Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
"yey, jadi malam ini Rafa boleh tidur bareng bunda dong"
Ratna yang berdiri di belakang Rafa tertawa kecil, lalu jongkok sejajar dengan cucunya itu" sekarang tidur sama oma dulu yaa, besok baru boleh tidur bareng bunda. Liat tuh bunda sama papa keliatan capek. Emang Rafa ngga kasian"
Rafa langsung manyun, bibirnya cemberut. “Kenapaa? Rafa kan mau cerita sama Papa sama Bunda. Mau bareng-bareng.”
"Besok Rafa tidur bareng sama papa dan bunda, malam ini tidur sama opa dan oma dulu yaa" ucap Arkan menatap lembut ke arah putranya, sedangkan Dara hanya bisa diam berdiri di samping Arkan.
" Ya udah deh, tapi papa janji ya" ucap Rafa dengan wajah cemberut.
"papa janji sayang"
"udah sana bawa istrimu istirahat, Menantu mama keliatan capek banget. Dari tadi kalian juga belum ada istirahat dengan tenang" ucap Ratna.
Arkan dan dara berjalan menaiki tangga menuju kamarnya Arkan sebelum dia pindah ke apartemen. Dara setengah mati menahan rasa gugupnya. Bagaimanapun, dia belum pernah berduaan satu ruangan dengan laki-laki. rasanya untungnya berdegup dengan kencang.
Begitu pintu dibuka Dara menatap sekeliling dengan canggung. ini adalah malam pertama mereka, ehh ralat makam kedua jika dihitung.
Arkan membuka jasnya, menggantungnya di kursi, lalu menoleh ke arah Dara yang berdiri kikuk di dekat pintu. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Kamu keliatan tegang banget tuh, kenapa"
“Siapa yang tegang, aku cuma capek aja" padahal dia tengah setengah mati menahan canggung.
“Hmm, gitu ya?” Arkan mendekat beberapa langkah, suaranya menurun lembut. “Padahal dari tadi yang aku liat kamu malah makin cantik tiap kali gugup.”
“Udah ah, bapak minggir dulu. Aku mau mandi,” katanya cepat, menutupi rasa gugupnya sendiri. Membuka lemari mengambil handuk dan sepasang piyama yang sudah di sediakan.
Arkan menyandarkan punggung ke dinding, tangannya bersedekap. “Mandi aja dulu. Tapi jangan lama-lama ya, atau mau mandi bareng."
Dara seketika melotot. " Bapak mau modus ya"
Arkan tertawa kecil. “Hei, ini bukan modus. Ini bentuk perhatian suami sah ke istrinya. Kamu lupa udah sah barusan, malahan dapat pahala loh suami istri mandi bareng?”
“Bapak bisa diem nggak sih?”
Dara pun masuk ke kamar mandi, sementara Arkan masih berdiri di sana, menatap pintu yang baru tertutup sambil tersenyum sendiri.
Dara berdiri di depan cermin kamar mandi, berusaha keras menarik resleting gaun yang menempel di punggungnya. Tangannya berulang kali mencoba, tapi entah kenapa resleting itu macet di tengah.
“Duh…” gumamnya pelan, mencoba sekali lagi. Tapi hasilnya nihil. Ia menggigit bibir, bingung harus bagaimana.
Arkan yang berada di atas ranjang merasa heran, mengapa tidak ada suara gemericik air dari dalam sana. Apa dia baik-baik saja, ini sudah lebih dari dua puluh menit tapi belum ada terdengar pergerakan dari dalam sana. Arkan lantar bangkit dari posisinya berjalan dan mengetuk pintu kamar mandi.
"Ra, kamu masih di dalam, kamu baik-baik aja kan" tanya Arkan dengan cemas.
Dar sontak kaget " duh gimana nih, masa aku minta bantuan dia. Kan ngga lucu" batinnya.
"iya bentar lagi selesai" ucapnya sambil mencoba membukanya lagi tapi nihil.
"ya udah jangan lama-lama, kalo butuh sesuatu panggil aku aja"
Dara membuka pintu kamar mandi sedikit“Arkan…” panggilnya dengan suara yang sedikit ragu.
Tak lama, suara berat pria itu terdengar dari balik pintu. “Hmm? Kenapa?”
“Ini… resletingnya macet. Aku nggak bisa buka,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Beberapa detik hening sebelum Arkan menjawab, “Mau aku bantuin?”
Dara sempat diam, menatap pintu dengan wajah panas. Ia tahu itu pertanyaan sederhana, tapi entah kenapa jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat. “I-iya… tapi jangan lihat ke mana-mana ya,” katanya gugup.
Arkan terkekeh pelan dari luar. “iya, kamu tenang aja. Mana sini coba aku lihat.”
Arkan mendekat. Wangi parfum Dara yang lembut langsung menyambutnya. Resleting gaun itu, yang tersembunyi di balik kain brokat yang elegan, memang cukup panjang, menjulur dari leher hingga pinggang.
Dengan hati-hati, Arkan mengangkat rambut Dara yang panjang ke bahu kirinya. Dia menarik kepala resleting, perlahan menurunkannya. Kain gaun mulai meregang, memperlihatkan sedikit punggung mulus Dara.
Namun, di tengah jalan, resleting itu tersangkut pada lapisan kain di dalamnya. Arkan harus menghentikan pergerakannya.
"Sebentar, nyangkut," katanya.
Dia sedikit memiringkan badannya, fokus untuk melepaskan kain yang terperangkap. Saat tangannya bergerak untuk membetulkan lapisan kain di samping resleting. Jemarinya tak sengaja menyentuh kulit punggung mulus milik dara, seketika Arkan merasa panas dingin, ada sesuatu yang bangun di bawah sana. Bagaimanapun dia adalah pria normal, apalagi melihat kulit putih mulus dara.
