Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Perpisahan Dan Awal Yang Baru
Ide untuk kabur dari sini terlintas di benaknya. Hanya itu saja pilihannya kali ini, yaitu kabur. Jika dia tidak kabur, dia harus terpaksa pergi ke sana dan terjebak di dalam lingkaran bangsawan. Yah, ini juga bukan pertama kalinya dia berbuat hal serupa. Sudah beberapa kali dia berbuat hal serupa, dan ujung-ujungnya dia hanya kabur beberapa hari dan kemudian kembali ke rumah. Akan tetapi kali ini dia akan pergi cukup lama, mungkin dia akan mengembara ke suatu tempat, jauh dari kerumitan dunia bangsawan.
[Yah, tidak ada pilihan lain, aku harus kabur.]
Herald sudah membulatkan tekadnya. Dia pun segera menyusun rencana untuk pergi dari sini. Setelah itu, dia mulai menyimpan barang-barang yang dia perlukan, termasuk uang di dalam kopernya. Barang-barang penting, pakaian, dan uang yang bisa dia bawa telah disiapkan dengan teliti. Tak ada waktu untuk berlama-lama.
Dalam 15 menit, semua barang sudah tersimpan di dalam koper. Herald merasa puas kali ini. Tidak ada yang terlewatkan.
"Untuk sekarang, aku harus menunggu malam dan segera kabur dari sini."
Herald tahu, hanya dengan gelapnya malam, dia bisa melarikan diri tanpa banyak perhatian. Tanpa suara. Maka, ia memutuskan untuk bertahan di kamarnya hingga matahari terbenam.
Suasana di luar mansion terasa hening dan sejuk. Ketika malam mulai merayap, suara aungan anjing menggema di kejauhan, ditambah angin sepoi yang menenangkan. Langit cerah, dihiasi bintang-bintang dan bulan yang terpantul di kegelapan malam. Semua tampak tenang, seakan dunia ini sedang tidur.
Namun, tidak dengan Herald. Saat itu, dia sudah bersiap dengan pakaian serba hitam, berusaha menyatu dengan kegelapan malam. Di sampingnya ada koper yang sudah terisi penuh, siap untuk membawanya pergi jauh.
"Baiklah, waktunya kita kabur," ucapnya dengan semangat.
Herald membuka jendela perlahan, memastikan tidak ada suara yang terdengar. Sambil sedikit menyelidiki, ia memastikan sekitar mansion tampak aman. Beberapa penjaga tampak berjaga, namun tak dekat dengan posisinya.
[Bagus ... tidak ada penjaga.]
Herald mulai turun dengan hati-hati, menggunakan tali dari kain yang dipersiapkannya. Perlahan, dia mendarat dengan kaki yang ringan, tanpa menimbulkan suara. Ia menyelinap ke sisi lain, terus mengamati sekelilingnya. Tak jauh darinya, ada beberapa prajurit yang berjaga, namun mereka berada pada jarak yang cukup aman.
Dengan sigap, Herald berjalan mendekat, berjinjit perlahan agar tak terdengar, dan berhasil melewati mereka tanpa tertangkap.
Sekarang, gerbang mansion sudah di depan mata. Terbuka lebar, seolah menunggu langkah terakhirnya. Dia memeriksa sekeliling, memastikan tak ada yang mengawasi. Tanpa ragu, Herald mempercepat langkahnya, melangkah keluar dari mansion yang telah menjadi penjara bagi kebebasannya.
Sekarang, dia berdiri di luar gerbang, bebas. Tak ada lagi yang menghalangi. Dengan hati penuh kegembiraan, dia melangkah maju, siap memulai petualangan baru, meninggalkan peraturan dan dunia bangsawan yang membelenggu hidupnya.
Namun, Herald tidak tahu, apa yang dia kira kebebasan, sebenarnya hanya sementara. Dari balik jendela lantai dua mansion, seseorang memperhatikan setiap gerak-geriknya. Seorang sosok dengan busur, siap melesatkan panah.
"Wushh!!"
Suara itu memecah kesunyian malam. Anak panah melesat cepat, begitu mendekati Herald, dia secara reflek berbalik. Dalam sekejap, sebuah panah meluncur tepat di depan wajahnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya kaku, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
Panah itu tertancap di tanah, begitu dekat dengan langkahnya.
