tanah.

Irvana berdiri dengan tertatih, menahan luka di lengannya. Setiap langkahnya berat, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit yang mendera. Ia menggenggam ponsel Roy, layar yang kini mati, dan mulai berjalan menuju rumah Raisa di kejauhan_ tempat semua ini bermula.

Langkahnya terantuk batu, namun ia tidak berhenti. Cahaya dari rumah itu berkedip samar di balik tirai hujan, seolah memanggilnya.

Rumah itu sepi. Hanya lampu ruang tamu yang menyala, menyoroti siluet Raisa yang berdiri di dekat jendela kamar, memegang segelas anggur.

Ia tak tahu, bahwa langkah yang mendekat dari kegelapan bukanlah Roy, melainkan Irvana.

Tubuh yang berlumur darah dan air hujan itu kini berdiri di ambang pintu, dengan tatapan yang membekukan udara di ruangan.

Raisa perlahan menoleh, matanya melebar.

"Irvana--?"

Irvana tidak menjawab.

Pisau di tangannya masih meneteskan air hujan dan darah yang sama.

Dan malam itu, antara hujan, dendam, dan pengkhianatan_ tak ada lagi tempat untuk belas kasihan.

Raisa memundurkan langkahnya perlahan, tubuhnya bergetar hebat. Gelas anggur di tangannya terjatuh, pecah di lantai, menyebarkan warna merah seperti darah yang baru menetes.

"Irvana-- a-aku-- aku bisa jelaskan--" suaranya bergetar, nyaris tak terdengar di antara deru hujan yang mengetuk kaca jendela.

Irvana melangkah maju satu langkah. Suara sepatunya menapak lantai kayu yang basah oleh jejak air hujan. Pandangannya menembus lurus ke arah Raisa.

"Kau pikir aku sudah mati?" suaranya serak, berat, tapi tegas.

"Tiga tahun-- tiga tahun aku menunggu, Raisa. Aku menyiksa diriku sendiri, menunggu kabar, menunggu penjelasan-- menunggu kamu."

Irvana tertawa lirih, getir. "Tapi ternyata, kau menikmati semua rasa sakitku,"

Raisa menelan ludah, memundurkan diri hingga punggungnya menabrak meja. Tangannya gemetar, mencari pegangan di udara kosong.

"Aku tidak bermaksud-- aku hanya-- aku harus--"

"Harus apa?" potong Irvana cepat, suaranya menajam. "Harus menyuruh orang untuk membunuhku?"

Tatapan Irvana menusuk, membuat Raisa terdiam, kehilangan suara.

Hujan semakin deras di luar, petir menyambar lagi, menerangi wajah Irvana yang basah, pucat, tapi penuh api. Ia terus melangkah, selangkah demi selangkah, membuat Raisa mundur semakin jauh ke sudut ruangan.

Raisa mencoba berlari ke arah pintu, namun lantai licin membuatnya tergelincir. Ia terjatuh, lututnya membentur keras. "Tolong-- jangan lakukan ini, Irvana! Aku masih mencintaimu!" teriaknya, suaranya pecah antara ketakutan dan penyesalan.

Irvana berhenti, menatapnya lama dan duduk disamping Raisa. Ada getaran di matanya, antara marah dan hancur.

"Jangan sebut cinta-- setelah kau kirim kematian untukku," bisiknya.

Raisa mencoba bangkit, tapi Irvana sudah lebih dulu mendekat. Pisau di tangan Irvana berkilat di bawah cahaya lampu yang bergetar.

Mereka hanya berjarak satu langkah sekarang_ dua orang yang dulu saling mencintai, kini dipisahkan oleh luka dan pengkhianatan.

Raisa menatapnya dengan mata penuh air, bibirnya gemetar.

"Apa yang kau lakukan, Irvana?"

Angin malam menerobos lewat jendela yang terbuka sedikit, membuat tirai bergetar.

Irvana menatapnya dalam diam.

Pisau di tangannya menurun perlahan, tapi matanya tetap tak bergeming.

