Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Perjumpaan yang Tidak Disengaja

Hari Minggu. Umumnya hari dengan tanggal merah di kalender ini menjadi hari favorit bagi sebagian masyarakat. Di mana mereka bisa bersenang-senang tanpa memikirkan banyak hal; tugas, hukuman, deadline, dan lainnya.

Banyak orang menghabiskan hari Minggu dengan jalan-jalan. Salah satunya adalah Tania, Amanda, dan Nabilla. Di hari Minggu ini mereka sepakat untuk pergi ke mal. Tapi sayangnya, mereka harus lebih dulu terjebak macet sebelum sampai di mal.

"Parah sih ini mah, bedak gue udah keburu luntur. Naikin suhu AC dong," ujar Nabilla seraya mengibas wajahnya.

Amanda yang berada di balik kemudi melirik Nabilla dari spion dalam. Dia berdecak sebal sambil menaikkan suhu AC. "Ini udah full, Bil."

"Masa? Tapi kok enggak kerasa, ya?" ujar Nabilla.

Amanda mendengus kesal. Padahal suhu AC sudah full tapi tetap saja terasa panas. "Buka aja kacanya."

"Jangan, polusi," ujar Nabilla menghentikan gerakan tangan Tania yang hendak menekan tombol.

"Kalau enggak dibuka nanti lo ngomel-ngomel lagi karena kepanasan," ujar Amanda.

Nabilla terkekeh. "Iya udah buka aja, Tan."

Tania menurut, dia menekan tombol dan perlahan kaca itu turun membuat angin berembus masuk. Bertepatan dengan itu seorang pengendara di sampingnya juga sedang membuka kaca mobilnya. Pandangan mereka bertemu. Namun, hanya sekilas.

Tania menyipitkan matanya. Merasa tidak asing dengan wajah lelaki itu. "Gue kayak kenal sama dia."

Nabilla menoleh cepat. "Siapa?"

Telunjuk Tania terarah pada pengendara lelaki itu. Nabilla menyipitkan matanya, merasa tidak asing juga. "Oh, kalau enggak salah sih dia anak OSIS di sekolah kita."

Tania menganggukkan kepala. Pantas merasa tidak asing.

...******...

Lelaki itu melirik seorang gadis yang duduk di kursi penumpang. "Masih pusing?"

Gadis itu menggeleng. "Enggak, udah mendingan." Dia menghirup minyak kayu putih.

Lelaki itu mendesah panjang. "Makanya tadi sarapan dulu."

"Gue lagi enggak nafsu."

"Mau makan di sana aja?"

"Iya udah terserah lo aja."

Gadis itu merasa mual di lambungnya. Selain karena udara pengap juga karena dia tidak sarapan.

...******...

Akhirnya setelah sekian lama terjebak macet dengan udara panas yang membuat bedak Nabilla luntur mereka masuk ke dalam mal. Begitu sejuk udaranya, tidak seperti 30 menit yang lalu.

"Akhirnya sampe," ujar Nabilla.

"Pantat gue panas nih gara-gara kelamaan nempel di jok," ujar Tania sambil menepuk-nepuk pantatnya.

"Lebay lo," ujar Amanda.

"Mentang-mentang kuat, sombong lo," ujar Nabilla.

Amanda hanya memutar bola matanya malas, tidak berniat untuk membalas ucapan Nabilla. Mereka naik ke eskalator.

"Girls, kalian pada mau beli apa?" tanya Tania.

"Enggak tahu. Kalau gue sih mau makan, udah laper nih perut," ujar Nabilla seraya mengelus perut.

"Oh, gue mau beli tas, nih," ujar Tania.

"Iya udah beli aja sana sama Amanda," ujar Nabilla.

Mereka berjalan berkeliling usai naik eskalator.

"Enak aja, gue mau makan," ujar Amanda.

"Lo berdua makan aja, nanti gue nyusul kalau udah dapet tasnya," ujar Tania.

"Emang lo berani sendirian?" tanya Nabilla.