Akhirnya, resleting itu terlepas. Arkan menurunkan tangannya dengan cepat.
Dara menoleh sedikit, hanya cukup untuk melihat senyum tipis di wajah Arkan lewat pantulan cermin. “Makasih,” ucapnya cepat, suaranya nyaris tak terdengar.
Selesai dengan ritualnya, Dara membuka pintu dan melangkah keluar. Arkan sudah berada di kasur, dengan wajah yang lebih segar mungkin dia sudah mandi. setengah berbaring sambil menyandarkan punggung ke kepala ranjang, tampak sedang membaca sesuatu di ponsel. Ia mendongak begitu Dara keluar.
Arkan langsung menyingkirkan ponselnya, senyum lembut terukir di bibirnya saat melihat penampilan Dara yang kini jauh lebih santai.
"Mau langsung tidur?" tanya Arkan, suaranya pelan dan menenangkan.
"Iya," jawab Dara cepat, menghindari tatapan mata Arkan.
"sini, kamu ngga usah takut. Aku ngga akan makan kamu" ucap Arkan menepuk sisi ranjang di sebelahnya.
Dara hanya mengangguk kecil, berjalan ragu-ragu menuju sisi kasur yang berlawanan dari Arkan. Ia duduk di pinggir ranjang, meremas-remas ujung piyamanya.
Berbaring membelakangi Arkan. Melihat itu Arkan lantas mematikan lampu kamar menyisakan lampu temaram.
Keheningan menyelimuti kamar. Dara bisa merasakan panas tubuh Arkan dari belakang, meskipun ada jarak kecil di antara mereka. Jantungnya masih berdebar, namun kini bukan hanya karena gugup, tapi karena antisipasi yang samar.
Setelah beberapa saat, Dara merasakan gerakan pelan. Tiba-tiba, sebuah lengan kekar melingkari pinggangnya dari belakang. Lengan Arkan menarik tubuh Dara mendekat, menempelkan punggung Dara ke dada Arkan.
Dara terkesiap, tubuhnya menegang.
Ia mencondongkan kepalanya sedikit, berbisik lebih pelan, suaranya dipenuhi haru.
"Ra... boleh aku menyentuhnya?" tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar, mengacu pada perut Dara. "Boleh aku menyapa dia sebentar?"
Dara terdiam lama. Ia tahu yang dimaksud Arkan. Akhirnya, Dara mengangguk pelan, meskipun Arkan tidak bisa melihatnya. "Iya, boleh..." bisiknya dengan suara gemetar.
Mendapat izin, Arkan membiarkan telapak tangannya menempel sepenuhnya di permukaan piyama Dara, tepat di atas perut. Ia tidak menekan, hanya menaruh tangannya di sana, merasakan kehangatan yang merambat.
"Hai, Nak kamu denger papa,," bisik Arkan “Papa di sini. Mulai saat ini papa janji, papa bakal jagain kamu dan bunda setiap saat"
Di tengah kegelapan, ia bisa melihat mata Arkan menatapnya lekat-lekat,
"Ra..." panggil Arkan pelan, suaranya kini kembali serak,
Dara tidak menjawab, hanya menatap balik, matanya memancarkan campuran rasa gugup dan merasa terhipnotis dengan tatapannya.
Arkan mengangkat tangannya, dan perlahan, ibu jarinya membelai lembut tulang pipi Dara. Sentuhan itu ringan, namun terasa membakar di kulit Dara. Tatapan Arkan kini tidak lagi menenangkan, melainkan penuh hasrat yang terkendali.
"Aku... aku minta maaf," bisik Arkan, suaranya nyaris tercekik, "tapi aku nggak bisa menahan diri lagi."
Sebelum Dara sempat bereaksi atau berkata apa-apa, Arkan memajukan wajahnya. Ia menunduk dan melumat bibir Dara dengan lembut.
Ciuman itu awalnya hanyalah sentuhan bibir yang sangat lembut, sebuah permintaan izin daripada paksaan. Arkan merasakan tubuh Dara menegang sesaat, namun Dara tidak menolaknya, membiarkan Arkan melanjutkan.
Arkan memperdalam ciumannya, mengubah lumatannya menjadi lebih intens dan memabukkan. Ia memiringkan kepalanya, membiarkan bibir mereka bertemu dengan pas. Rasa mint yang samar dari pasta gigi Arkan bercampur dengan manis alami dari bibir Dara.
Tangan Arkan bergerak dari pipi Dara, meraih tengkuknya dan menahannya, mempererat tautan bibir mereka. Tangan Dara tanpa sadar menggenggam piyama Arkan .
Arkan menarik Dara lebih dekat, tubuh mereka kini menempel tanpa jarak, selimut tersingkap di antara pergerakan mereka. Ciuman itu terasa panjang.
Tangan milik arkan taka diam disana, mulai meraba punggung milik istrinya. Merasa sinyal merah dara langsung memukul dada milik Arkan.
Ketika Arkan akhirnya melepaskan ciumannya, napas mereka berdua terengah-engah, saling beradu di antara kegelapan kamar. Mereka menatap satu sama lain, mata Arkan dipenuhi gairah, sementara mata Dara melebar karena kejutan.
seolah tersadar Arkan langsung menjauhkan dirinya
"maaf, seharusnya aku ngga ngelakuin itu. Maaf" ujarnya penuh penyesalan.
Dara hanya diam membalikkan badannya. Dia belum siap untuk hal itu. Apalagi kejadian malam itu membuatnya trauma.