[Panah itu ....]
Herald menatap panah yang tertancap di tanah dengan mata terbelalak, seolah tak percaya. Suara dari belakang memecah keheningan.
"Herald! Sekali lagi kamu melangkahkan kakimu, maka tembakanku kali ini tidak akan meleset."
Herald perlahan berbalik. Rasa takut merayapi tubuhnya, tatapan matanya bertemu dengan sosok yang kini berdiri dengan busur terhunus.
"A-ayah ...!" ucap Herald dengan suara tercekat. Sosok yang memanahnya adalah ayahnya sendiri, Demios.
Tatapan ayahnya yang penuh amarah tak bisa disangkal lagi.
"Apakah kamu ingin kabur lagi, Ha!? Sekarang, urungkan saja niatmu itu dan masuk kembali!" Demios berteriak dengan tegas, suaranya menggema dengan otoritas seorang ayah yang tidak akan tergoyahkan.
Herald tak bisa berkata-kata. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Hanya bisa menunduk saat para penjaga datang menghampirinya, membawanya kembali masuk ke dalam mansion. Rencana kabur yang sudah dirancang dengan hati-hati hancur begitu saja.
Dia kembali ke dalam mansion, dengan rasa kecewa yang menggerogoti hatinya. Namun, satu hal yang dia yakini, ini belum berakhir. Rencana baru harus disiapkan, untuk kebebasan yang sesungguhnya.
***
Setelah kejadian itu, Herald dimarahi habis-habisan oleh Demios. Amarah ayahnya yang tak terbendung membuat Herald merasakan seolah seluruh tubuhnya dihantam gelombang emosi yang tak bisa ditanggulangi. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya seperti cambukan yang melukai perasaannya. Semua alasan Herald untuk kabur hanya dipandang sebagai bentuk pemberontakan yang tak bisa diterima oleh Demios.
Alasan Herald kabur sederhana namun jelas. Ia tidak ingin dibawa ke kota Elestial. Itu adalah sebuah tempat yang penuh dengan aturan dan harapan tinggi yang harus dipenuhi. Semua yang ada di sana seperti sebuah beban yang membuatnya merasa terperangkap dalam hidup yang dipenuhi ekspektasi orang lain. Herald ingin hidup dengan cara sendiri, bebas dari segala keterikatan yang ada di dunia bangsawan ini.
Namun bagi Demios, keputusan Herald sangatlah berlawanan dengan apa yang diinginkannya. Elestial adalah tempat yang bisa memberikan kemajuan bagi keluarga mereka. Di sana, Herald bisa belajar lebih banyak, memahami dunia bangsawan dengan segala seluk-beluknya, dan mungkin bisa membawa kemajuan bagi keluarga mereka kelak. Tapi bagi Herald, hal itu hanya akan semakin membelenggunya.
Setelah pemarahan yang tak henti-hentinya, Demios memutuskan untuk mengurung Herald. Kamar yang biasa dia tinggali kini menjadi sebuah penjara. Jendela yang dulu selalu terbuka kini tertutup rapat atas perintah Demios. Semua upaya Herald untuk melarikan diri dipadamkan begitu saja.
Meskipun dipenjarakan, Herald masih diberi makan tiga kali sehari. Pelayan-pelayan mansion dengan wajah terpaksa mengantarkan makanan ke kamarnya. Pagi, siang, dan malam. Mereka tahu bahwa Herald tidak akan bisa melarikan diri dengan mudah. Namun, meski begitu, rasa kesepian dan kebosanan semakin menggerogoti hati Herald setiap harinya.
Terkadang, selain pelayan, Asdella, ibunya, datang untuk mengunjunginya. Asdella adalah sosok yang lembut, penuh pengertian, namun tak jarang juga dia merasa terhimpit oleh peranannya sebagai seorang ibu yang harus mendamaikan kedua belah pihak, ayah dan anak. Saat itu, ia mencoba untuk memenangkan hati Herald yang tengah diliputi kebimbangan. Meskipun Herald merasa tertekan, Asdella berusaha memberikan semangat.
