Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEHIDUPAN GANDA
Fajar berikutnya di bunker terasa berbeda. Lulus dari simulasi Level 2 tidak memberi kami hak istirahat. Itu justru memberi kami kurikulum yang lebih sulit. Pak Tirtayasa tidak lagi menguji apakah kami bisa. Sekarang dia menguji seberapa baik kami bisa.
Setelah sarapan pagi yang hening—kali ini Rina bergabung dengan kami di meja, menceritakan dengan antusias tentang pelajaran sejarah yang ia pelajari secara online—kami berpisah. Bukan lagi sebagai satu tim, tapi untuk pelatihan individu yang dirancang khusus untuk menambal kelemahan kami yang terekspos secara brutal.
Adhitama tidak berada di arena utama, memukuli silinder logam. Pak Tirtayasa membawanya ke sebuah bengkel kecil yang dipenuhi brankas, gembok, dan mekanisme kunci yang rumit.
"Kekuatanmu bukan hanya palu godam, Adhitama," aku mendengarnya berkata sambil lalu. "Itu adalah gelombang frekuensi. Kau bisa menghancurkan. Tapi kau juga bisa... 'membujuk'. Pikirkan itu sebagai bisikan, bukan teriakan."
Aku melihat Adhitama, si raksasa yang tidak sabaran, berdiri di depan sebuah brankas kuno, memejamkan mata. Tangannya diletakkan di pintu baja, bukan untuk menghancurkannya, tapi untuk merasakan putaran tumbler di dalamnya. Dia mengerang frustrasi, butir-butir keringat muncul di dahinya. Belajar menjadi halus adalah siksaan terberat baginya.
Sari berada di ruangan yang berbeda. Ruangan itu sunyi, remang-remang, dan kosong, kecuali bantal meditasi di tengahnya. Dia duduk bersila, matanya terpejam. Pak Tirtayasa telah menugaskan seorang wanita paruh baya yang tenang bernama Ibu Ida—yang kutahu juga seorang Anomali dengan kemampuan empati minor—untuk melatihnya.
"Benteng pikiranmu adalah rumahmu, Sari," suara Ibu Ida terdengar menenangkan. "Kau tidak akan membiarkan orang asing masuk begitu saja. Bangun pintumu. Bangun dindingmu. Satu per satu. Visualisasikan. Rasakan teksturnya. Warnanya. Saat Rania si Telepat itu datang mengetuk, dia tidak akan menemukan apa-apa selain tembok yang kau bangun."
Sari duduk tak bergerak, napasnya dalam dan teratur. Dia sedang berperang dalam diam, membangun pertahanan di satu-satunya tempat yang pernah membuatnya merasa rentan.
Dan aku? Aku berada di tempat yang kusebut 'Ruang Bedah'. Ruangan itu steril, putih, dan dipenuhi dengan berbagai macam benda: jam tangan mekanis yang rumit, ponsel-ponsel tua, sebuah pistol yang dibongkar, dan di tengah ruangan, sebuah brankas digital modern.
Pak Tirtayasa berdiri di sampingku. "Sumpahmu adalah kemewahan yang egois, Bima," katanya tanpa basa-basi. "Kau lebih memilih timmu mati daripada kau mengotori tanganmu. Itu bukan moral. Itu pengecut."
Kata-katanya menusuk, tapi aku tahu itu benar.
"Kekuatanmu," lanjutnya, menunjuk ke brankas, "adalah alat presisi tertinggi. Kau tidak perlu meledakkan pintu untuk mencuri data. Kau bisa... membongkar kuncinya dari jarak sepuluh meter. Kau bisa membuat peluru di dalam laras senapan musuh rontok menjadi debu sebelum dia menarik pelatuknya. Tapi itu semua membutuhkan kontrol. Sesuatu yang belum kau miliki."
Dia menunjuk ke sebuah jam tangan mekanis di atas meja. "Bongkar itu."
Aku mengulurkan tanganku, ragu-ragu. "Tanpa... menghapusnya?"
"Tanpa menghapusnya," tegasnya. "Rasakan setiap roda gigi kecil di dalamnya. Rasakan setiap sekrup. Sekarang... perintahkan mereka untuk berpisah."