"Beranilah, emangnya lo! Udah ah, ayo buruan, gue laper!" Amanda bergegas menarik lengan Nabilla untuk segera pergi menuju eskalator lantai 3.

Tania melambaikan tangannya pada Nabilla dan Amanda. Gadis itu berjalan mengelilingi lantai 2. Melihat-lihat barang bagus yang memanjakan mata. Sampai akhirnya dia menemukan kumpulan tas bermerek. Mata Tania berbinar, dia segera berjalan mendekat.

"Yang mana, ya?" gumam Tania saat memilih-milih tas. Lalu seperti cinta pandangan pertama, sling bag berwarna pink itu menjadi fokusnya. Dia mendekat dan hendak mengambil sling bag tersebut. Namun sayangnya, ada tangan lain yang memegang sisi tas.

"Maaf, duluan saya," ujar Tania sedikit menarik sling bag.

"Enggak, saya duluan." Orang itu menarik sling bag.

Tania merasa jengkel karena orang di depannya ini tidak ingin melepaskan sisi tas. "Maaf, anda laki-laki jadi untuk apa membeli tas berwarna pink?" Tania menarik sling bag agar lebih dekat.

Lelaki itu membelalakkan matanya, merasa harga dirinya turun. "Tidak ada hukum pidana untuk hal ini." Lelaki itu menarik sling bag-nya.

"Kalau begitu pilih yang lain." Tania menarik sling bag-nya, kali ini sedikit kasar karena lelaki itu tidak melepaskan sisi tas.

Lelaki itu mengembuskan napas. Tidak akan dia biarkan wanita ini memenangkan adegan tarik-menarik. "Tidak bisa, saya duluan."

Merasa kesal karena lelaki ini tidak mau mengalah, Tania melotot tajam. "Lo cowok, ngalah sama cewek!" bentak Tania.

Lelaki itu meneguk ludahnya. "Tapi saya—" Ucapan lelaki itu terpotong di kala Tania mendekatkan wajahnya. Semakin lama semakin dekat dengan sorot mata tajam membuat pria itu sedikit menjauhkan tubuhnya.

"Maaf, ada apa ini?"

Lelaki itu meneguk ludahnya dan melepaskan pegangannya di sisi tas membuat Tania tersenyum senang dan menepuk-nepuk dada bidangnya.

Tania menatap pegawai mal sambil tersenyum manis. "Bisa antarkan saya di mana meja kasir?"

"Oh, tentu. Mari, Mbak."

Tania tersenyum puas. Dia melangkah sombong di belakang sang pegawai yang akan mengantarkannya ke meja kasir.

Lelaki itu menatap jengkel Tania yang berjalan dengan sangat sombong.

"Dasar agresif!"

Dan, kejadian itulah yang akan lelaki itu ingat selamanya. Ketika dia merasa harga dirinya jatuh begitu saja di depan gadis agresif lantaran diolok-olok membeli tas berwarna pink.

...******...

Kringggggg!!!!

Sebuah alarm berbunyi nyaring, cahaya mentari malu-malu menembus ventilasi membentuk garis lurus. Tapi, hal itu tidak membuat seorang gadis yang menutup seluruh tubuhnya dengan selimut terbangun. Tangannya merangkak untuk mematikan jam beker. Tapi bukannya langsung bangun, dia malah kembali tertidur pulas.

"Taniaaaaaa!!!" Suara melengking beserta gedoran pintu menggema di telinga seorang gadis yang sedang tertidur pulas.

"Tania bangun, ini jam berapa? Kamu pasang alarm jam berapa, sih?" teriak seseorang dari balik pintu seraya menggedor pintu.

"Tania! Buka pintunya! Bangun!"

Tania tergolek. Matanya masih tetap terpejam sempurna. "Lima menit lagi, Ma."

"Ini setengah tujuh, Tania. Hari Senin!"

Sontak gadis bernama Tania itu langsung menyingkap selimut dan duduk tegap. Menatap jam beker yang menunjukkan pukul 06.35, matanya membulat dan bibirnya setengah terbuka. "Mampus gue!" Dia menepuk jidatnya.

"Bangun, Tania! Jangan sampai pintunya mama dobrak!"

