Ketika sedang dihadapkan pada situasi yang sangat sulit, Farida Agustin harus rela terikat pernikahan kontrak dengan seorang pria beristri bernama Rama Arsalan.
Bagaimanakah kehidupan keduanya kelak? Akankah menumbuhkan buih-buih cinta di antara keduanya atau justru berakhir sesuai kontrak yang ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Dalam Pilihan Sulit
Pukul 6 pagi, Rama sudah rapi dengan setelan kerjanya, sedangkan Nadia masih bergelung di dalam selimut setelah memadu kasih semalam.
"Nad, aku ke kantor dulu," pamit Rama.
Nadia menyipitkan matanya sambil melirik ke arah jam di dinding. "Sepagi ini kamu mau berangkat ke kantor?"
"Iya, soalnya ada rapat penting di luar hari ini," jawab Rama seraya menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Nadia.
"Baiklah, hati-hati di jalan. Nanti siang aku nyusul kamu ke kantor buat makan bareng."
"Oke." Rama mencium kening Nadia lalu bergegas berangkat ke kantor. Sementara Nadia masih ingin menikmati tidurnya karena rasa kantuk yang masih menyerang.
Di tengah perjalanan, Rama menghubungi Revaldi jika dia akan datang ke kantor agak siang. Sebenarnya bukan rapat penting bersama kolega yang dimaksud Rama, melainkan ingin menuntaskan sesuatu yang sempat tertunda semalam.
Sementara itu di apartemen, Farida tengah bergelut dengan peralatan masak yang telah disediakan beserta bahan masakan.
Pagi ini dia berniat membuat ayam kecap untuk sarapan. Mengingat jika hanya sendiri di sana, dia tak terlalu banyak memasak.
Setelah 30 menit kemudian, masakannya pun sudah matang lalu dia bawa ke ruang makan beserta sepiring nasi. Tepat saat dia baru saja menyajikan sarapannya, pintu apartemen terbuka dan muncullah Rama.
Rama yang baru sampai mencium aroma wangi masakan hingga tanpa sadar membuat perutnya keroncongan.
"Kamu masak apa?" tanya Rama sambil menarik kursi di dekat meja makan.
"Hanya nasi dan ayam kecap, Tuan. Apa Tuan ingin sarapan?" tanya Farida.
"Boleh," jawab Rama.
Farida segera ke dapur untuk mengambil sepiring nasi lagi untuk Rama. Dia mengambil paha ayam dan meletakkannya di piring, kemudian memberikannya pada Rama.
"Silakan, Tuan. Maaf saya hanya memasak ini saja."
"Iya." Tak menunggu lama lagi, Rama langsung menikmati masakan Farida yang ternyata sangat cocok di lidahnya.
Sementara Farida menatap sang suami yang sangat lahap menikmati masakannya, hingga terukir seulas senyuman di bibirnya tanpa dia sadari.
"Kamu kenapa tidak makan?"
Farida seketika gelagapan saat Rama juga balik menatapnya. "I-iya, Tuan. Ini saya juga mau makan."
Meski terasa canggung, Farida mencoba menikmati setiap suapan demi suapan nasi dan lauk yang dimasak tadi.
Sebenarnya ini pertama kalinya Rama bisa merasakan dilayani oleh istri. Sebab sejak menikah dengan Nadia, belum pernah dia dilayani seperti ini karena istri pertamanya yang lebih mementingkan urusan pekerjaan.
"Setelah ini bersiaplah."
Satu kalimat yang keluar dari mulut Rama, langsung membuat detak jantung Farida berdebar lebih kencang. Tanpa bertanya tentu dia sudah mengerti apa maksud dari ucapan Rama barusan.
"Baik, Tuan." Dengan susah payah Farida menelan makanannya, seolah ada yang mengganjal di tenggorokannya.
Selesai sarapan dan mencuci semua peralatan makan dan memasak, Farida pun melangkahkan kakinya menuju kamar.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia menekan handle pintu lalu membukanya. Mendengar suara pintu terbuka, Rama pun segera mengalihkan perhatiannya.
Kini Rama berjalan menghampiri Farida yang masih mematung di dekat pintu. Dia kemudian mengunci pintu kamar lalu membopong tubuh Farida dan membawanya ke ranjang.
"Semakin kamu mengulur waktu, maka akan semakin lama kontrak berakhir," ujar Rama yang kemudian langsung melakukan tugasnya sebagai suami yang sempat tertunda semalam.
