Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Ragu dan Fitri
Sore itu Rara datang ke rumah Pak Samingan dengan langkah yang gak kalah pelan dari tukang kredit yang salah alamat. Udara sore di Nganjuk agak lembab, aroma tanah basah nyampur wangi kembang melati dari taman depan rumah besar itu.
“Ndok, masuk wae. Bu Wiji wes ngenteni neng ruang tamu,” sapa Mbok Jum sambil ngelap tangannya dari tepung. Rupanya barusan bikin onde-onde.
Rara mengangguk, senyum sopan. “Nggih, Mbok. Wah, wangi tenan onde-onde’e, Mbok.”
Mbok Jum nyengir. “Hehehe, kowe iki iso wae. Yen pengin, tak sisain sak piring, ben gak keder pas ngomong nang ndalem.”
Rara cuma ketawa kecil, tapi dalam hati langsung bener juga tuh Mbok Jum. Deg-degan banget. Ini pertama kalinya dia diundang ke rumah Pak Samingan bukan karena urusan kerja, tapi katanya, “ada hal penting yang perlu dibicarakan.”
Waduh, penting gimana, ya? Jangan-jangan mau dipecat? Tapi kok ada Arifbol segala di rumah...
Begitu melangkah ke ruang tamu, matanya langsung disambut pemandangan damai:
Pak Samingan duduk di kursi besar sambil nyeruput teh, Bu Wiji duduk di sampingnya dengan senyum lembut, dan Arifbol... duduk di karpet, ngelap meja kecil yang di atasnya ada Al-Qur’an terbuka.
“Selamat sore, Pak, Bu,” sapa Rara sopan sambil menunduk.
“Eh, Rara! Sini, Nduk. Duduk sini,” kata Bu Wiji ramah. “Arifbol iki lho, dari tadi nungguin kamu.”
Rara melangkah pelan, duduk di kursi seberang mereka. Arifbol menatapnya sebentar, senyum malu-malu, lalu kembali menunduk sambil berkata pelan,
“Aku tadi udah doa... minta supaya kamu datang.”
Wajah Rara langsung panas, pipinya merah kayak habis lari lima keliling lapangan SMP.
“Oh... iya, Mas,” jawabnya gugup.
Pak Samingan tertawa kecil, suaranya berat tapi hangat.
“Wes, wes... ojo tegang ngono, Rara. Bapak iki pengin ngomong santai, gak usah kaku. Anggep wae omah dewe.”
“Eh, iya, Pak. Tapi... saya takut salah ngomong,” jawab Rara polos.
“Lho, wong ngomong ae salah, trus piye arep dadi sekretaris handal?” celetuk Pak Samingan sambil terkekeh.
Bu Wiji langsung nyeletuk pelan, “Bapak iki, lho, lak guyon kadang gawe jantungan wong enom.”
Semuanya tertawa ringan. Suasana jadi agak cair, tapi jantung Rara tetap deg-degan. Dari ujung mata, dia lihat Arifbol sesekali meliriknya. Pandangan matanya tenang, tapi penuh makna yang susah dijelaskan.
Sampai akhirnya Pak Samingan berdehem pelan.
“Rara, Bapak sama Ibu sebenernya pengin ngomong soal Arifbol...”
Deg!
Rara langsung menegakkan punggung.
“Arifbol wes cerita ke kita. Katanya... dia pengin serius sama kamu.”
“Serius?” ulang Rara pelan, setengah gak percaya.
“Iya,” jawab Bu Wiji lembut. “Maksudnya, dia pengin... ya, hubungan kalian gak cuma sebatas kerja di kantor. Dia pengin... lebih.”
Rara terdiam. Bibirnya terbuka tapi tak ada kata keluar. Ia menatap meja, lalu menunduk makin dalam.
Suasana ruang tamu mendadak hening. Angin sore yang tadi sejuk terasa agak pengap. Rara menunduk, sementara jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan.
Pak Samingan menatap anaknya sebentar, lalu memindahkan pandangannya ke arah Rara.
