NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28: Skenario Hendrik, Strategi Andi

Hari-hari berlalu, tetapi pikiran Dion terus dihantui oleh sosok pria bertubuh kecil yang ikut mengeroyoknya. Ia merasa pernah melihat pria itu sebelumnya, tetapi tak kunjung bisa mengingat di mana dan kapan.

Siang itu sepulang mengantar Wina ke kampus, Dion menyadari ban sepeda motornya bocor. Ia menepi ke tukang tambal ban dan harus menunggu karena antrean cukup panjang. Tempat itu berada di dekat sebuah rumah makan tempatnya sering makan siang dulu.

Saat duduk menunggu, ingatannya tiba-tiba terang.

"Ya! Aku ingat sekarang!" pikirnya. Pria kecil berkepala plontos itu pernah ia lihat di situ, bercanda dengan seorang tukang parkir.

Tanpa membuang waktu, Dion segera mencari tukang parkir yang biasa bekerja di depan rumah makan. Tak butuh lama, pria yang ia cari muncul. Dion pun mendekatinya.

"Halo, Bang! Dapat banyak hari ini?" sapanya ramah.

"Lumayan. Tapi panasnya bukan main," sahut pria berusia tiga puluhan itu.

Dion tersenyum tipis. "Kawan Abang itu mana? Sudah lama aku nggak lihat dia di sekitar sini."

"Kawan yang mana?" tukang parkir itu balik bertanya.

"Bang... siapa namanya, ya? Aku lupa. Yang kecil, botak itu," Dion berpura-pura.

"Oh, si Marihot. Begitulah dia. Kalau lagi banyak duit, lupa sama orang susah kayak aku. Mungkin sekarang lagi mabuk-mabukan di Simpang Limun."

Dion mengangguk seolah baru tahu. "Sepertinya minggu lalu aku melihatnya di simpang Jalan Kemiri. Itu tempat nongkrongnya, kan?"

"Dekat situ, Simpang Bahagia. Tiap hari dia di sana," jawab pria itu.

Saat itu, tukang tambal ban memberi tahu bahwa motornya sudah selesai diperbaiki. "Aku cabut dulu, Bang!" kata Dion sebelum berlalu.

Setelah membayar, Dion langsung menuju Simpang Bahagia dan berkeliling mencari Marihot. Ia memeriksa setiap tempat nongkrong di sekitar situ, tetapi setelah dua jam, sosok yang dicarinya tak juga terlihat.

"Bagaimana kalau dia lebih dulu melihat dan mengenaliku?" pikir Dion. Ia pun memutuskan untuk pergi.

Keesokan harinya, setelah mengantar Wina, Dion kembali ke Simpang Bahagia. Kali ini ia mengenakan kacamata hitam dan topi baseball agar lebih sulit dikenali. Namun, hingga sore setelah berpindah dari satu warung ke warung lain, ia tetap tak menemukan Marihot.

Hari berikutnya, Dion mengulangi pencariannya. Karena Wina masuk kuliah pukul delapan pagi, ia tiba lebih awal. Keberuntungan akhirnya berpihak padanya. Ia melihat Marihot dibonceng seorang pria dan memasuki sebuah gang. Dion segera mengikuti mereka.

Gang itu mengarah ke sebuah rumah dengan halaman luas yang dipenuhi pohon rambutan. Beberapa pria tampak duduk mengitari meja, memegang kartu remi sambil tertawa keras. Dion tak mau gegabah. Ia segera menjauh dan menunggu di depan gang, berharap bisa melihat Marihot keluar.

Benar saja. Menjelang tengah hari, Marihot muncul, masih berboncengan dengan rekannya. Dion kembali mengikuti mereka hingga motor itu berhenti di depan sebuah rumah kecil. Ia pun menghentikan kendaraannya di sebuah warung yang berhadapan langsung dengan rumah itu.

