Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.
Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?
Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.
Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tugas
Aldo sedang duduk di teras belakang rumahnya, menikmati angin malam yang dingin. Dia menghela napas panjang saat dia mengingat momennya bersama Tania melintas di kepala. Aldo memejamkan mata, merasakan darah hangat mengalir di sekujur tubuhnya. Mungkin dengan mencoba meditasi sebentar dan membiarkan pikiran-pikiran itu melintas membuat bebannya sedikit menghilang.
Yang dia fokuskan saat ini adalah helaan napasnya yang begitu panjang. Begitu berat hingga napasnya pun kini terdengar memberat.
"Oy!"
Ryan datang dan menepuk bahu adiknya. Dia menaruh secangkir kopi di atas meja lalu menempelkan tubuhnya di kursi rotan.
Aldo membuka matanya. "Ada apa?"
"Lo lagi apa?" tanya Ryan balik.
Aldo mengernyit bingung. Dia tidak paham maksud ucapan kakaknya.
Ryan mendesah berat saat melihat lipatan kening Aldo yang begitu banyak. "Maksud gue, lo lagi apa malam-malam tidur di sini?" tanya Ryan lebih jelas.
Aldo kembali memejamkan matanya, merelaksasi jiwa dan raganya. "Gue nggak tidur."
"Iya, cuma menjamin mata," ujar Ryan lalu menyeruput kopi panasnya.
"Kak," panggil Aldo.
"Ada apa?"
Aldo diam, dia mencari padanan kata yang baik dan tepat agar Ryan bisa memahaminya dengan jelas. Tetapi, lama-kelamaan dia berpikir hingga membuat raut penasaran tercetak di wajah Ryan, Aldo tidak tahu harus bilang apa.
"Ada apa, Aldo?" tanya Ryan dengan penuh penekanan.
"Lo ... pernah jatuh cinta?" tanya Aldo spontan.
Ryan tertawa kecil. "Yaelah, itu mah jangan ditanya," ujar Ryan sombong.
"Udah?" tanya Aldo.
Ryan menggeleng. "Belum."
Aldo mendesah berat.
"Bercanda. Gue udah ngerasain gimana jantung kita deg-degan pas lihat si Doi, gimana rasanya salting saat ada dia. Dan itu gue udah rasain sebelum lo," ujar Ryan.
"Gimana tuh?"
"Gimana apanya?"
"Gimana rasanya?"
Ryan diam. Dia meneliti wajah sang adik. Karena, menurutnya pertanyaan Aldo yang satu ini cukup random dari ribuan pertanyaan lainnya. "Ya, kayak perasaan lo sama Jean aja. Lo nggak mau kehilangan dia dan takut kehilangan dia. Pokoknya, segalanya lo ada buat dia," ujar Ryan.
"Gue enggak bisa mendeskripsikan perasaan gue ke Jean. Bahkan, perasaan gue sama cewek lain selain Jean itu sama kayak perasaan gue ke Jean," ujar Aldo berbelit-belit. Bagaimana tidak, dia tidak tahu padanan kata yang bagus dan tepat.
Tetapi, untungnya saja Ryan lumayan pintar dalam menggambarkan perasaan seseorang. "Jadi, maksudnya lo suka sama dua orang?" tanya Ryan.
"Menurut lo ... suka, sayang, dan cinta itu bentuknya kayak apa?" tanya Aldo berangan-angan.
"Mana gue tahu," ujar Ryan. Dia memainkan ponsel di tangannya.
"Menurut lo ... gue salah enggak mencoba perasaan. Sekedar mengetes gue suka sama siapa, gitu?"
"Terus, kalau misalkan lo ternyata enggak suka sama si Doi, lo bakal tinggalin? Gimana kalau dia baper?" ujar Ryan. "Do, masalah perasaan jangan lo anggap main-main. Gue tahu lo pinter. Tapi kalau urusan ini, lo lebih bodoh dari Bima."
...******...
"Apa? Saya jadi Sekbid Keagamaan bareng Tania?"
Itu adalah reaksi yang ditujukan Bima kepada seisi ruangan saat rapat OSIS pemilihan struktur. Ibu Jihan yang memilih langsung para anggota struktur kabinet.
"Iya," jawab Ibu Jihan seraya tersenyum manis.
"Bu, saya enggak mau bareng Tania. Lebih baik saya pindah Sekbid, jadi Sekbid Kebersihan Lingkungan aja enggak apa-apa. Asal jangan sama Tania, ya, Bu," ujar Bima memohon.
"Lo pikir ... gue mau satu bidang sama lo?" tanya Tania. Dia menunjuk Bima dan menelitinya dari bawah hingga atas dengan tatapan meremehkan.
"Enggak," jawab Bima.
"Sudah ya, apa yang Ibu tentukan tidak dapat diganggu gugat. Paham?"
"PAHAM!"
"Tapi, Bu—"
"Bima, kalau kamu masih membantahnya silahkan buka pintu lalu pulang."