“Rara, Bapak ngerti kamu orangnya sopan, kerja bagus, rajin. Tapi anak Bapak iki, yo... istimewa.”
Belum sempat Rara jawab, Arifbol nyeletuk polos, “Istimewa lucu opo pinter, Pak?”
Pak Samingan ketawa pendek, “Yo loro-lorone, Le.”
Suasana sempat mencair. Tapi setelah tawa kecil itu reda, Bu Wiji menggenggam tangan Rara pelan.
“Rara, Ibu boleh jujur?”
“Iya, Bu...”
“Ibu ngerti... kamu kelihatan ragu.”
Rara langsung menoleh. “Ragu, Bu?”
“Iya, Nduk. Ibu liat dari caramu ngomong, caramu duduk, bahkan caramu lihat Arifbol barusan. Kamu kayak orang yang... belum yakin.”
Rara gak bisa langsung jawab. Napasnya terasa berat.
“Saya... bukan gak yakin, Bu. Cuma... semuanya terjadi cepat. Saya takut salah langkah.”
Bu Wiji mengangguk pelan. “Ibu ngerti, Nduk. Tapi yang namanya hati itu... kalau bener-bener sayang, gak butuh waktu lama buat ngerti rasane.”
Ia menatap Rara dalam-dalam. “Arifbol itu anak Ibu satu-satunya. Ibu cuma pengin dia bahagia. Tapi kalau kamu masih ragu, Ibu gak bisa maksa.”
Rara menelan ludah. Tangannya menggenggam lebih kuat.
Bu Wiji lanjut dengan nada lembut tapi menohok,
“Dan... Ibu juga gak bisa lihat Arifbol nunggu sesuatu yang gak pasti. Karena kalau kamu belum siap, mungkin... Fitri yang lebih cocok buat dia.”
Rara spontan menoleh cepat. “Fitri?” suaranya nyaris tercekat.
“Iya, Fitri, anaknya Mbok Jum. Kamu tahu kan, dia sering bantu-bantu di sini? Ibu perhatiin, Fitri perhatian banget sama Arifbol. Dia sabar, lembut, dan... kelihatannya sayang.”
Jantung Rara langsung berdetak keras.
Fitri. Nama itu kayak tiba-tiba nyangkut di tenggorokannya.
“Tapi, Bu...”
“Ibu gak bilang Arifbol bakal langsung ganti hati, lho, Nduk. Tapi Ibu cuma pengin adil. Kalau kamu masih ragu, jangan cegah anak Ibu bahagia dengan orang yang mungkin lebih yakin.”
Rara terdiam. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ia tahan kuat-kuat.
Arifbol menatapnya polos dari seberang, sambil senyum kecil tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
“Rara, kamu kenapa? Haus? Mau susu?” katanya lembut.
Seketika dada Rara makin sesak. Senyum tulus Arifbol justru bikin hatinya campur aduk.
“Ndak, Mas. Saya... gak apa-apa.”
“Tapi mukamu merah, loh,” kata Arifbol polos, “kamu kayak kucing yang abis dikejar hujan.”
Pak Samingan ketawa lagi, tapi Rara cuma senyum kaku.
“Maaf, Pak, Bu... saya pamit dulu. Masih ada kerjaan yang belum selesai.”
“Yo wes, Nduk. Hati-hati di jalan,” kata Bu Wiji lembut, meski matanya masih tajam mengamati Rara.
Malamnya, Rara duduk di depan cermin kamarnya. Lampu remang membuat bayangannya tampak sayu.
“Fitri...” gumamnya pelan. “Dia beneran deket sama Mas Arifbol?”
Tangannya menyentuh dada, ngerasa degupan jantungnya gak karuan.
“Nangpo rasane sesek ngene, yo? Padahal aku durung jawab lamaran kuwi.”
Air mata jatuh satu tetes. Tapi bibirnya justru tersenyum kecil.
“Fitri... ojo macem-macem kowe...” ucapnya lirih, separuh bercanda, separuh peringatan.