Aku memejamkan mata. Aku memanggil kekuatan itu, bukan sebagai gelombang, tapi sebagai jarum-jarum terkecil yang bisa kubayangkan. Aku 'menyentuh' jam itu dengan pikiranku. Aku merasakan mekanisme pegasnya. Roda gigi kecil yang saling bertautan.
"Pisah," bisikku.
FZZT.
Jam tangan itu larut menjadi segenggam debu abu-abu halus di atas meja.
Aku mengumpat pelan, mundur selangkah. Tanganku gemetar. Aku melakukannya lagi. Aku menghancurkannya.
"Lagi," kata Pak Tirtayasa tanpa emosi. Dia mendorong jam tangan lain ke depanku. "Rasa takutmu adalah musuh terbesarmu, bukan kekuatanmu. Kau takut pada apa yang bisa kau lakukan, jadi kau tidak pernah belajar mengendalikannya. Kau menahannya... menahannya... lalu kau meledak. Aku tidak butuh ledakan. Aku butuh seorang ahli bedah. Lagi."
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku menatap jam kedua. Aku mengabaikan rasa takut itu. Aku fokus. Aku 'melihat' sekrup kecil yang menahan penutup belakang. Aku tidak fokus pada seluruh jam. Aku hanya fokus pada satu sekrup itu. Aku tidak memerintahkannya untuk hancur. Aku memerintahkannya untuk... berputar.
Perlahan. Sangat perlahan. Sekrup kecil itu mulai bergetar. Lalu, ia berputar... berlawanan arah jarum jam. Ia terlepas dari ulirnya dan jatuh ke meja dengan bunyi 'klik' kecil yang nyaris tak terdengar.
Aku membuka mataku, terengah-engah. Aku berhasil. Itu hanya satu sekrup, tapi itu adalah sebuah kemenangan.
Pak Tirtayasa mengangguk singkat. "Lagi. Sekrup berikutnya."
Pelatihan itu brutal, mental, dan melelahkan. Kami menghabiskan waktu berjam-jam mengasah keterampilan baru kami.
Lalu, pada pukul satu siang, sebuah alarm berbunyi. Bukan alarm bahaya. Alarm... sekolah.
"Selesai untuk hari ini," kata Pak Tirtayasa, seolah tidak terjadi apa-apa. "Kalian punya pelajaran Fisika pukul dua. Jangan terlambat. Fasad harus dijaga."
Tiga puluh menit kemudian, kami bertiga—bersih, berganti pakaian kembali ke seragam putih abu-abu kami yang sempurna—berjalan keluar dari lift rahasia di belakang gimnasium. Kami melangkah dari bunker perang rahasia yang dingin dan steril... kembali ke bawah sinar matahari sore yang hangat di kampus SMA Pelita Harapan.
Perubahannya begitu mendadak hingga membuatku pusing.
Siswa-siswi lain berlalu-lalang, tertawa, mengeluh tentang PR, bergosip tentang siapa yang akan pergi ke pesta akhir pekan ini. Musik pop samar-samar terdengar dari salah satu ruang klub. Aroma rumput yang baru dipotong dan parfum mahal memenuhi udara.
"Normal," bisik Sari di sampingku, kata itu terdengar asing di mulutnya.
"Palsu," geram Adhitama pelan.
Kami bertiga berjalan menyusuri jalan setapak utama menuju gedung akademik. Dan untuk pertama kalinya, kami berjalan bersama.
Ini tidak luput dari perhatian.
Aku melihat beberapa siswa dari geng Adhitama yang lama—Doni si enhancer dan yang lainnya—menatap kami dari seberang lapangan. Mereka melihat pemimpin mereka berjalan berdampingan dengan si 'aneh' Bima dan si 'hantu' Sari. Ekspresi mereka adalah campuran dari kebingungan dan keterkejutan. Adhitama bahkan tidak melirik mereka. Dunianya telah bergerak melampaui perundungan kecil di halaman sekolah.
Kami masuk ke kelas Fisika dan duduk. Pak Guru menerangkan di depan tentang Hukum Newton. "Gaya sama dengan massa dikali percepatan..."
Aku melirik Adhitama. Dia hampir saja mendengus. Aku tahu dia sedang menghitung pukulannya sendiri. 427 kilojoule. Dia mungkin satu-satunya 'objek' di ruangan ini yang bisa membantah hukum fisika standar.