"I-iya, Ma. Tania bangun." Gadis itu tergesa-gesa turun dari atas kasur, dan sayangnya kakinya tersangkut seprai membuat dia jatuh telungkup di lantai.

"Aduh," rintih Tania.

"Pelan-pelan, Tania," ujar seseorang yang masih setia berada di balik pintu.

"Iya, Ma. Mama siapin sarapan aja, lima menit lagi Tania turun," ujar Tania.

Tidak ada lagi suara nyaring ibunya. Itu tandanya dia sudah tidak ada di balik pintu.

"Mampus gue, telat!" Tania buru-buru bangun dan mengambil handuknya, lantas masuk ke dalam kamar mandi.

Tapi bukannya langsung mengguyur tubuh dengan air dingin, dia malah menggosok giginya lalu mencuci muka. Setelah dipastikan wajahnya benar-benar bersih dan tidak ada air liur yang menempel dia segera keluar dan berganti pakaian. Tidak peduli jika dia tidak memakai sabun, yang penting wajahnya terlihat fresh.

Setelah siap memakai seragam dia segera memakai sepatunya. Berdiri di depan cermin memperlihatkan pantulan dirinya, dia memoles sedikit bedak dan liptin, lantas segera mengucir rambutnya.

Tania menyambar tas lalu beranjak turun ke meja makan. Menghampiri ibunya yang baru saja selesai mempersiapkan bekal miliknya. "Ma, Tania berangkat ya." Tania memasukkan bekal ke dalam tas.

Mila mengernyit bingung. "Lho, kamu belum—" ucapan Mila terpotong karena tahu-tahu Tania sudah mencium punggung tangannya.

"Udah ah, Tania berangkat. Assalamualaikum." Gadis itu berlari kecil keluar rumah.

Mila geleng-geleng kepala. "Ampun ya tuh anak, cerobohnya minta ampun!"

......******......

Tania meningkatkan kecepatan larinya, dia tidak peduli sepanjang trotoar mengejar bus dia menabrak bahu seseorang dan meminta maaf sembari berlari, juga dengan kakinya yang terus tersandung. Keinginannya hanya satu; mengejar bus.

"Mang, berhenti Mang!" Tania menginterupsi sopir bus untuk berhenti saat sang sopir menatap Tania.

Sang sopir akhirnya berhenti dan kondektur membantu Tania menyebrang. Gadis itu akhirnya bisa duduk di dalam kursi bus, menetralkan napasnya yang berderu. Tania melirik jam di pergelangan tangan, pukul 07.45, lima belas menit lagi upacara akan dimulai. Gadis itu mengibas wajah dengan tangannya, merasa gerah.

Dia menggerakkan kakinya karena gemetar, keringat mulai bercucuran. Merapalkan doa agar bus ini tidak melaju layaknya seekor penyu.

...******...

Para siswa-siswi sesama bersiap menuju lapangan untuk melangsungkan upacara bendera. Begitu pun dengan para petugas upacara dan anggota OSIS yang memandu persiapan jalannya upacara.

Amanda dan Nabilla terlihat gusar di tengah lapangan di antara anak-anak yang berbaris. Amanda melirik pergelangan tangan, lima menit lagi gerbang akan ditutup dan upacara akan berlangsung. Tapi Tania, gadis itu belum juga datang membuat kedua temannya cemas.

"Tania kok belum dateng, Man?" tanya Nabilla.

Amanda mengedikkan bahu. "Mana gue tahu."

"Coba lo telepon."

Amanda berdecak sebal. "Nggak boleh buka hape kalau mau upacara."

"Terus, Tania gimana?" tanya Nabilla begitu cemas.

Petugas upacara sudah siap, berjejer rapi di barisan yang berbeda lengkap dengan selempang bertuliskan "petugas upacara". Namun sayangnya ada satu kendala, sang pengibar bendera tidak memiliki jarum untuk mengaitkan antara selempang dengan seragam.

"Gue ambil jarum dulu di ruangan OSIS, takut nanti selempang lo jatuh pas pengibaran," ujar seorang laki-laki.