"Aku tidak tahu... apakah aku masih punya hati untuk membunuhmu... atau untuk memaafkanmu," katanya lirih.

Suara jam dinding berdentang pelan.

Waktu seakan berhenti di antara mereka.

Raisa berusaha bangkit, tapi Irvana menahan kakinya dengan tenaga yang nyaris di luar nalar. Nafas keduanya memburu. Hanya suara hujan yang menjadi saksi di antara keduanya.

"Kau tahu, Raisa--" bisik Irvana, suaranya pecah seperti kaca. "Aku mengingat setiap detik bersamamu. Setiap tawa, setiap janji, setiap tatapan yang kau berikan padaku seolah aku satu-satunya yang berarti."

Tangannya yang berlumur darah terangkat perlahan, menyentuh wajah Raisa. Sentuhan itu lembut tapi menakutkan. Darah Irvana mengalir di pipi Raisa, menciptakan garis merah yang kontras di kulitnya yang pucat.

"Beginilah rasanya, Raisa-- saat cinta menjadi luka. Saat yang kau rawat dengan hati, menuntunmu pada kematian."

Matanya menatap dalam, seolah ingin menembus jiwa Raisa.

"Dan kau masih terlihat cantik-- bahkan di tengah dosamu sendiri."

Air mata Raisa jatuh, bercampur dengan darah dan air hujan di wajahnya.

"Irvana-- a-aku--"

Namun Irvana hanya tersenyum. Senyum paling pilu yang pernah terukir di wajah manusia.

"Aku sudah terlalu lama hidup di antara sakit dan cinta, Raisa. Malam ini, biarlah semuanya berhenti. Antara kita, hanya akan ada sunyi."

Ia memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang_ seolah menyerahkan seluruh beban hidupnya pada satu keputusan.

SREEEKK!!!

Irvana menusukkan pisaunya ke jantung yang paling dalam. Dan ketika ia membuka mata lagi, tatapannya tenang.

Damai. Tragis. Tak lagi menggigil.

Raisa membuka matanya lebar, napasnya memburu. Kedua tangannya menutup mulut, menahan isak yang tak sanggup keluar. Tubuhnya bergetar di antara keheningan yang membatu.

Lalu di keheningan. Hujan seakan berhenti di luar. Dan dunia seakan menunduk pada akhir dari cinta yang berubah menjadi kutukan.

~

Di luar, hujan masih mengguyur deras. Dua sosok berlari menembus badai. Darwis dan Gilang, basah kuyup dari ujung rambut hingga kaki. Mereka menghampiri Dharma yang baru saja pulang dari rumah Raja, mantel hitamnya meneteskan air hujan.

"Ada apa, Darwis?" tanya Dharma, keningnya berkerut melihat wajah lelaki itu yang pucat pasi.

Darwis menatapnya dengan mata sembab. Suaranya serak dan bergetar.

"Irvana--- tolong. Aku hanya ingin Irvanaku kembali. Jangan biarkan siapa pun menyakitinya lagi. Dia sudah terlalu banyak menderita, terlalu lama hidup dalam luka."

Dharma menarik napas panjang, menatap Darwis dengan pandangan iba.

"Masuklah-- kita bicara di dalam."

Mereka bertiga melangkah masuk. Suara air yang menetes dari pakaian mereka berpadu dengan deru hujan di luar, menciptakan suasana yang menyesakkan. Namun langkah mereka terhenti ketika melihat bercak darah di lantai ruang tamu, merah yang memudar di antara jejak sepatu berlumpur.

Bercak itu membentuk jalur menuju tangga.

Tanpa berkata apa-apa, mereka saling berpandangan, lalu bergegas naik.

Udara di lantai atas terasa dingin, lembap, dan sunyi. Pintu kamar Raisa terbuka sedikit. Dari celah itu, cahaya lampu bergetar lemah.

Dan ketika mereka mendorong pintu itu sepenuhnya__ semua waktu seolah berhenti.