“Ibu tahu, kamu benci dengan apa yang ayahmu lakukan,” Asdella berkata lembut, duduk di sisi tempat tidur Herald. “Tapi percayalah, semua ini ada alasannya. Ayahmu ingin kamu menjadi yang terbaik. Dulu, ayahmu juga berasal dari keluarga Enhart. Dia tahu betul bagaimana kerasnya hidup di luar sana, dan dia tak ingin kamu menjalani hidup yang penuh penderitaan seperti yang pernah dia alami.”
Herald menatap ibunya dengan tatapan kosong. “Tapi, kenapa aku harus menjadi seperti mereka? Kenapa aku harus hidup dengan aturan yang mengikat?”
Asdella menghela napas panjang, seolah menanggung beban yang sangat berat. “Kadang-kadang, kita tak bisa memilih jalan kita sendiri. Namun, itu bukan berarti kita tidak bisa membuat pilihan yang baik di masa depan. Apa yang ayahmu harapkan darimu, adalah agar kamu bisa menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa. Kamu adalah harapan keluarga ini, Herald.”
Herald terdiam, merasa seperti ada beban yang lebih berat lagi di pundaknya. Kata-kata ibunya menggema di dalam kepalanya. “Menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa…” Itu adalah harapan yang tak pernah dia inginkan, harapan yang terasa seperti penjara baru yang dibangun oleh orang-orang di sekelilingnya.
Ia mulai merenung, berjuang dengan pikirannya sendiri. Apakah itu jalan hidup yang ingin aku pilih? Semua yang diinginkannya adalah kebebasan, untuk melarikan diri, untuk hidup tanpa harus mengikuti peraturan yang membatasi geraknya. Namun, semakin ia memikirkan hal itu, semakin ia merasa terjebak.
Apa yang Asdella katakan memang ada benarnya. Mungkin, di balik semua yang terjadi, ada sebuah tujuan yang belum ia pahami sepenuhnya. Namun, di sisi lain, ia merasa seperti dirinya hanyalah sebuah pion dalam permainan orang dewasa. Keinginannya untuk bebas dan hidup sesuai keinginannya terasa semakin jauh dari jangkauan.
Hari-hari di kamar itu semakin sunyi dan sepi. Herald merasakan kedalaman kesendiriannya semakin dalam. Ia merenungkan tentang dirinya yang tak jelas ini, tentang perasaan bimbang yang menghantuinya setiap saat. Akankah ia terus menuruti keinginan ayah dan ibunya, ataukah ia akan kembali memilih jalannya sendiri, meskipun itu penuh dengan ketidakpastian?
***
Tidak terasa, tiga hari berlalu begitu cepat. Kini, di depan Mansion sudah terparkir sebuah kereta kuda yang menunggu Herald untuk berangkat menuju kota Elestial. Hari ini adalah hari yang sudah ditentukan—hari yang membawa perubahan besar dalam hidupnya. Semua pelayan dan keluarganya berkumpul di halaman depan mansion, siap untuk memberikan perpisahan terakhir. Namun, tidak seperti mereka yang tampak tegar, Herald hanya bisa berdiri di sana dengan wajah lesu, termenung memikirkan nasibnya.
Di bawah langit biru yang cerah, ayah dan ibunya akhirnya mendekat kepadanya. Wajah Demios tampak lebih tenang, meskipun matanya sedikit menyiratkan kesedihan yang tak dapat disembunyikan.
“Herald, hari ini adalah hari yang penting. Kamu akan pergi ke rumah seorang Duke dan mulai bekerja di sana,” kata Demios dengan lembut, mengelus kepala Herald seperti dulu. Senyum hangat yang terpancar dari wajahnya seolah memberi semangat pada anaknya, namun di dalamnya terpendam kekhawatiran yang begitu mendalam. “Ingat, jaga tingkah lakumu selama di sana. Ayah tidak ingin mendengar masalah yang terjadi di sana gara-gara kamu.”
Herald hanya mengangguk pelan. Meski bibirnya mengarah pada senyum, hatinya terasa terperangkap dalam keraguan. Ia merasa seolah tak ada pilihan lain selain mengikuti keinginan orang tuanya. Namun, jauh di dalam hatinya, sebuah suara bisu berteriak untuk bisa bebas memilih jalannya sendiri.
