Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Hanya Pelarian
Nala menangis dan pergi dari kamar itu setelah mengetahui rujaknya tumpah. Lagi-lagi hatinya sakit oleh Dana. Baru tadi sore ia melihat kebersamaan Dana dengan mantan istrinya, lalu kini rujak yang baru saja dibelinya dan sangat ingin dimakannya, tiba-tiba harus terhempas dan jatuh.
"Nala, tunggu. Nanti mas belikan lagi rujaknya." Dana menyusul Nala ke bawah tangga, lalu menarik kembali ke atas.
"Ayo, ke atas dan masuk kamar, mas mau ngomong dan menjelaskan perihal kebersamaan mas dengan Devana tadi," tarik Dana seraya meraih pinggang Nala lalu mengangkatnya dan menggendongnya membawa naik tangga, lalu kembali ke kamar.
Nala berontak, ia benar-benar marah dan kesal yang dobel terhadap Dana. Kemarin saat ia tidak pulang, Dana tidak mencarinya. Saat sakit dibiarkan. Semakin bertambah lagi sakit hatinya, melihat Dana duduk berdua hadap-hadapan bersama Devana di tempat makan.
"Papa....!"
Saat Dana baru membawa Nala masuk ke dalam kamar, Raina melihat dan memanggil Dana. Dana sejenak menoleh.
"Raina sama Bi Marni dulu, Mama Nala sedang sakit. Tolong, ya," bujuk Dana dengan wajah memelas tidak tega. Sebenarnya Dana merasa berat jika harus mengabaikan Raina, tapi saat ini Nala sedang salah paham padanya dan menangis karena ulahnya.
Dana segera masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu itu dari dalam.
"Papaaa."
Teriakan Raina masih terdengar dari luar, Dana segera membaringkan Nala di ranjang, lalu dia berbalik menuju pintu kamar dan membukanya. Di sana Raina berdiri di depan pintu kamar. Hati Dana menjadi bingung. Dana meraih bahu Raina untuk membujuknya.
"Raina minta tolong Bi Marni dulu, ya. Papa mau obatin dulu Mama Nala."
"Nggak mau, aku mau sama Papa," rengek Raina.
"Sebentar saja. Mama Nala sakit. Ayolah, Raina kan anak baik," bujuk Dana lagi sambil mengelus sayang rambut Raina.
"Huhhhh, Papa. Tante Nala, Tante Nala terus," dumel Raina merajuk.
"Bi...Bi Marni, tolong tangani dulu Raina," teriak Dana ke arah bawah. Bi Marni berlari kecil dari arah dapur lalu menaiki tangga menghampiri Dana dan Raina.
"Ya, Den."
"Bi Marni, tolong tangani dulu Raina. Raina, sama Bi Marni dulu, ya." Dana segera membalikkan badan tanpa menunggu Raina protes lagi. Ia kembali ke kamar. Kali ini Dana membiarkan Raina ditangani Bi Marni, syukur-syukur kalau Raina tidak menangis seperti yang sudah-sudah.
Dana mengunci kembali pintu kamar dan menghampiri Nala yang masih menangis.
"Sayang, aku minta maaf. Tadi aku tidak sengaja membuat rujak yang kamu pegang jatuh. Nanti aku belikan lagi, ya." Dana membujuk Nala yang masih menangis.
"Tidak usah, lebih baik Mas Dana keluar dan urus Raina. Tinggalkan Nala sendiri. Lagipula Mas Dana sedang ada kencan dengan mamanya Raina, kenapa malah menyusul Nala ke rumah?" usir Nala masih terisak.
"Biar mas jelasin masalah yang tadi. Kamu jangan salah paham dulu. Mas tadi sengaja janjian dan ketemuan dengan Devana, untuk bicara baik-baik dan memberi pengertian sama dia supaya dia tidak lagi datang ke rumah dan mempengaruhi Raina dengan pikiran-pikiran yang buruk." Dana mulai menjelaskan.
"Kenapa harus janjian seperti itu, kalian itu sudah bukan muhrim kalau berduaan saja, bagaimana jika ada orang lain yang salah paham?" protes Nala.
"Tolong dengarkan aku, kamu jangan salah paham dulu. Aku mengajak janjian, supaya Devana itu bisa paham. Devana itu termasuk orang yang keras kepala, sehingga aku perlu pendekatan persuasif supaya dia mengerti," jelas Dana tidak habis pikir bagi Nala.
"Mas Dana jangan banyak alasan, kalau mau dua-duaan tidak perlu bilang harus memberi pendekatan secara persuasif segala. Bilang saja ini hanya akal-akalan supaya Mas Dana bisa berdekatan dengan mamanya Raina, kan? Kalian memang tidak punya hati," sergah Nala sembari menepis lengan Dana.