Gadis itu mengangguk. "Oke."

Lelaki itu setengah berlari menuju ruang OSIS yang berada di lantai dua gedung untuk mengambil jarum. Seorang guru sedang mengecek speaker di mimbar, siap menertibkan barisan siswa-siswi.

"Cek, cek," ujar seorang guru.

Amanda dan Nabilla masih cemas menunggu kedatangan Tania. Amanda sekali lagi melirik jam tangan, beberapa menit lagi upacara akan dimulai. Amanda berdecak sebal. "Mampus deh Tania."

"Itu Tania!" teriak Nabilla.

Tania baru saja turun dari bus dan nyaris tersungkur kalau saja dia tidak melakukan gerakan refleks dengan berpegangan pada sisi pintu bus. Gadis itu berlari secepat kilat menuju gerbang. "Jangan dulu ditutup, Pak!" perintah gadis itu. Dia segera masuk ke dalam sekolah pada sedikit celah yang diberikan pak satpam.

Kalau harus menuju ke kelas dulu itu akan lama dan dia akan dihukum karena telat. Maka, Tania dengan cepat merogoh tasnya dan mengeluarkan topi. Dia melempar tas itu pada pak satpam yang baru saja menutup rapat gerbang sekolah. "Nitip tas saya, Pak, makasih," ujar Tania seraya memakai topi dan berlari menuju barisan kelas.

Bugh!

"Awh!"

Tania jatuh tersungkur membuat sisi lututnya tergores batu bata yang diletakkan sembarangan.

"Maaf, maaf," ujar seorang pria.

Tania bangkit berdiri. Menatap marah orang di depannya. Baru saja Tania akan memaki orang tersebut jika saja suara seorang guru tidak terdengar di telinganya.

"Baik anak-anak, silakan baris di barisan kelasnya masing-masing, upacara akan segera dimulai!" Mendengarnya membuat Tania memukul dada bidang lelaki itu dan berlari masuk ke dalam barisan kelas. Tepat di sebelah Amanda.

"Lo telat bangun?" bisik Amanda.

Tania mengangguk dengan napas tersengal-sengal. "Iya."

"Selamat lo kali ini," lirih Amanda.

"Baik, upacara segera dimulai!"

Lantas, protokol segera menginstruksikan jalannya upacara.

...******...

Ada jeda waktu setelah upacara selesai dilaksanakan untuk para murid beristirahat. Hal itu menyebabkan suasana kantin kembali ramai oleh hiruk pikuk siswa-siswi.

Tania, Amanda, dan Nabilla baru saja keluar dari dalam kantin setelah membeli aqua botol. Tania menggendong tasnya setelah sebelumnya dia titipkan pada pak satpam.

"Gue mau tanya, semalam lo pasang alarm jam berapa?" tanya Amanda.

"Setengah tujuh," jawab Tania.

"Pantes aja! Ngapain lo pasang alarm jam segitu?" tanya Amanda.

"Iya enggak apa-apa," jawab Tania.

"Heran gue, lo nggak ada beban-bebannya gitu. Padahal tadi gue sama Amanda khawatirin lo," ujar Nabilla.

Begitulah Tania. Seperti tidak merasakan apa pun setelah sebelumnya dia begitu sangat khawatir dan gelisah. Lihatlah sekarang, seragamnya penuh dengan keringat, bedak di wajahnya luntur, liptinnya menghilang, rambutnya acak-acakan. Persis seperti tampilan anak berandalan yang ada di trotoar jalan raya.

"Iya, gue khawatir tadi sama diri gue sendiri," ujar Tania.

"Kalau misalnya lo bangun jam setengah tujuh, lo mandi enggak?" tanya Amanda.

Tania menyengir lebar. "Gue cuman sikat gigi sama cuci muka."

Kontan saja Amanda dan Nabilla menunjukkan ekspresi jijik mereka. Mereka menutup hidung dan sedikit menjauh dari Tania. "Ih, jorok lo," ujar Nabilla.

