Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makna dan Hikmah yang di dapatkan Arjuna
Pagi itu, matahari Jakarta bersinar terang, menyinari jalan-jalan yang mulai dipadati oleh kendaraan dan pejalan kaki. Di dalam gedung tempat Arjuna bekerja sebagai petugas keamanan, suasana pun mulai ramai.
Begitu Arjuna melangkah masuk dengan seragam security yang diberikan oleh Kirana kemarin, seperti biasa, ia langsung menjadi pusat perhatian. Para karyawan wanita yang sedang beraktivitas di lobi melirik ke arahnya, beberapa bahkan berbisik-bisik sambil tersenyum malu-malu.
"Gila, dia tuh cakep banget, ya?" bisik salah satu pegawai wanita.
"Iya! Kayak model atau aktor gitu. Tapi aneh juga, kenapa dia malah jadi security?" sahut yang lain.
Arjuna, yang sudah terbiasa dengan tatapan penuh kekaguman sejak di Gunung Meru, hanya mendengus kecil. Baginya, ini adalah hal yang wajar. Ia adalah Dewa Arjuna, sosok yang paling tampan di antara para dewa. Namun, kini tanpa kekuatannya, ia merasa hal ini menjadi tidak berarti.
Saat ia berjalan menuju posnya, seorang wanita dari divisi administrasi memberanikan diri mendekatinya. "Mas Arjuna, selamat pagi! Ini ada kopi buat kamu, biar makin semangat kerja," ujarnya sambil tersenyum manis.
Arjuna melirik secangkir kopi yang diberikan padanya, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih, wanita fana," ucapnya santai.
Wanita itu sempat bingung dengan cara bicaranya yang aneh, tapi ia hanya tertawa kecil sebelum kembali ke meja kerjanya.
Sementara itu, dari kejauhan, Kirana mengamati kejadian ini sambil menghela napas panjang. Ia tidak terkejut. Dari awal pun ia sudah tahu bahwa pria seperti Arjuna pasti akan menjadi magnet bagi para wanita. Namun, entah kenapa, ada sedikit rasa tak nyaman di hatinya.
Bara, yang baru saja datang dan melihat ekspresi Kirana, hanya terkekeh. "Kenapa? Cemburu?" godanya.
Kirana melirik tajam. "Halah, enggak kok! Lagian, dia itu bukan manusia biasa," kilahnya.
Bara tertawa kecil. "Justru itu yang bikin makin menarik buat mereka."
Sementara di pos keamanan, Arjuna duduk dan memperhatikan keadaan sekitar. Meskipun tempat ini terlihat aman, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Kegelisahan mulai muncul dalam hatinya. Ia tahu, Nakula ada di dunia manusia. Dan jika saudaranya itu sudah mulai bergerak, maka pertarungan yang sebenarnya akan segera dimulai.
Arjuna duduk di pos keamanan, matanya menatap ke luar jendela gedung tempatnya bekerja. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin saat ia menolong orang-orang tanpa kekuatan dewa yang selama ini ia andalkan. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini.
Ia merasakan sesuatu di dalam dirinya—sebuah getaran halus, seolah-olah ada energi yang perlahan-lahan mulai bangkit dari dalam tubuhnya. Tangan kanannya yang sebelumnya terasa lemah, kini seperti memiliki sedikit tenaga lebih.
Arjuna mengernyit, lalu mengepalkan tangannya. Ia mencoba fokus, merasakan setiap denyut energi di dalam tubuhnya. Sejenak, ia menutup mata dan mengambil napas dalam-dalam. Saat itu, angin di sekitar terasa berputar lembut, sangat tipis, hampir tidak terasa, tetapi cukup untuk membuatnya tersadar.
"Angin ini..." gumamnya pelan.
Ia membuka matanya kembali, terkejut saat melihat setumpuk kertas di atas meja pos keamanan mulai sedikit bergetar akibat hembusan angin yang sangat halus.
Arjuna tersenyum tipis. Ini bukan sekadar kebetulan.
"Kau merasakan sesuatu?" tanya Bara yang tiba-tiba muncul dari belakang.
Arjuna menoleh cepat, menyadari bahwa Bara memperhatikannya. Kirana juga datang, membawa dua gelas kopi.
"Ada yang aneh denganmu, Arjuna?" tanya Kirana sambil menyodorkan kopi kepadanya.
