Di sebuah universitas yang terletak kota, ada dua mahasiswa yang datang dari latar belakang yang sangat berbeda. Andini, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang sangat fokus pada studinya, selalu menjadi tipe orang yang cenderung menjaga jarak dari orang lain. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku tentang perilaku manusia, dan merencanakan masa depannya yang penuh dengan ambisi.
Sementara itu, Raka adalah mahasiswa jurusan bisnis. raka terkenal dengan sifatnya yang dingin dan tidak mudah bergaul, selalu membuat orang di sekitarnya merasa segan.
Kisah mereka dimulai di sebuah acara kampus yang diadakan setiap tahun, sebuah pesta malam untuk menyambut semester baru. Andini, yang awalnya hanya ingin duduk di sudut dan menikmati minuman, tanpa sengaja bertemu dengan Raka.
Yuk guys.. baca kisah tentang perjalanan cinta Andini dan Raka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 SEMANGAT UNTUK ANDINI.
Langit sore mulai meremang saat Andini melangkah masuk ke kafe tempat Raka bekerja. Aroma kopi dan kayu manis menguar hangat, tapi hatinya justru dingin dan penuh beban.
Raka langsung melihatnya dari balik meja bar. “Eh, kamu.. Duduk dulu ya, aku buatin coklat kesukaan kamu.”
Andini hanya mengangguk kecil, lalu duduk di pojok kafe yang jarang dihuni pengunjung. Matanya kosong, pundaknya berat seperti memikul sesuatu yang nyaris tak tertahankan.
Tak lama, Raka datang dengan dua gelas. Satu untuk Andini, satu lagi untuk dirinya.
“ Coklat hangat, biar kamu senyum lagi,” ucapnya ringan.
Tapi senyum Andini tak muncul. Ia hanya menatap gelas itu, lalu berkata pelan, “Rak, aku capek.”
Raka langsung serius. “Kenapa? Di kantor lagi ribet?”
Andini menatapnya. “Lebih dari ribet. Ada gosip... yang bilang aku di tawari menjadi pegawai tetap karena punya hubungan spesial sama atasan.”
Raka menatapnya tak percaya. “Serius? Siapa yang bilang?”
“Namanya gosip, pasti bisik-bisik. Tapi udah sampai ke telinga dosenku juga,” ujar Andini, nadanya getir. “Padahal aku kerja mati-matian, Rak. Lembur, revisi laporan,… tapi yang mereka lihat cuma hal itu.”
Raka menghela napas, lalu menggenggam tangan Andini di atas meja. “Denger ya, Din. Kamu tahu kamu nggak salah. Orang-orang bakal selalu cari celah buat ngejatuhin orang yang keliatan kuat. Tapi kamu punya hak buat bangga sama dirimu sendiri.”
Andini menunduk. “Tapi kadang aku mikir, lebih gampang nyerah dan pergi.”
“Kalau semua orang baik nyerah, dunia bakal penuh orang licik, Din. Kamu kuat. Tapi kamu juga nggak sendiri.”
Ia menatap Raka, mata mereka bertemu dalam diam yang penuh pemahaman. Di antara gelas-gelas kopi dan obrolan pengunjung lain, dunia mereka sejenak membungkam.
Andini tersenyum kecil. “Makasih, ya. Kamu nggak pernah nge-judge aku.”
Raka tersenyum balik. “Aku lebih percaya kamu daripada kata orang yang nggak kenal kamu.” Raka mengelus lembut pipi andini " Besok, aku akan antar kamu ke perusahaan "
Andini mengangguk paham.
Andini dan Raka masih duduk berdua di pojok kafe, coklat mereka sudah tinggal setengah, tapi obrolan jadi lebih ringan sejak Andini menceritakan isi hatinya. Di antara canda kecil, pintu kafe mendadak terbuka keras, dan dua suara familiar langsung menyapa riuh.
“WOY, BARISTA CINTA!” teriak Denis sambil menunjuk Raka. Di belakangnya, Irfan nyengir lebar bawa jaket yang masih basah kena hujan gerimis.
Raka spontan tertawa. “Gila, suara kamu bikin pelanggan bubar, Denis! ”
Denis langsung melenggang masuk tanpa permisi, duduk di sebelah Andini. Irfan duduk di seberang sambil menaruh jaketnya.
“Eh, Andini! kamu di sini. Raka lagi bikin puisi kopi, ya?” celetuk Irfan iseng.