Ancaman yang selalu mematikan dan mulus dari Ibu Jihan. Guru yang masih melajang itu sangat pandai menggerakkan suara.
Bima mendesah berat. Dia harus menerima nasib buruk yang akan menimpanya selanjutnya. Sedangkan Tania, dia menguap lebar lalu menjulurkan lidah kepada Bima.
...******...
Bima meletakkan buku secara kasar di meja ruang OSIS. "Gila ya, mana cocok dia jadi anggota Sekbid Keagamaan. Enggak ada alim-alimnya," gerutu Bima.
"Lo juga enggak ada alim-alimnya. Bahkan, lo itu lebih cocok jadi anggota Sekbid Kebersihan Lingkungan," ujar Nico.
"Sial!" ujar Bima.
Tania datang dari arah pintu bersama dengan Jean. Dia mengambil tasnya dengan tatapan yang tak pernah luput dari wajah kesal Bima.
"Kenapa lo lihat-lihat? Terpesona lo dengan kegantengan gue?" tanya Bima.
Tania berdecih. "Demi cowok-cowok di dunia ini. Lo adalah cowok dengan urutan paling belakang," ujar Tania.
"Maksud lo?"
"Itu artinya lo ganteng dari belakang," ujar Nico.
"Kampret!"
"Aldo," panggil Jean.
"Ya?"
"Gue boleh pulang bareng lo enggak?"
"Bukannya sama—"
"Gue enggak minta dia buat jemput."
Aldo melirik tangan Jean yang saling bertaut dan beradu. Kalau sudah seperti itu, pasti ada hal yang membuatnya gelisah.
Aldo mengangguk. "Oke."
...******...
"Jangan sampai membuat dia takut. Ataupun cemas sedikit saja. Paham?" ujar seseorang dari balik telepon.
"Paham."
Sambungan diputus.
Jean meminta Dion untuk tidak menjemputnya dengan alasan dia ingin pulang bersama Aldo. Dan Rumi, tidak boleh mengetahui soal itu. Dion dan Jean akan bertemu bersama di taman kota. Dan hal itu, tentu saja menjadi kesempatan besar bagi Dion untuk menjalankan tugasnya.
Mobilnya terparkir tak jauh dari gerbang sekolah. Dia menunggu seseorang datang, bukan Jean, tetapi Tania. Dia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di atas kemudi. Sebuah motor ninja melaju kencang dan dia bisa melihat postur tubuh Jean di atas boncengan.
Dion tersenyum kecil.
Dia memundurkan mobilnya hingga menghilang dari belokan.
...******...
Entah apa yang dirasakan Tania, semuanya jadi terasa aneh jika sudah di dekat Aldo. Padahal, dia adalah orang yang pandai mengatur ekspresi. Tetapi saat Aldo mengiyakan pulang dengan Jean, rasanya tuh aneh.
"Tania!"
Jangan berharap itu adalah Kevin, karena cowok itu sudah pulang lebih dulu. Tetapi berharaplah itu adalah Nabilla yang tahu-tahu berdiri di sampingnya.
"Lo enggak latihan cheers?" tanya Tania.
"Udah kelar."
"Cepat banget."
"Lo pulang sendirian, 'kan?"
"Biasanya juga gitu," ujar Tania lalu lanjut berjalan.
"Eh, gue ikut bareng lo."
"Amanda mana?"
"Dia itu pulang sama Nico. Baru aja."
"Oh."
Mereka berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Mereka menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap ada angkot atau metromini yang melintas.
"Kita pulang naik apa?" tanya Nabilla.
"Kalau enggak ada kendaraan yang lewat, berarti kita jalan kaki."
"Ebusettt, bisa gempor itu mah. Jarak dari sini ke rumah gue jauh."
"Bodo. Jarak dari sini ke rumah gue dekat."
"Nyebelin banget."
Sekarang Tania terlihat frustrasi. Jalan kaki? Oh tidak, betis Tania akan terasa sakit dan ujung-ujungnya dipijat oleh Tuti dengan tenaga super dari wanita itu. Tania tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti empat tahun lalu.
"Kita naik taksi gimana?" usul Tania.
"Emang ada ya taksi yang lewat sore-sore begini? Kalau mau naik taksi mending yang or—"
Ucapan Nabilla terhenti saat taksi berhenti tepat di depan mereka karena Tania melambaikan tangan. Gadis itu tersenyum manis ke arah Nabilla yang menunjukkan ekspresi tersebut. "Ngapain buang-buang kuota order yang online. Ini aja, ayo masuk."
Tania beranjak masuk ke dalam taksi. Sedangkan Nabilla masih dalam keterkejutannya.
"Wah gila, Tania benar-benar gadis teraneh," ujar Nabilla.
"MASUK NABILLA!" teriak Tania dari dalam mobil.
Dengan cepat, Nabilla segera masuk ke dalam taksi.