Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Tidak Rela
“Dek, aku sudah memindahkan mesin cuci dari kamar mandi supaya lantainya tidak licin. Aku sudah membuatkanmu jemuran di dekat mesin cuci, jadi kamu bisa menjemur di dalam rumah. Kesetnya juga sudah aku ganti semua dengan yang anti slip.” Kata Weko yang tidak bisa diam sejak mereka kembali dari Pantai.
“Terima kasih, Mas. Ayo makan dulu!” ajak Inaya yang sudah menyiapkan makan malam.
“Apa perlu aku membelikan stock susu?”
“Mas, kamu hanya melaut selama 22 hari. Susu yang kamu beli kemarin belum tentu habis saat kamu kembali.”
“Tapi aku masih tidak tenang kalau asupan untuk anakku kurang. Aku akan beli 2 kotak lagi nanti!”
“Terserah kamu saja, Mas. Mau kopi atau teh?”
“Teh saja.” Weko mulai memakan makanannya.
Selesai makan, Weko pamit pergi untuk membeli susu untuk Inaya. Ia yang awalnya mengatakan akan membeli 2 kotak, kembali dengan 5 kotak susu dengan rasa yang berbeda.
“2 hanya sedikit, Dek. Jadi aku beli 5.” Kata Weko sambil tertawa.
“Bukannya uang yang Mas pegang untuk pegangan melaut nanti?” tanya Inaya yang menerima susu dari tangan suaminya.
“Masih sisa 200, cukup saja kalau hanya singgah satu kali.”
Weko mengunci pintu dan mengikuti Inaya yang menyimpan susunya di dapur. Setiap Gerakan Inaya, Weko mengikutinya di belakang layaknya mengikuti induknya. Inaya tidak protes dengan kelakuan suaminya, ia justru tersenyum melihatnya dan tidak menghentikannya.
Setelah selesai dari dapur, Inaya masuk kamar begitu juga dengan suaminya yang masih membuntuti.
“Ayo tidur cepat, Mas!”
“Tidurlah! Aku ingin mengajak bicara anak kita.” Inaya merebahkan tubuhnya dan Weko menempatkan kepalanya di perut Inaya.
“Adek, kamu sekarang sudah berumur 10 minggu. Ayah akan pergi selama 3 minggu, tolong jaga ibu saat itu. Jangan menyusahkan ibu selama Ayah tidak ada, oke!” kata Weko sambil mengusap perut Inaya.
Inaya yang merasakan usapan lembut suaminya justru terlelap dan tidak lagi mendengarkan obrolan Weko dengan janin diperutnya. Weko yang sadar istrinya terlelap, menyudahi obrolannya dan memasangkan selimut untuk Inaya.
Perlahan, Weko mengusap pipi Inaya yang semakin berisi. Ia juga merapikan anak rambut istrinya dan memandang wajahnya dengan perasaan campur aduk.
Istrinya tidak pernah menuntut apapun. Inaya menerima apa adanya dirinya dan tidak pernah mengeluh walaupun sang ibu dan neneknya tidak begitu menerima kehadirannya. Istrinya justru memperlakukan adik-adiknya dengan penuh kasih dan menghemat uang yang ia berikan kepadanya.
Weko pergi keluar dari kamar perlahan dan masuk ke rumah orang tuanya. Di sana masih ada Bapak dan Ibunya yang terjaga.
“Aku titip Inaya selama aku pergi.” Kata Weko.
“Tenang saja, kami akan menjaganya.” Kata Harto.
“Pastikan jangan sampai membuatnya menangis!” tegas Weko yang kemudian berbalik.
“Ibu tidak akan membuatnya menangis.” Mida bersuara.
“Ibu tahu selama ini Ibu sudah memperlakukannya dengan dingin. Ibu akan memperlakukannya dengan baik mulai sekarang.”
“Aku pegang kata-katamu, Bu.”
Keesokan paginya.
Saat Inaya bangun, ia tidak menemukan suaminya. Ia mengira jika suaminya mungkin ada di kamar mandi, sehingga memeriksanya. Tetapi Inaya tidak menemukan Weko di sana. Saat ia sudah hampir menangis, Weko datang dari pintu depan dengan bungkusan di tangannya.