Tania mencium kedua ketiaknya. Tidak mencium bau apa-apa tapi kenapa kedua temannya menutup hidung. "Gue wangi tahu walaupun enggak mandi."

"Tetep aja lo jorok. Atau jangan-jangan dari banyaknya lo datang mepet waktu lo jarang mandi pagi, ya?" tebak Amanda.

"Kalau gue bangun pagi ya mandi," jawab Tania.

Kontan Amanda dan Nabilla memekik bersamaan. "Iihh, jorok lo."

"Udah ah, gue mau ke WC biar enggak dibully sama lo pada," ujar Tania.

"Lo mau mandi?" tanya Nabilla.

Tania mengangguk. "Dah, bye." Tania melambaikan tangannya dan berjalan lebih dulu.

"Eh, Tania! Jangan lakuin hal gila deh lo, Tania!" teriak Amanda memenuhi lorong kelas.

"Gila tuh cewek," timpal Nabilla.

Entah apa yang dipikirkan Tania saat ini, Amanda dan Nabilla tidak bisa menebaknya. Gadis itu berjalan menuju toilet, entah benar-benar mandi atau hanya sekadar cuci muka. Semoga saja tidak ada yang bersikap seceroboh Tania nantinya.

...******...

Di ruang OSIS begitu ramai. Para anggota OSIS sedang membereskan peralatan upacara. Banyak dari mereka sedang bersiap-siap untuk menuju kelas karena bel sebentar lagi berbunyi. Aldo sedang menggulung kabel roll dan memasukannya ke dalam lemari penyimpanan.

"Lo nanti siap kan, Do?" tanya Kevin.

Aldo menoleh ke belakang. "Calon ketua OSIS?"

Kevin mengangguk. "Iya."

"Gue sih siap Kak untuk nyalonin diri."

Kevin yang notabenenya sebagai ketua OSIS masa jabatan sekarang menepuk-nepuk bahu Aldo. "Sip lah, gue yakin lo bisa jadi penerus gue yang terbaik."

"Iya, Kak."

"Ngomong-ngomong, nanti wakil lo siapa? Jean?"

Aldo mengedikkan bahu. "Nggak tahu juga sih, Kak, tapi Jean nggak boleh terlalu cape sama orang tuanya."

"Berarti si Bima?"

Bima adalah sahabat dekat Aldo. Pria itu akan selalu mengintil dan mengikuti jejak langkah Aldo. Menjadikan Aldo sebagai panutan. Maka tak jarang jika di situ ada Aldo pasti ada Bima yang mengabdi padanya.

Aldo terkekeh. "Enggak yakin gue, Kak."

"Jangan kayak gitu, walaupun dia playboy, dia bisalah diandalkan jadi babu," ujar Kevin membuat Aldo tertawa renyah. "Iya udah, gue duluan ke kelas ya."

"Iya, Kak."

Aldo meraih tasnya yang berada di atas meja pembina. Kepergian Kevin membuat ruangan kembali sepi, anak-anak telah masuk ke kelas masing-masing. Aldo sedang mengecek buku-bukunya, barangkali ada yang tertinggal.

Seseorang menepuk pundaknya membuat Aldo berjingkrak kaget. "Oy!"

Aldo melirik Bima. "Apaan?"

"Tadi kuping gue panas, lo pasti ngomongin gue ya sama kak Kevin."

"Kalau iya?" tanya Aldo seraya mengangkat sebelah alis. Dia berjalan mengambil kunci ruangan OSIS di laci meja.

"Jahat lo jadi temen, suka ngomongin di belakang, coba di depan. Kicep lo," ujar Bima.

Alih-alih merespons perkataan Bima, Aldo justru melontarkan pertanyaan pada Bima setelah selesai mengambil kunci. "Jean mana?"

"Ada tuh di kelas."

Aldo melempar kunci pada Bima dan langsung ditangkap oleh Bima. "Gue duluan ya, jangan lupa dikunci."

"Eh, gue mau ngomong sesuatu!" teriak Bima. Tapi sayangnya, Aldo lebih dulu menghilang ditelan hilir mudik para murid. "Yaelah, punya temen nyebelin amat."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!