Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Kau tidak tahu apa-apa tentangku, kau juga tidak bisa mengerti apa yang saat ini aku rasakan. Aku benar-benar lelah dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Kau seharusnya tidak mencegahku untuk mati!" ucap Aluna tajam, memalingkan wajahnya, menatap Zayyan dengan mata penuh luka.
Angin malam berhembus pelan, membawa aroma lembab dari tanah basah dan daun-daun yang berguguran. Di bawah temaram lampu taman yang remang, dua sosok itu duduk dalam keheningan. Aluna, dengan tubuh yang masih bergetar, menundukkan wajahnya, sementara Zayyan menatapnya dengan mata yang dalam—mata yang memancarkan rasa kecewa, namun juga kepedulian yang tulus.
Sejenak, hanya suara dedaunan yang berbisik di antara mereka.
"Apa begini sikapmu setelah aku menyelamatkanmu dari kematian?" suara Zayyan pecah di udara, serak oleh emosi yang sulit ia bendung. "Apakah dengan mengakhiri hidupmu, semua masalahmu akan selesai? Tidak, nona! Tidak seperti itu caranya."
Aluna tetap membisu, seolah kata-kata lelaki itu tak sanggup menembus dinding rasa sakit yang telah ia bangun rapat-rapat di dalam hatinya.
Zayyan menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang tak semestinya ia luapkan pada jiwa yang sudah nyaris patah di hadapannya. Ia bergeser sedikit, mendekat, membiarkan dirinya tenggelam dalam luka yang samar-samar mulai ia rasakan dari aura Aluna.
"Kau tahu..." lanjut Zayyan, kali ini dengan suara lebih pelan, seperti bisikan malam yang menenangkan, "Setiap orang di dunia ini membawa beban di pundaknya. Ada yang kehilangan keluarga, ada yang dikhianati, ada yang bahkan bangun setiap pagi tanpa tahu apa mereka punya alasan untuk tetap hidup. Tapi tetap... mereka bertahan."
Zayyan berhenti, menatap Aluna yang kini perlahan mengangkat wajahnya. Ada genangan air mata di matanya, menggantung di batas kelopak, bergetar, seolah ragu apakah ia diizinkan untuk jatuh.
"Aku tidak bilang masalahmu sepele," lanjut Zayyan, lembut. "Tapi... menyerah bukan jawabannya. Bunuh diri tidak akan menghapus rasa sakit mu, nona. Itu hanya akan memindahkan rasa sakit mu pada orang-orang yang mungkin diam-diam peduli padamu... pada dunia yang mungkin kehilangan satu bintang kecil yang tak sadar betapa berartinya dirinya."
Kalimat itu, perlahan, menembus benteng rapuh yang dibangun Aluna. Tubuhnya bergetar. Satu tetes air mata akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat.
Zayyan melihat itu. Melihat kerapuhan yang tersembunyi di balik sikap keras kepala Aluna. Ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak, memaksa untuk mengulurkan tangan, untuk menjadi tempat berpulang bagi jiwa yang hampir hancur ini.
Dengan hati-hati, ia bertanya, "Nona, bolehkah aku tahu? Apa yang membuatmu ingin mengakhiri hidupmu?"
Suaranya begitu lembut, penuh kesabaran yang tak berpura-pura. Seakan ia siap mendengar, siap menampung segala luka yang ingin diceritakan gadis itu, se-kacau apapun.
Aluna terdiam lama. Tangannya meremas lengan bajunya sendiri, seolah mencari kekuatan dari sesuatu yang tak kasatmata.
"Aku..." suaranya serak, nyaris tak terdengar, "Aku sudah kehilangan segalanya."
Zayyan tetap diam, memberinya ruang, memberinya waktu.
Dengan suara bergetar, Aluna mulai bercerita.
"Aku seharusnya menikah beberapa minggu lagi," ia menahan isaknya, mencoba tetap berbicara meski suaranya bergetar hebat. "Tapi aku menemukan tunanganku... orang yang selalu ku percaya, yang ku jadikan tempatku berpulang, berselingkuh."
Zayyan mengepalkan tangan di samping tubuhnya, merasakan amarah yang bukan miliknya sendiri. Tapi ia tetap diam, membiarkan Aluna melanjutkan.
"Dan kau tahu dengan siapa dia berselingkuh?" Aluna mengangkat wajahnya, matanya yang basah memancarkan luka yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Dengan adik perempuanku sendiri."
Kata-kata itu jatuh, berat dan penuh luka, seperti beban berton-ton menghantam dada Zayyan.
"Aku... aku merasa seperti badut. Seperti orang yang buta. Mereka... mereka sudah melakukannya selama berbulan-bulan, di belakangku, di rumah yang sama dan aku tidak tahu apa-apa."
Aluna menyeka air matanya dengan kasar, namun air mata itu terus saja jatuh.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/