“Mas dari mana!” teriak Inaya.
“Ah, maafkan aku. Aku pergi membeli sarapan.” Weko yang panik segera meletakkan bungkusan di tangannya dan menghampiri Inaya yang berjongkok di pintu penghubung ruang Tengah dengan dapur.
“Jangan menangis, Dek! Kamu kenapa?” Weko ikut berjongkok dan memeluk Inaya.
“Kenapa tidak berpamitan? Aku kira Mas berangkat tanpa mengatakan apapun kepadaku!” Inaya memukul-mukul dada suaminya.
“Maaf.. Maaf..” Weko yang bermaksud meringankan tugas memasak Inaya, tidak menyangka istrinya akan sehisteris ini saat tahu dirinya tidak ada di rumah.
Setelah Inaya merasa tenang, ia tidak lagi memukul dada suaminya tetapi memeluknya erat. Ia sangat takut kehilangan suaminya. Masih ada rasa tidak rela berpisah dengan suaminya yang akan berangkat melaut hari ini.
“Ayo makan dulu. Nanti pecelnya tidak enak karena aku lupa minta pisah sambalnya.” Kata Weko membujuk Inaya.
Inaya menganggukkan kepalanya pelan dan melepaskan pelukannya. Weko mengangkat tubuh Inaya dan mendudukkannya di sofa. Setelah mengusap air mata sang istri, Weko ke dapur mengambil piring dan mulai menyuapi Inaya.
Selesai menyuapi Inaya, Weko memakan bagiannya dengan cepat dan mencuci piring. Kali ini giliran Inaya yang mengikutinya di belakang. Inaya bahkan tidak segan memeluk suaminya dari belakang.
Weko merasa istrinya aneh, tetapi hanya tersenyum. Sampai keduanya selesai melaksanakan sholat subuh, Inaya masih tidak melepaskan suaminya.
“Dek, aku harus berangkat!” kata Weko yang melihat jam dinding.
Inaya dengan enggan melepaskan pelukannya. Weko merasa istrinya sudah tenang, ia pun pergi mengganti pakaian dan mengambil tasnya.
“Apa bubuk jahe yang Mas bawa cukup?”
“Cukup, Dek.”
“Jangan minum minuman itu!”
“Iya, istriku sayang.”
“Coba ulangi, Mas?”
“Istriku sayang.” Inaya tersenyum dan memeluk suaminya.
Walaupun rasa tidak rela masih ia rasakan, setidaknya panggilan Weko bisa sedikit menenangkannya. Seolah jaminan suaminya akan kembali dengan selamat nanti.
“Hati-hati, Mas.”
“Iya.” Weko mengusap lembut punggung Inaya dan mengecup puncak kepalanya.
Weko berangkat bersama Riki yang menjemputnya. Setelah kepergian suaminya, Inaya bersiap berangkat bekerja dan berpamitan dengan kedua mertuanya yang bersantai di teras.
Pekerjaan Inaya mengalihkan perhatiannya yang masih memikirkan suaminya. Ia tidak punya waktu untuk bersantai karena audit bulanan sudah dekat. Ia harus memastikan semua laporan tidak ada kekurangan dan sesuai dengan data komputer.
“Mbak, ini makan siangnya!” Amelia meletakkan soto pesanan Inaya di meja.
“Terima kasih ya, Mel.”
“Sama-sama, Mbak.”
Inaya meregangkan tangannya dan membuka bungkusan sotonya. Selesai makan, Inaya melihat ponselnya berharap Weko memberikan kabar. Tetapi tidak ada pesan dari suaminya, melainkan pesan dari Anif yang mengabarkan kalau Yanti membuat masalah.
Inaya: Yang penting Ibu baik-baik saja, biarkan saja.
Anif: Kalau diabaikan, besok-besok diulangi bagaimana?
Inaya: Katakan padanya, kalau masih mau mengulanginya siap-siap berhenti sekolah dan pergi dari rumah!
Inaya sedang tidak ingin menghadapi Yanti di saat seperti ini. Ia tidak mau mempengaruhi moodnya hanya karena kenakalan Yanti yang mencari perhatian.