Andini nyengir, matanya udah nggak setegang sebelumnya. “Lagi diskusi penting, sebenernya.”
Denis melirik Raka cepat, lalu pura-pura bisik ke Irfan. “Wah, ini mah aura-aura orang habis curhat serius, Fan.”
Raka cuma geleng-geleng. “Udah, kalian berdua kalau nimbrung nggak usah sok halus. Emang dasar hama.”
“Tapi kita hama yang peduli,” kata Denis sambil menepuk pundak Andini. “Kalo ada yang bikin lo kesel, bilang. Kita bisa datengin satu kantor dan... beli sahamnya biar bangkrut. Gitu ya, Fan?”
Irfan ikut-ikutan angkat alis. “Atau pura-pura jadi customer cerewet terus ngamuk-ngamuk. Terus bilang, ‘kenapa promosi si Andini sih? Kan dia cuma cewek! biar kita lihat siapa yang keluarin suara paling sumbang.”
Andini tertawa kecil. “Gila, kalian dramatis banget. Tapi... makasih ya. Sumpah, ini pertama kalinya aku ketawa sejak denger gosip itu.”
Raka merangkul pundak Andini singkat, dengan tatapan sayang. “Lihat? Geng waras ini selalu datang pas timing-nya pas.”
Denis mengangkat gelas kosong. “Untuk Andini, wanita tangguh yang nggak bisa dikalahin omongan orang.”
Irfan ikut mengangkat gelas, meskipun isinya cuma air putih. “Dan untuk Raka, yang diam-diam jadi barista sekaligus bodyguard emosional.”
Andini ikut mengangkat cangkir cappuccinonya, tersenyum hangat. “Dan untuk kalian berdua... sahabat kafe paling rusuh yang bisa bikin hati lega cuma karena becandaan receh.”
Tawa pun pecah di meja kecil itu. Di luar, hujan makin deras. Tapi di dalam, suasana makin hangat—bukan karena heater, tapi karena persahabatan yang sederhana tapi tulus.
ASRAMA.
Andini duduk di bawah, pakai masker wajah warna hijau mint, sambil mengipasi wajahnya dengan buku skripsi. Di atas kasur, Nana lagi sibuk nyisir rambut sambil berdiri, seperti MC kondang. Sofi? Ia duduk di lantai, bawa cemilan keripik pedas yang udah nyaris habis.
“Jadi,” kata Nana sok serius, “dengan ini, saya nyatakan: Andini resmi dinobatkan sebagai cewek paling tenang menghadapi gosip se-kampus dan se-perkantoran!”
Sofi langsung tepuk tangan keras-keras. “YES! Panutan netijen +62!”
Andini tertawa sambil melempar bantal kecil ke arah Nana. “Tenang-tenang apaan? Tiap malam aku ngelus dada, takut gosip mutasi jadi sinetron.”
“Eh,” kata Sofi sambil nyengir, “gimana kalo gosipnya kamu sebenernya pacaran sama dua cowok, Raka dan bos barista tampan bernama Riko. Padahal itu orang sama, cuma beda shift!”
Tawa meledak lagi. Bahkan Andini sampai terbatuk karena ketawa sambil minum teh.
Nana turun dari kasur dan duduk di samping Andini. “Serius ya, Din... lo keren banget. Gue sama Sofi tuh sampe mikir, kalo kita yang digituin, mungkin udah ngilang ke Bali bawa koper dan luka.”
Andini tersenyum, matanya lembut. “Aku bisa sekuat itu... karena kalian ada. Serius deh. Kalian bikin aku inget siapa diriku di balik semua omongan orang.”
Sofi berdiri dan angkat gelas plastik teh manis. “Untuk Andini... dan untuk semua perempuan yang nggak takut berdiri, meski diguncang rumor!”
Nana langsung menyambar: “Dan untuk kita bertiga... yang udah kayak trio penjaga asrama terseru!”
Andini ikut angkat gelas, suaranya pelan tapi mantap. “Dan untuk malam-malam kayak gini... yang penuh tawa, masker wajah, dan cinta yang nggak pernah gosipin siapa pun.”
Mereka bertiga tertawa lagi, sambil rebahan dan nyalain lagu pelan dari speaker kecil. Di luar, hujan mulai turun. Tapi di kamar kecil itu, kehangatan tak pernah surut.