"Ya, ampun, Sayang. Harus dengan apa aku jelaskan semua ini sama kamu? Aku jadi bingung."
"Mas Dana pernah terpikir tidak? Selama kita nikah, apakah Mas Dana pernah ngajak Nala jalan-jalan atau menghibur Nala dengan pendekatan persuasif seperti yang Mas Dana lakukan kepada Mbak Devana? Lalu, kapan Mas Dana ada waktu mengajak Nala liburan supaya Nala tidak stress di rumah, pernah nggak? Bandingkan dengan saat ini, Mbak Devana datang membawa anak kalian ke rumah ini, dan tiba-tiba saja Mas Dana begitu banyak waktu untuk mereka berdua. Tapi dengan Nala, kapan, Mas? Pernah tidak Mas Dana berikan waktu sedikit untuk Nala bisa refreshing berdua dengan Mas Dana, enggak pernah, kan?" ungkap Nala mengeluarkan semua unek-uneknya selama ini tentang sikap Dana yang seakan tidak adil dalam memperlakukannya.
"Nala tahu, Mas Dana menikahi Nala karena satu alasan. Hanya sebagai pelarian. Karena sesungguhnya Mas Dana masih berharap sama Mbak Devana, bukan? Nala tahu semua itu dari perbincangan mama dan papa Mas Dana yang tanpa sengaja Nala dengar lima bulan lalu saat kita menginap di rumah mereka," ungkap Nala mengenang kembali saat kedua orang tua Dana tanpa sengaja membicarakan hal tentang suaminya.
Dana terhenyak, dia tidak mengerti kenapa Nala tiba-tiba berbicara kalau dirinya masih berharap bisa kembali sama Devana.
"Itu tidak benar, Sayang. Kalau dulu iya, setahun sebelum bertemu
kamu, mas sempat berpikir untuk kembali saja dengan Devana, semata karena mas ingin dekat dengan Raina. Sebab Devana tidak pernah mau mempertemukan Raina dengan aku," sangkal Dana.
"Dana sebetulnya masih berharap bisa kembali dengan Devana, terlebih mereka ada anak," Cerita Nala mengenang kembali ucapan Bu Diana lima bulan lalu saat dia tanpa sengaja menguping pembicaraannya, ketika berkunjung ke rumah mertuanya.
"Tidak, itu tidak benar. Itu hanya pikiran mereka saja. Aku tidak seperti itu, aku tidak pernah berpikir untuk kembali dengan Devana. Tolong percaya aku, Sayang. Setelah menikah denganmu, aku tidak pernah berpikir untuk balikan dengan Devana," bujuk Dana seraya meraih tangan Nala yang kini menangis.
Tangis Nala pecah, sakit hati rasanya ketika mengenang pembicaraan kedua mertuanya tempo bulan lalu. Ternyata dirinya memang tidak benar-benar diharapkan oleh Dana maupun keluarga Dana. Pantas saja selama ini sikap mamanya Dana kurang luwes dalam memperlakukannya.
"Sudah, jangan menangis. Aku tidak mungkin kembali pada Devana. Pertemuan tadi, hanyalah untuk memberi pengertian sama Devana, agar dia tidak datang lagi ke rumah saat menemui Raina," tutur Dana masih merayu Nala.
Melihat Nala masih belum berhenti menangis, Dana merasa bersalah, dia memang selama ini kurang perhatian dengan Nala, ia banyak membiarkan Nala sendiri mencari kesibukan di toko. Tidak tahu kalau sebenarnya Nala bosan dan butuh perhatian juga.
"Sayang, aku minta maaf. Aku janji tidak akan dekat-dekatan dengan Devana lagi walaupun Raina meminta," janjinya yang tentu saja tidak bisa Nala percaya.
"Tidak perlu katakan apapun, karena Nala sudah tahu hatimu, Mas. Sebelum hubungan rumah tangga kita benar-benar hancur, dan Mas Dana tidak bisa menghentikan Mbak Devana, maka tunggu saja apa yang bisa Nala perbuat untuk membuat Mbak Devana berhenti dan jera."
"Apa maksudmu, Sayang?" tanya Dana curiga.
Nala tidak menyahut, dalam sisa isaknya dia merencanakan sesuatu. "Akan kubalas hinaanmu Bu Guru. Lihat saja nanti," gumam Nala dalam hati.
kuncinya dana harus tegas dan mertua g ikut campur
bener2 mertua jahat bisa2nya GK bisa bedain mana wanita terhormat dan wanita bar2.