Arjuna menerima gelas itu, lalu menatap kedua manusia ini dengan penuh pertimbangan. Haruskah ia memberi tahu mereka bahwa kekuatannya mungkin sedang kembali?
"Sesuatu terjadi," katanya perlahan. "Aku tidak tahu pasti, tapi sepertinya… kekuatanku perlahan kembali."
Bara dan Kirana saling pandang.
"Itu mungkin ada hubungannya dengan kejadian kemarin," kata Kirana. "Kau menolong orang tanpa kekuatan, mungkin… semacam ujian untukmu?"
Arjuna terdiam. Mungkinkah benar begitu? Ayahnya membuangnya ke dunia manusia agar ia belajar sesuatu. Dan kini, setelah ia mulai melakukan hal yang benar tanpa bergantung pada kekuatannya, energi itu perlahan kembali kepadanya.
Namun, seberapa banyak kekuatan yang sudah kembali? Dan berapa lama lagi sampai ia bisa menggunakan sepenuhnya?
Arjuna mengepalkan tangannya sekali lagi, merasakan angin yang mulai merespons.
Lanjutan Bab: Arjuna Mempelajari Makna dan Hikmah di Bumi
Hari demi hari berlalu sejak Arjuna mulai bekerja sebagai petugas keamanan. Tanpa kekuatan dewa, ia menjalani kehidupan layaknya manusia biasa. Namun, setiap harinya ia semakin memahami sesuatu yang selama ini tidak pernah ia pedulikan—kehidupan manusia yang penuh dengan perjuangan, kerja keras, dan pengorbanan.
Pagi itu, ia duduk di pos keamanan, memperhatikan para pekerja yang lalu-lalang. Beberapa dari mereka terlihat kelelahan, tetapi tetap tersenyum. Ada yang mengeluh soal gaji kecil, ada yang berbicara tentang anak-anak mereka, ada pula yang bercanda untuk meringankan beban hidup.
Arjuna menghela napas panjang. "Dunia manusia ini... begitu rapuh, tetapi juga begitu kuat," pikirnya.
Kirana datang membawa sarapan sederhana untuknya. "Kau terlihat melamun," katanya sambil menyodorkan roti dan segelas teh hangat.
Arjuna menerima dengan ragu. "Aku sedang berpikir... bagaimana manusia bisa bertahan dalam kehidupan yang begitu sulit seperti ini?"
Kirana tersenyum. "Kami tidak punya pilihan, Arjuna. Manusia berjuang karena mereka harus. Tidak seperti para dewa yang diberi kekuatan sejak lahir, kami harus mencari jalan sendiri. Terkadang dengan kerja keras, terkadang dengan pengorbanan."
Arjuna terdiam, merenungi kata-kata Kirana. Di Gunung Meru, ia hidup dalam kemewahan sebagai putra seorang dewa tertinggi. Ia tidak pernah berpikir tentang perjuangan, kesulitan, atau rasa sakit kehilangan sesuatu yang berharga. Namun, di sini, di dunia manusia, ia melihat bagaimana manusia bertahan dengan cara mereka sendiri.
Sore harinya, saat berjalan pulang bersama Kirana dan Bara, mereka melewati seorang pria tua yang duduk di pinggir jalan, menjual buku-buku bekas. Tangannya gemetar saat menyusun buku yang jatuh tertiup angin.
Tanpa pikir panjang, Arjuna berjongkok dan membantu pria itu.
"Terima kasih, Nak," kata pria tua itu dengan suara lemah. "Orang-orang biasanya hanya lewat tanpa peduli."
Arjuna tertegun. Baginya, membantu seseorang adalah hal sepele. Tapi bagi pria tua itu, bantuan kecilnya berarti banyak.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Kirana menoleh ke Arjuna dan tersenyum. "Kau mulai memahami sesuatu, bukan?"
Arjuna mengangguk perlahan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mulai mengerti bahwa kekuatan sejati bukan hanya soal kemampuan bertarung atau sihir yang dahsyat. Kekuatan sejati ada dalam empati, dalam keinginan untuk membantu tanpa mengharapkan imbalan, dalam memahami bahwa setiap orang memiliki beban yang harus mereka pikul.
Ia menatap langit Jakarta yang perlahan berubah jingga.
Mungkin, inilah alasan ayahnya mengirimnya ke dunia manusia.