Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV REZA
“Kalian berdua ini keras kepala sekali!” Pak Haris menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar. Gurat lelah tercetak jelas di wajahnya yang mulai menua. "Agatha, menuduh tanpa bukti itu tidak baik."
Agatha mendengus, memalingkan wajah dengan bibir sedikit maju. Sorot matanya yang tajam menyiratkan ketidakpercayaan. Reza hanya bisa tertunduk lesu, bahunya merosot seolah memikul beban berton-ton.
“Sudah, berbaikan sekarang,” ucap Pak Haris, mengangkat dagunya sedikit, memberi isyarat agar kedua remaja di depannya segera berjabat tangan. Nada suaranya tegas namun tersirat harapan, “Cepat!”
Mata Agatha dan Reza bertemu, saling melempar tatapan sinis yang berusaha mereka sembunyikan di balik wajah masam. Dengan gerakan enggan, tangan kanan mereka terulur, bersentuhan dalam jabat tangan singkat yang terasa hambar dan dingin.
“Nanti Ayah bantu cari tahu siapa pelakunya. Tapi yang pasti, pikirkan ini dengan kepala dingin. Kalian sudah berteman lama, saling percaya dan mendengarkan itu penting.” Pak Haris menasehati dengan lembut, berusaha menjernihkan suasana yang tegang di antara kedua remaja itu.
Kemudian, ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Ia memilih menunggu di dekat mobil, menyalakan sebatang rokok dan mencoba menikmati ketenangan malam yang terasa sulit didapatkan. Asap putih mengepul di udara, membawa serta beban pikirannya.
“Awas kalau kamu bohong!” Agatha melirik sinis ke arah Reza, lalu bangkit dari duduknya dengan gerakan cepat.
“Gue nggak bohong. Gue juga baru coba cari tahu. Gue denger Leo juga udah dioperasi dan dapat uang seratus juta dari pelaku,” jelas Reza, ikut bangkit dari duduknya. Ekspresinya serius, berusaha meyakinkan Agatha bahwa ia tak terlibat.
“Seratus juta?” Agatha mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi, sorot matanya menunjukkan ketidakpercayaan yang mendalam. Nada suaranya meremehkan, seolah meragukan kejujuran Reza.
“Dan… preman itu juga sudah bebas. Setelah keluarga Leo dapat kompensasi. Gue punya uang dari mana seratus juta?” Reza balik bertanya dengan nada frustasi yang kentara. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan emosi yang meluap-luap.
“Dari bokap mu lah! Kan orang tuamu kaya,” balas Agatha dengan ketus. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menantang Reza untuk membuktikan bahwa ia tak bersalah.
“Hah… loe juga tahu, gue nggak pernah ngomong sama bokap dari lama, semenjak ibu gue meninggal,” ucap Reza dengan suara lirih yang menyayat hati. Matanya meredup, mengingat kenangan pahit yang masih menghantuinya setiap malam.
Agatha terdiam, merasa bersalah karena telah menyinggung luka lama Reza. Ia tahu betul bahwa Reza tidak pernah akur dengan ayahnya sejak ibunya meninggal dunia. Keduanya kembali masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun. Suasana canggung menyelimuti mereka, seolah ada dinding tebal yang memisahkan.
“Udah musyawarahnya?” tanya Pak Haris, membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Ia mematikan puntung rokoknya dengan sepatu bootnya yang kokoh. Aroma tembakau bercampur dengan udara dingin malam.
Agatha dan Reza mengangguk tanpa bicara sepatah kata pun. Ekspresi wajah mereka masih tegang, menunjukkan bahwa masalah di antara mereka belum sepenuhnya selesai. Pertanyaan demi pertanyaan masih berputar di kepala mereka.
Mobil melaju membelah jalanan sepi, Pak Haris mampir untuk mengantar Reza terlebih dahulu. Tiba di depan rumah berlantai dua dengan cat putih dan pagar hitam yang menjulang tinggi, mobil berhenti.
Reza turun dari mobil, “Makasih, Om,” ucapnya sopan, berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.
“Iya, Za. Motornya biar besok diantar ke rumahmu,” sahut Pak Haris, menepuk pundak Reza pelan.
“Siap.” Reza menutup pintu mobil dengan perlahan. Mobil pun kembali melaju, meninggalkan Reza di depan rumahnya yang tampak sunyi.
Puk!
Pak Ujang menepuk bahu anak majikannya dari belakang. “Den, udah jam berapa ini, baru pulang. Nanti bapak marah.”
“Biarin, Pak Ujang,” jawab Reza singkat, tak ingin membahas masalahnya.
Pak Ujang menoleh kanan kiri, mencari motor bebek bututnya yang sebelumnya dipinjam anak majikannya ke sekolah. “Den, motornya mana?” Pak Ujang berlari mengejar Reza yang sudah berjalan menuju pintu gerbang.
“Oh, di kantor polisi, Pak. Besok diantar, Om Haris.” Reza tersenyum kecut, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ya ampun, Den. Den Reza bikin masalah lagi?” Pak Ujang memukul bahu kanan Reza dengan sedikit keras. Bagi Pak Ujang, Reza bukan sekadar anak majikannya, melainkan sudah dianggap anak sendiri. Karena Pak Ujang sudah bekerja dengan ayahnya Reza sejak Reza masih bayi.