Ternyata, rumah tersebut tak jauh dari kontrakan Dion, meskipun berada di jalan yang berbeda. Dengan berpura-pura mencari kontrakan, ia mengobrol dengan pemilik warung depan rumah Marihot untuk menggali informasi lebih jauh.

"Bang Marihot itu nggak punya kerjaan tetap. Dulu dia kerja di pabrik, tapi kena PHK," tutur wanita pemilik warung.

Puas dengan informasi yang didapat, Dion pun meninggalkan tempat itu, menyusun rencana selanjutnya.

...***...

Selama dua hari berikutnya, Dion terus mengawasi Marihot. Kali ini, ia lebih fokus mencari tahu tentang keluarganya.

Dari informasi yang dikumpulkannya, Dion mengetahui bahwa Marihot adalah pengangguran dan preman dadakan. Ia memiliki dua orang anak: seorang gadis kecil yang baru duduk di kelas satu SD dan seorang anak lelaki yang masih balita. Yang membuat Dion kesal, istri Marihot ternyata memiliki marga yang sama dengannya.

Beberapa hari kemudian, Dion mengumpulkan Hendrik dan Andi untuk membahas langkah mereka selanjutnya. Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, mereka sepakat bahwa Dion akan menemui Marihot secara langsung di rumahnya.

Hari yang ditentukan pun tiba. Siang itu, Dion tiba di rumah Marihot dengan membawa kantung belanja dan kantung plastik hitam. Hendrik menunggu di warung, berpura-pura mencari alamat, sementara Andi berpatroli dengan motornya, mengantisipasi kalau-kalau keadaan menjadi tidak terkendali.

"Ito! Permisi, Ito!" Dion mengetuk pintu yang sudah terbuka.

"Cari siapa?" sahut seorang wanita berusia akhir dua puluhan.

"Aku temannya Lae Marihot," jawab Dion, lalu menyalami wanita itu sambil menyebutkan marganya. Wajah wanita itu seketika tampak lebih ramah dan senang mengetahui tamunya memiliki marga sama, artinya ada ikatan keluarga dengannya.

"Mana Bere-ku yang dua orang itu, Ito?" tanya Dion.

Bere adalah panggilan untuk keponakan atau kemenakan dalam Bahasa Tapanuli.

"Ada di belakang, lagi makan orang itu," jawab istri Marihot.

"Panggilkan lah, Ito! Aku ada bawa sesuatu untuk mereka," kata Dion sambil mengambil salah satu kantung plastiknya. Istri Marihot pun memanggil kedua anaknya.

Dion menyerahkan sebuah tas sekolah merah muda kepada anak tertua Marihot dan mobil mainan plastik kepada si bungsu. Selain itu, ia juga memberikan sekantung penuh makanan ringan yang langsung disambut dengan gembira oleh keduanya.

"Bilang apa sama Tulang? Salam lah dulu Tulangmu ini," ujar istri Marihot kepada anak-anaknya. Dion tersenyum sambil menyalami mereka.

"Jam berapa biasanya Lae pulang?" tanya Dion santai setelah dipersilakan duduk.

Lae adalah panggilan untuk saudara ipar dalam bahasa Tapanuli.

"Biasa jam segini udah datang dia. Dia selalu makan siang di rumah. Ada urusan apa rupanya, Ito?" tanya istri Marihot.

"Ada sedikit yang ingin kutanyakan," jawab Dion. "Kalau-kalau dia mau kerja malam sebagai petugas keamanan."

Istri Marihot tampak senang mendengar hal itu.

Dion masih bercanda dengan anak bungsu Marihot ketika pria itu akhirnya muncul di depan pintu. Langkahnya terhenti begitu melihat Dion duduk di ruang tamunya, bermain dengan anak-anaknya. Matanya melebar, napasnya tercekat.

Anak tertuanya berlari menghampiri.

"Pak, lihat! Tulang belikan tas baru. Cantik, kan? Adik juga dapat mobil-mobilan!" katanya riang.

"Tulang juga bawa jajan banyak, Pak!" tambahnya lagi.

Marihot bingung.