Irvana terbaring di lantai, tubuhnya tenang seolah telah lama berdamai dengan sakit yang dulu menghantuinya. Wajahnya pucat tapi lembut, seperti seseorang yang akhirnya bisa tidur tanpa mimpi buruk.

Di hadapannya, Raisa berlutut kaku. Matanya kosong, masih menatap sosok yang dulu ia cintai, kini tak lagi bernyawa.

Dharma menatap pemandangan itu lama.

Gilang menunduk, tak mampu berkata apa-apa.

Sementara Darwis jatuh berlutut, memeluk tubuh Irvana dengan isak tertahan, suaranya parau memanggil nama yang takkan menjawab lagi.

Hujan di luar semakin deras, seperti langit ikut menangisi kisah mereka.

Darah dan air hujan berpadu di lantai, menghapus perlahan jejak-jejak langkah menuju akhir yang tak pernah mereka bayangkan.

Dan di tengah keheningan itu, hanya ada satu yang tersisa. Bau hujan, sisa cinta, dan penyesalan yang menggantung di udara.

Malam pun menutup tirainya perlahan. Kisah mereka berakhir di antara badai, dengan cinta yang terlalu dalam untuk disembuhkan, dan luka yang terlalu dalam untuk dilupakan.

--Tamat--

...----------------...

Selesai

**Hay, para pembaca tercinta**...

**Terima kasih sudah setia mengikuti kisah Irvana dan Raisa hingga akhir**.

**Setiap bab, setiap emosi, dan setiap luka yang mereka lalui\_ semoga meninggalkan kesan yang mendalam di hati kalian**.

**Aku berharap kisah ini bukan hanya tentang cinta dan pengkhianatan, tetapi juga tentang bagaimana manusia berjuang, terluka, dan belajar melepaskan**.

**Terima kasih sudah membaca, merasakan, dan menemani perjalanan mereka sampai tamat**.

**Sampai jumpa di cerita berikutnya**.

**See You, Baaay**...

1
Deyuni12
eh
tamat ternyata,y ampuun
hanya karena cinta semua jadi berantakan,persahabatan n juga ikatan hangat yg dulu pernah terjalin,hm

makasih Thor
d tunggu cerita selanjutnya.
kabar kabarin yaaa 😊
semangat
Miss Ra: /Kiss//Kiss//Heart/
total 3 replies
Deyuni12
jahat 😡
Deyuni12
serem juga
Deyuni12
karena cinta seseorang bisa berubah ,seseorang bisa jadi gila n hilang akal sehat,,hm
Deyuni12
licik
Deyuni12
lhaaaa
terus itu ciuman bentuknya apa Raisaaaaa,ikh nh ce
Miss Ra: /Grin/🤭
total 3 replies
Deyuni12
dikit amaaaaat
Miss Ra: siaaaap
total 3 replies
Deyuni12
complicated
oh cintaaaa
Deyuni12
sungguh memilukan
Deyuni12
hadeeeeh
kumaha ieu teh atuh nya
Kutipan Halu
mampir kak, mampir jg ya ke karyaku "DIMANJA SAHABAT SENDIRI"☺☺
Deyuni12
lanjuuuut
Jee Ulya
Tapi kalau kebanyakan naratifnya, aku nggak bisa nafas. hihi😁
Jee Ulya
Nyampeee, Aromanyaaa nyampe siniii kaaaak😍😍😍
Jee Ulya: luv banyaak banyaaak
total 4 replies
Jee Ulya
😭😭😭😭 bagus bangettt
Jee Ulya
Aaah diksinyaaaa bikin meleleeeh 😭😭😭
Deyuni12
agaiiiiiin
Deyuni12
lagiiiiii
Deyuni12: d tungguuuu
total 2 replies
Deyuni12
makin penasaran dengan kisah cinta mereka n juga mungkin dendam d masa lalu antara kedua org tua mereka,,hm
lanjut
Deyuni12
hancurkaaaaan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!