“A-aduh, nggak kok. Cuma tadi bantu Aries, sampai ke pelabuhan Merak,” jelas Reza, lalu sedikit berlari meninggalkan Pak Ujang, takut kena pukul lagi.
“Pelabuhan Merak?” Pak Ujang ikut berlari, lalu menarik tas Reza dari belakang. “Duduk dulu, coba jelaskan sama Pak Ujang, cepet!” Pak Ujang menarik tas Reza, membuat tubuh Reza sontak mengikuti arah tarikan.
“Aduh… Besok aja, aku capek Pak Ujang,” keluh Reza, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Pak Ujang.
“Pak Ujang yang capek, Den Reza. Kalau bapak denger Den Reza pulang malem terus keluyuran sampai motor di kantor polisi, Pak Ujang juga yang dimarahi Bapak.” Pak Ujang menghela nafas panjang, merasa khawatir dengan nasibnya jika sampai ketahuan oleh Pak Handoko.
"Ayah nggak bakal peduli, tenang aja."
“Gak peduli gimana? Bapak itu peduli dan sayang sama Den Reza. Buktinya waktu Den Reza nggak lolos seleksi kemarin, Bapak ke sekolah, sekarang … Den Reza bisa ikut turnamen, kan?” Pak Ujang segera menutup mulutnya, merasa keceplosan menceritakan rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Reza mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan ucapan Pak Ujang. “Pak Ujang tahu dari mana aku nggak lolos seleksi?” Suara Reza meninggi, menunjukkan keterkejutannya.
"Em… Pak Baskara, wali kelas Den Reza kan temen Bapak, waktu itu datang kesini. Waktu Pak Ujang bikinin kopi, Pak Ujang denger Den Reza nggak lolos seleksi, terus besok nya Bapak pergi ke sekolah Den Reza pagi-pagi,” jelas Pak Ujang dengan nada menyesal.
Nafas Reza tercekat, kedua tangannya mengepal kuat dengan raut muka merah padam menahan amarah. Rahasia yang selama ini ia coba lupakan, kini terungkap di depan matanya.
“Pasti dia yang nyuruh preman itu, setelah nggak berhasil bujuk pelatih,” suara Reza lirih, mengartikan jika ia sadar Ayahnya ikut campur dengan masalahnya.
Ayahnya yang selalu menuntutnya untuk sempurna dan berbakat dalam segala hal, mendengar Reza tidak lolos dalam seleksi untuk turnamen Judo membuat Reza berpikir, Ayahnya akan melakukan apapun agar Reza terlihat sempurna seperti dirinya.
“Pak Ujang, kenapa nggak ngomong” keluh Reza dengan nada kecewa.
“Lah, kan memang Bapak biasanya menyelesaikan masalah Den Reza dari dulu. Kaya baru kenal Bapaknya sendiri aja,” celetuk Pak Ujang, tanpa menyadari bahwa ucapannya justru membuat Reza semakin marah.
Reza semakin mengepalkan kedua tangannya dengan kuat lalu berbalik, berniat masuk ke dalam rumah dan menghadapi ayahnya.
Tin! Tin! Tin!
Suara klakson mobil terdengar memecah kesunyian malam, terlihat mobil sedan hitam berhenti tepat di depan pagar rumah.
“Udah Den masuk, Bapak udah pulang. Sebelum kena semprot!” Pak Ujang mendorong punggung anak majikannya, menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam rumah.
Tin! Tiiiiiiin! Suara klakson semakin keras dan panjang, menandakan bahwa Pak Handoko sudah tidak sabar.
Pak Ujang segera berlari untuk membuka pintu pagar, sementara Reza dengan langkah berat masuk ke dalam rumah, menunggu ayahnya untuk berbicara empat mata.
Suara mesin mobil berhenti di halaman. Amarah Reza membuncah bersamaan dengan suara langkah kaki ayahnya yang mendekat ke arah pintu.
“Darimana? Kok masih pakai seragam?” tanya Pak Handoko dengan nada tinggi, ketika melihat putranya duduk di sofa dengan wajah lusuh dan masih mengenakan seragam di jam 2 pagi.
Reza bangkit dari sofa, menatap ayahnya dengan sorot mata penuh amarah dan kekecewaan. Tanpa peringatan, ia melayangkan pukulan keras ke wajah ayahnya.
Bruk!
Pak Handoko tersungkur di lantai, memegangi pipinya yang terasa nyeri. Ia menatap putranya dengan tatapan tak percaya.
“Den Reza!” teriak Pak Ujang dengan keras, melihat perkelahian antara majikannya. Pak Ujang segera membantu Pak Handoko bangkit dari lantai.
“Jangan pernah ikut campur urusan ku lagi, jika tidak… aku akan membenci Ayah seumur hidup!” ancam Reza dengan menunjuk ayahnya, lalu berbalik dan pergi meninggalkan ayahnya dengan perasaan kecewa dan marah yang tak tertahankan. Ia berlari keluar rumah, tak tahu kemana harus pergi.
Bersambung.