Sari, di sisi lain, tidak mendengarkan. Dia sedang menulis di buku catatannya, tetapi bukan catatan pelajaran. Dia sedang merancang diagram alir. Membangun benteng pikirannya, baris demi baris, bahkan di tengah pelajaran.
Dan aku? Aku menatap ke luar jendela. Kehidupan normal yang pernah sangat kucari... kini terasa seperti simulasi yang lain. Sebuah simulasi yang jauh lebih rumit, di mana aturannya tidak jelas dan bahayanya tersembunyi. Kehidupan ganda ini... aku tidak yakin mana yang lebih melelahkan.
Saat istirahat sore, kami bertiga berdiri di dekat lorong, menunggu kelas berikutnya. Suasana canggung di antara kami telah hilang, digantikan oleh pemahaman yang diam.
Tiba-tiba, tiga siswa senior yang tidak kukenali berjalan mendekat. Mereka jelas-jelas preman sekolah 'normal'. Mereka mengelilingi seorang siswa kelas satu yang tampak ketakutan, menjatuhkan buku-bukunya.
"Ups," kata si pemimpin, tertawa. "Pungut itu."
Anak itu buru-buru berjongkok untuk mengambil buku-bukunya. Si pemimpin meletakkan sepatunya di atas tangan anak itu. "Minta maaf dulu."
Itu adalah pemandangan yang bodoh. Pertunjukan kekuasaan yang kekanak-kanakan. Di masa lalu, Adhitama mungkin akan bergabung atau setidaknya mengabaikannya. Sari akan menghilang. Dan aku akan berbalik dan pergi, tidak ingin terlibat.
Tapi sekarang...
Sari menghela napas, muak. Aku baru saja akan melangkah. Tapi Adhitama lebih cepat.
Dia tidak berteriak. Dia tidak mendorong. Dia hanya melangkah maju, menjulang di atas ketiga perundung itu seperti gunung.
"Minggir," katanya. Suaranya pelan. Tidak marah. Hanya... berat. Penuh dengan otoritas yang didapat dari pertarungan melawan monster sungguhan.
Si pemimpin perundung, yang terbiasa menjadi yang terkuat, berbalik. "Apa urusanmu, Tama? Ini kan—"
Dia berhenti. Dia menatap mata Adhitama. Dan apa pun yang dia lihat di sana—gema dari pukulan 427 kilojoule, kegilaan melompat dari gedung—membuat wajahnya pucat pasi. Dia tidak melihat seorang teman sekelas. Dia melihat seorang predator.
"Aku bilang," ulang Adhitama, masih pelan. "Pergi."
Ketiga perundung itu, tanpa sepatah kata pun, langsung berbalik dan berjalan pergi. Cepat.
Anak kelas satu itu menatap Adhitama dengan kagum. "Wow, terima kasih, Kak!"
Adhitama hanya mendengus. "Ambil bukumu dan jangan jadi target yang mudah."
Dia berbalik dan kembali ke tempat kami berdiri, meninggalkan anak itu yang masih terkagum-kagum.
Aku menatapnya. Dia mengangkat bahu. "Lihat?" katanya. "Tanpa berisik. Tanpa properti rusak."
Sari hampir tersenyum. "Perkembangan yang bagus, Adhitama."
"Diam kau, analis," geramnya, tapi tidak ada gigitan dalam kata-katanya.
Saat itulah, ponsel kami bertiga bergetar pada saat yang bersamaan. Getaran yang singkat dan tajam.
Itu bukan notifikasi media sosial.
Kami bertiga mengeluarkan ponsel kami. Sebuah pesan di aplikasi aman yang dipasang Pak Tirtayasa.
Satu baris.
LEVEL 3. 21:00 MALAM INI. TITIK JUMPA DI ATAP SEKOLAH. PAKAIAN SIPIL.
Kami saling berpandangan. Bel sekolah berbunyi, menandakan kelas berikutnya dimulai. Para siswa di sekitar kami mulai bergerak, mengeluh.
Bagi kami, bel itu terdengar seperti sirene. Pelatihan telah selesai. Simulasi telah berakhir.
Malam ini, kami akan menjalankan misi kami yang pertama di dunia nyata.