"Sudah datang, Lae? Duduklah dulu, kita bicara," ujar Dion tenang.

Istri Marihot beranjak dari duduknya. "Aku bikinkan minuman dulu ya, Ito!?”

"Ah, tak usah repot-repot, Ito. Ambilkan gelas saja. Aku bawa minuman sedikit ini," sahut Dion sambil mengangkat plastik berisi botol bir dan wiski kecil ke atas meja.

Istri Marihot mengangguk, lalu pergi ke ruang belakang.

"Kenapa kau ada di sini? Urusan kita di luar, bukan di sini," ketus Marihot. Suaranya bergetar.

"Tenang saja, Lae. Aku cuma mau bicara. Tak akan lama," ujar Dion, tetap dengan nada santai.

Marihot menoleh ke luar, seolah memastikan apakah rumahnya sudah dikepung.

“Maaf tidak ada gelas yang lebih baik,” ujar istri Marihot sambil meletakkan dua gelas kosong di meja. Dion menyahut dengan senyuman.

Tak ingin pembicaraannya dengan Marihot melibatkan perempuan itu. Dion pun meminta agar istri Marihot membiarkan ia berbicara berdua saja dengan suaminya.

Istri Marihot lalu mengajak kedua anaknya pindah ke ruang belakang meninggalkan Dion dan Marihot di ruang tamu sederhana itu.

Dion lalu membuka plastik hitam yang tadi ia bawa lalu mengeluarkan botol bir dan meletakkannya di meja. “Aku datang bukan mau balas dendam,” ujar Dion sambil mulai membuka botol itu.

“Lagi pula kami tidak bermain seperti preman. Kalau mau, Lae sudah kami angkat malam-malam waktu pulang dari Simpang Bahagia.” Dion mulai menuangkan bir ke gelasnya dan gelas di hadapan Marihot.

Pria plontos itu memucat. Pemuda itu bahkan sudah tahu tempat tongkrongannya.

“Kalau kami angkat, Lae tak akan pernah kembali. Jasad tak akan pernah ditemukan,” tambah Dion dingin lalu meminum bir dari gelasnya.

Dion kemudian membuka botol whisky kecil.

“Ito tak akan sadar kalau ia sudah jadi janda. Kedua bere ku itu pun tak tahu kalau mereka nggak akan pernah bertemu bapaknya lagi seumur hidupnya.”

Dion lalu mencampurkan whisky ke gelas bir lalu mereguk minuman itu.

“Ah! Ternyata masih terlalu pagi untuk whisky,” keluh Dion seolah pada dirinya sendiri yang sebenarnya tak terbiasa dengan minuman keras. Ia melakukannya hanya demi sandiwara yang ia susun bersama Andi dan Hendrik.

“Tapi aku ke sini bukan untuk yang begituan. Aku cuma ingin bicara.”

Sesaat Dion menatap Marihot yang terpaku di tempat duduknya.

“Tulang rusukku Lae patahkan dengan tendangan, kaki ku patah, mukaku ditikam pisau dan dipukuli. Aku koma selama satu minggu. Butuh dua bulan sampai kakiku sembuh,” jelas Dion lalu kembali meminum campuran bir dan whisky itu.

“Minum lah, Lae!” seru Dion pada Marihot yang terus saja membisu. Tapi pria plontos itu tak punya selera apapun ketika itu. Ia sangat ketakutan. Pemuda yang ia aniaya sudah berada di rumahnya sendiri. Ia belum yakin apa keinginan dan maksud Dion di rumahnya.

“Kami tahu kampung Lae di mana. Orang tua, saudara-saudara di mana saja kami tahu. Lae pikir kami balas dendam pake pukul-pukul keroyokan kek gitu? Preman kampungan itu,” lanjut Dion dengan nada sinis.

“Dor! Mati.”

Seru Dion tiba-tiba dengan suara yang lebih mirip bentakan.

Marihot tersentak kaget.

Ia terkencing karena ketakutan. Apalagi ketika Dion mengangkat kaosnya menunjukkan logam hitam menyerupai pistol yang terselip di pinggangnya.

“Tadinya kau sudah dalam daftar mati. Tapi ternyata kau menikahi saudari semargaku. Jadi kusuruh mereka membatalkan. Kau liat di luar itu?” ketus Dion lagi sambil memberi gestur menunjuk ke pintu rumah.

Marihot menoleh ke arah pintu. Ia melihat dua orang pria muda lewat di depan rumahnya. Satu di antaranya mengenakan celana loreng, sepertinya anggota resimen mahasiswa. Kedua pria muda itu sebenarnya hanya kebetulan melintas. Bukan bagian dari sandiwara Dion.

“Bukan cuma yang dua itu, yang sedang duduk di warung juga. Dua orang lain menunggu di ujung sana. Dan kalau kau tunggu, dalam satu menit kau akan lihat seorang lagi melintas dengan sepeda motor,” tambah Dion sambil menatap tajam pada Marihot.

“A.. a... aku harus bagaimana, Lae?” Marihot akhirnya menyahuti Dion. Suaranya bergetar. Tak bisa melawan rasa gugup dan takutnya.

Dion kembali meneguk minuman di hadapannya. Ia kembali menatap dingin pada Marihot lalu menyatakan maksudnya.

“Siapa yang suruh? Yang kasih order ke orang Lae.”

Dengan tangan gemetar, Marihot kemudian mengeluarkan segumpal uang yang digulung dari sakunya. “Ini sisa uang yang kuterima. Bayarannya nggak banyak.”

Melihat gumpalan uang itu di atas meja Dion lalu berteriak memanggil istri Marihot, “Ito! Sebentar dulu sini.”

Istri Marihot segera muncul mendekati Dion. “Itu Lae ada rezeki uang. Ambil lah Ito nanti habis dibuatnya,” ujar Dion.

Buru-buru Istri Marihot mengambil gumpalan uang itu.

“Lae mu ini memang nggak boleh simpang uang, Ito. Kalau ada uang dihabiskan dengan main judi dan mabuk-mabukan. Padahal anak istrinya kelaparan,” keluh istri Marihot melaporkan kebiasaan suaminya.

“Ya sudah lah, Ito. Nanti aku bilangin sama Lae ini. Kami bicara lagi dulu sedikit lagi, ya,” kata Dion lagi. Istri Marihot yang mengerti maksud Dion langsung kembali ke ruang belakang.

“Nama. Aku mau nama yang kasih order,” Dion kembali mengutarakan keinginannya sambil mereguk minuman beralkohol dari gelas di depannya.

“Kami sudah bersumpah tidak akan menyebutkan namanya, Lae,” sahut Marihot tertunduk tak berani menatap Dion.

Dion menarik napas panjang. Tapi kemudian mengeluarkan satu kartu nama dari dompetnya dan pulpen dari sakunya. “Sumpah tidak sebut nama kan? Bukan sumpah untuk tidak menulis nama?”

Dion lalu menyodorkan pulpen dan kartu nama yang dibalik ke depan Marihot.

“Tulis namanya. Ini bukan permintaan. Perintah! Menolak akan ada konsekuensi. Aku sudah terlalu baik dari tadi,” hardik Dion pura-pura mulai emosi.

Pria plontos berbadan kecil itu kembali kaget. Nyawanya seolah ingin melompat meninggalkan raga. Marihot yang sudah kehilangan nyali akhirnya menuliskan sesuatu di atas kartu nama terbalik itu.

Dion segera mengambil kartu nama dan pulpen itu untuk memeriksa tulisannya.

“Joni Sedan,” baca Dion dalam hati kecewa lalu menyimpan kartu itu ke dalam saku kemejanya. Ia mengharapkan nama Reinhard di sana.

“Lalu laki-laki yang naik mobil terakhir datang dan menendang mukaku itu siapa?” Dion melanjutkan interogasi itu.

“Dia orang yang memberi order pada…” jawab Marihot sambil menunjuk ke kartu nama di tangan Dion. Marihot masih saja tak mau menyebutkan nama itu. “Kami hanya orang suruhan yang menerima order,” tambahnya lagi.

“Kau tau namanya? Jangan bilang kau bersumpah tak bisa menyebut nama si bangsat itu,” Dion setengah menghardik.

“Re... rei... ,” Marihot berusaha mengingat-ingat sebuah nama.

“Reinhard?” sela Dion.

“Iya betul. Namanya Reinhard, aku dengar namanya disebut waktu bertelepon dalam mobil. Bos menerima order dari dia,” jelas Marihot.

“Aku sudah tahu siapa dia. Dia orang lama tapi baru pindah lagi ke sini, kerja di BUMN, aku juga sudah tahu rumahnya,” ungkap Dion membuat Marihot heran dan kagum tapi juga takut setengah mati.

Sesaat Dion menatap pria plontos itu yang terus saja menundukkan wajah dan pucat. Ia sangat khawatir, bukan pada diri sendiri, tapi pada keselamatan anak dan istrinya.

“Baiklah. Hanya itu yang perlu aku bicarakan sekarang. Kalau perlu aku akan datang lagi,” Dion mengakhiri interogasi itu. Marihot pun merasa sedikit lega.

“Berubahlah sebelum terlambat,” tambah Dion seolah menasihati pria yang dalam sistem kekerabatan Tapanuli itu merupakan iparnya.

“Ito, aku permisi dulu, ya!” seru Dion pamit dengan berteriak agar istri Marihot mendengarnya dari dapur.

“Lho, langsung pulang, Ito? Nggak makan siang dulu kita?” sahut Istri Marihot yang masih merasa senang karena tiba-tiba mendapat uang. Ia belum tahu uang itu milik suaminya sendiri.

“Aku masih ada urusan. Lain kali lah, ya! Mana Bere yang dua itu?” tanya Dion yang ingin berpamitan pada kedua anak Marihot.

“Tulang pulang dulu. Baik-baik kalian sama mama kalian. Nggak boleh nakal-nakal, ya!” pesan Dion sambil menyalami kedua anak itu dan menyelipkan uang 20 ribuan ke tangan keduanya, membuat Istri Marihot tambah senang.

Dion pun meninggalkan rumah Marihot. Ia berhenti sejenak di depan warung untuk memberikan kesempatan Hendrik naik ke motornya dan melaju meninggalkan lingkungan itu.

...***...

“Bagaimana, Bro?” tanya Andi ketika mereka tiba di sebuah warung untuk makan siang.

“Skenario Hendrik ditambah strategi Andi menggunakan alkohol sangat jitu. Aku sudah mendapatkan namanya,” sahut Dion lalu menyerahkan kartu bertuliskan nama yang tadi disebut Marihot.

“Orang ini yang menyuruh?” tanya Andi lalu menyerahkan kartu itu pada Hendrik untuk memberinya kesempatan memeriksa.

“Itu bosnya. Marihot mendapat perintah dari Joni Sedan atas order Reinhard,” jelas Dion.

“Bagaimana, Bro? Apa kita balas si Joni Sedan itu atau serahkan ke polisi?” Hendrik ingin mengetahui tindakan Dion selanjutnya.

“Yang terpenting kini aku sudah tahu Reinhard adalah otak pelaku. Kita lihat perkembangannya, kalau dia masih mengintimidasi, aku akan lapor ke polisi biar mereka semua digulung,” jelas Dion.

“Tapi dia orang kaya dan preman di belakangnya,” keluh Andi.

“Jangan lupa, polisi di belakang kita. Apalagi kalau kasus ini sampai diberitakan, semua surat kabar akan latah mengulas berita itu. Mereka pasti lebih bersimpati pada sesama pekerja pers seperti aku dari pada orang kaya sombong. Maka habislah si Reinhard itu, preman itu juga, semua akan digulung karena tekanan dari pers dan publik.”

“Sampai ke kejaksaan dan pengadilan pun, wartawan akan mengawal kasus ini. Polisi, jaksa dan hakim akan berpikir dua kali kalau mau main mata,” tambah Dion meyakinkan sahabatnya.

“Jadi posisi kita lebih kuat daripada posisi mereka. Hanya saja aku minta, kalau mereka sampai membunuhku, kuharap kalian berdua menyebutkan ketiga nama itu; Reinhard, Joni Sedan dan Marihot pada polisi dan wartawan di kantorku,” Dion meminta bantuan sahabatnya.

“Itu pasti. Jangan khawatir,” sahut Hendrik disertai anggukan Andi.

...***...

Di kantor, Dion juga menceritakan masalahnya itu pada Felix, wartawan kriminal yang juga aktif di organisasi kepemudaan di Kota Medan.

Felix lah yang paling banyak mengurusi perawatan Dion pada hari pertama ia dirawat di rumah sakit. Felix pula yang membuat laporan penganiayaan berat itu pada polisi.

“Joni Sedan itu temanku. Kami sama-sama pengurus organisasi kepemudaan. Lagipula dia pernah tinggal di rumah orang tuaku semasa sekolah dulu,” ungkap Felix.

“Dia punya showrom mobil bekas yang khusus menjual sedan. Di situlah dia mendapat nama Joni Sedan. Dulu dia pernah janji pada orang tuaku kalau dia sudah tobat dan tidak melakukan tindakan premanisme lagi,” tambah Felix geram pada Joni Sedan.

“Semua terserah padamu. Aku akan tetap mendukung kalau kau memutuskan mem-polisi-kan mereka. Kita habisi si Reinhard yang sombong itu. Karirnya akan habis, ditambah kena pasal 353 dan 354 KUHP, penganiayaan berat, dan penganiayaan berat berencana, 5-8 tahun penjara.”.

“Kuharap Bang Felix merahasiakan informasi ini dari siapapun,” pinta Dion. Kemudian ia menceritakan kisah asmaranya dengan Wina dan kekerasan itu merupakan bagian dari upaya pelarangan atas hubungan mereka.

“Oppung, orang tua yang kala itu membayar biaya pengobatanku adalah ibunya Reinhard. Aku tak tega kalau melihat dia menderita melihat anaknya dipecat dan dipenjara,” ujar Dion.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan menyempatkan diri mengunjungi Joni Sedan untuk memintanya menjauhimu. Tapi kalau dia menolak, aku terpaksa melaporkan kasus ini dalam berita dan pada polisi. Aku tak bisa membiarkanmu dalam bahaya dan risiko terbunuh,” cetus Felix serius.

“Kau tak boleh merisikokan nyawa demi si Reinhard itu. Apalagi dia cuma paman pacarmu. Risikonya tidak sepadan,” tambahnya lagi membuat Dion cemas.

“Kau harus coba melihatnya dari kacamataku. Wina itu pacarmu bukan istrimu. Aku tak peduli walaupun kau mencintainya sepenuh hati. Tetap saja dia cuma pacar. Sadarlah!” tegas Felix karena melihat Dion diam dan cemas.

“Sebaliknya, aku akan mendukungmu yang mendahulukan kepentingan keluarga Wina kalau dia istrimu, walaupun seandainya kau mengatakan sudah tak mencintainya. Pacaran itu adalah perjanjian dua pihak. Tapi pernikahan itu perjanjian tiga pihak. Kau tahu siapa pihak ketiga?” Felix menceramahi Dion.

“Aku tahu, Bang. Tuhan!” jawab Dion.

“Syukurlah, kau ternyata mengerti maksudku. Kalau Joni setuju menjauhimu maka aku serahkan keputusan padamu, apa mau melaporkan Reinhard atau tidak,” ujar Felix.

“Iya, Bang! Aku paham maksud Bang Felix,” pungkas Dion kemudian.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!