Ibunya, Asdella, yang sejak tadi diam di samping mereka, kini menggenggam tangan Herald dan menariknya dalam pelukan hangat. Air mata mulai menetes dari mata ibunya, menambah kesedihan dalam suasana yang sudah penuh dengan perasaan campur aduk.
“Herald, jaga dirimu di sana, ya. Dan jangan lupa untuk mengirimkan surat setiap bulannya. Ibu akan sangat merindukanmu,” ucap Asdella dengan suara bergetar, mencoba tersenyum meski air matanya terus mengalir.
Herald terdiam, merasakan pelukan ibunya yang begitu erat, seolah tidak ingin melepaskannya. Dalam pelukan itu, ia bisa merasakan kasih sayang yang tak terucapkan, sebuah kasih sayang yang sebelumnya tidak ia pahami. Terkadang, hanya dalam momen-momen seperti ini, seseorang bisa merasa betapa berharganya hubungan keluarga.
Kedua orang tuanya memandang Herald dengan penuh harap. Tanpa sadar, Herald mulai merasa bahwa selama ini ia salah. Ia terlalu sibuk dengan keegoisannya sendiri, tanpa benar-benar menyadari bahwa orang tuanya juga hanya menginginkan yang terbaik untuk dirinya.
[Ternyata ... ternyata mereka masih menyayangiku.]
Perasaan hangat itu perlahan mengalir ke dalam hatinya. Herald merasakan kasih sayang yang tulus dari kedua orang tuanya. Mereka mungkin memaksanya, tapi mereka melakukannya dengan niat baik. Sebuah kesadaran baru mulai tumbuh di dalam dirinya. Mungkin, hidup yang mereka impikan untuknya bukanlah hal yang buruk. Mungkin, ia hanya perlu belajar untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Tak terasa, air mata Herald pun mulai mengalir. Dengan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya, ia mencoba untuk membalas kasih sayang orang tuanya. Senyum itu bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk dirinya sendiri—sebuah senyuman yang penuh dengan penerimaan.
“Mm!” Herald berkata pelan, berusaha menyembunyikan kesedihannya di balik senyum yang tulus. Ia melangkah perlahan menuju kereta, dengan perasaan campur aduk yang masih menghinggapi hatinya.
Kereta mulai berjalan, membawa Herald menjauh dari Mansion yang telah menjadi rumahnya. Di belakang, orang-orang yang terkasih terus melambaikan tangan, mengucapkan selamat tinggal, meskipun mereka tahu bahwa perpisahan ini hanyalah sementara. Herald, dengan hati yang penuh perasaan, membalas lambaian tangan mereka hingga mereka semua menghilang dari pandangannya.
Di sepanjang jalan, bunga-bunga Dandelion yang tumbuh liar mulai beterbangan, tertiup angin yang lembut. Herald memandangnya, dan sejenak, ia terdiam, memikirkan sesuatu yang dalam.
[Bunga itu … mirip denganku.]
Kumpulan bunga Dandelion yang terbang bebas di udara, terlepas dari genggaman mereka, mirip dengan dirinya yang kini tengah meninggalkan segalanya. Mereka terbang jauh, bebas, dan suatu saat nanti, mereka akan jatuh dan tumbuh menjadi bunga yang baru. Begitu pula dengan dirinya, yang kini tengah memulai perjalanan baru dalam hidupnya, meski tak tahu apa yang akan terjadi.
“Huf ... kurasa aku akan merelakan diriku dibawa oleh takdir ini.” Herald menghela napas panjang, melepaskan segala keraguan yang masih mengikat dirinya.
Mungkin ini adalah jalan yang harus ia lewati. Mungkin, takdir ini akan mengajarkan banyak hal tentang dirinya, tentang hidup, dan tentang apa yang sebenarnya ia inginkan. Herald hanya bisa menyerahkan dirinya pada waktu, berharap bahwa perjalanan ini akan membawanya pada pemahaman yang lebih dalam tentang arti kebebasan dan kedewasaan.