***
Satu jam berlalu, Farida kini terbaring lemas di ranjang setelah dia memberikan mahkotanya pada Rama.
"Setelah kamu dinyatakan hamil, jangan pernah pergi ke mana pun tanpa izin dari saya."
"Lalu bagaimana dengan adik saya?" tanya Farida.
"Aku yang akan mengurusnya. Kamu hanya perlu fokus dengan tugasmu."
Usai mengatakan itu, Rama langsung keluar kamar dan pergi menuju kantor sebelum didahului oleh Nadia.
Di dalam kamarnya, Farida masih bergelung di bawah selimut dengan air mata yang telah membasahi bantal.
"Bagaimana nasibmu ke depannya, Rida? Lelaki mana yang mau menerima barang bekas sepertimu?" rutuk Farida dalam tangisannya, ketika rasa sesal itu tiba-tiba terasa setelah apa yang terjadi.
Sementara itu di lain tempat, dengan langkah cepat Rama berjalan menuju ruangannya. Dia langsung mengempaskan bobot tubuhnya di sofa ruangannya. Tak berselang lama, Revaldi datang menyusul.
"Barusan Nadia telepon, dia tanya kenapa ponselmu tidak aktif."
"Lalu apa yang kamu katakan?" tanya Rama sembari memejamkan mata.
"Aku hanya mengatakan kalau kamu sedang di ruang rapat dan tidak bisa diganggu."
"Baguslah, setidaknya dia tidak curiga."
"Curiga apa?"
Rama dan Revaldi refleks menoleh ke sumber suara barusan. Mimik wajah mereka pun seketika berubah tegang, takut Nadia mendengar percakapan mereka.
"Hei, kalian ditanya malah pada bengong. Curiga soal apa?" Nadia melambaikan tangannya tepat di depan wajah Rama dan Revaldi.
"Biasalah ada kucing liar yang ingin bermain-main," jawab Rama.
"Aku kira curiga soal apaan. Kalian udah selesai rapatnya?"
"Udah, kok. Kenapa?"
"Makan siang di luar, yuk. Udah lama kita nggak makan bareng di luar," ajak Nadia.
"Iya, kamu pilih aja di mana tempatnya. Aku dan Aldi mau selesaiin kerjaan dulu, kamu tunggu di sini aja."
"Oke."
Rama dan Revaldi pun kembali berkutat dengan pekerjaan, sedangkan Nadia menunggu di ruangan sang suami sambil memainkan ponselnya.
......................
Tepat saat waktu istirahat, Rama, Revaldi, dan Nadia sudah di sebuah restoran. Mereka juga telah memesan makan dan minum.
Dari tempat yang tak jauh di mana mereka berada, Farida rupanya juga tengah makan siang bersama seorang wanita yang merupakan temannya.
Revaldi yang menyadari keberadaan Farida, memberi kode lirikan mata yang mengarah ke meja yang di tempati Farida. Rama yang sudah paham dengan kode dari Revaldi, langsung mengikuti arah lirikan sahabatnya itu.
Namun, perhatian Rama teralihkan saat pelayan datang membawakan pesanan mereka. Akhirnya, mereka pun menikmati makan siang tanpa ada pembicaraan.
"Mas, kita program hamil, yuk. Aku udah siap buat punya anak," ucap Nadia setelah menyelesaikan makan siangnya.
Seketika Rama langsung tersedak makanan setelah mendengar ucapan sang istri. Bahkan, Farida yang tadinya tak mengetahui keberadaan Rama, langsung menatap ke arah meja mereka.
Tiba-tiba saja ada yang berdenyut nyeri di dadanya, entah bagaimana dia harus mengekspresikan kondisinya saat ini. Yang pasti ucapan Nadia tadi nyatanya mampu mengoyak relung hatinya.
"Pelan-pelan, dong, makannya." Nadia mengambil minuman lalu memberikannya pada Rama.
"Kamu udah yakin? Nggak akan menyesali keputusanmu nanti?" tanya Rama setelah minum.
"Iya, aku udah pikirkan semuanya. Besok kita ke dokter kandungan buat cek kesuburan."
Rama hanya terdiam tanpa tahu harus menanggapi seperti apa. Entah jalan mana yang harus dia pilih, jika dia menuruti keinginan Nadia, lalu bagaimana nasib Farida yang kehormatannya telah dia renggut? Sementara jika memilih melanjutkan memiliki anak dari Farida, lalu alasan apa yang akan dia berikan pada Nadia?
Rama kini berada dalam pilihan yang sulit. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga.