Sinopsis Singkat "Cinta yang Terlambat"
Maya, seorang wanita karier dari masa depan, terbangun di tubuh Riani, seorang wanita yang dijodohkan dengan Dimas, pria dingin dari tahun 1970-an. Dengan pengetahuan modern yang dimilikinya, Maya berusaha mengubah hidupnya dan memperbaiki pernikahan yang penuh tekanan ini. Sementara itu, Dimas yang awalnya menolak perubahan, perlahan mulai tertarik pada keberanian dan kecerdasan Maya. Namun, mereka harus menghadapi konflik keluarga dan perbedaan budaya yang menguji hubungan mereka. Dalam perjalanan ini, Maya harus memilih antara kembali ke dunianya atau membangun masa depan bersama Dimas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon carat18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 – Ujian Kepercayaan
selamat membaca guys ❤️ ❤️ ❤️ ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
****
Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur, memberikan semburat oranye ke emasan di langit. Riani membuka mata nya perlahan, tubuhnya masih terasa lelah setelah hari yang panjang kemarin. Ia menoleh ke sisi ranjang dan mendapati Dimas sudah tidak ada. Suami nya selalu bangun lebih awal untuk mengurus ladang, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sejak kecil.
Riani duduk di tepi ranjang, mengingat kembali kejadian semalam. Dimas tidak seperti biasa nya—ada sesuatu dalam tatapan dan sikap nya yang terasa berbeda. Ia lebih perhatian, meski tetap dengan cara nya yang kaku.
Saat ia masih tenggelam dalam pikiran nya, pintu kamar terbuka.
"Kamu sudah bangun?" suara Dimas terdengar.
Riani menoleh dan melihat Dimas berdiri di ambang pintu dengan wajah serius. Ia membawa nampan berisi segelas teh hangat dan beberapa potong roti yang ia buat kemarin.
“Kau membawakan aku sarapan?” Riani bertanya, sedikit terkejut.
Dimas hanya mengangguk kecil. “Kamu kelihatan lelah. Aku pikir lebih baik kamu istirahat lebih lama.”
Riani tersenyum tipis. "Terima kasih," kata nya sambil menerima teh dari tangan Dimas.
Mereka duduk dalam keheningan, menikmati sarapan bersama. Ini adalah momen langka bagi mereka, mengingat betapa sibuk nya kehidupan di desa.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Dari luar, terdengar suara gaduh. Riani dan Dimas saling bertukar pandang sebelum buru-buru keluar rumah.
Di halaman depan, mereka melihat beberapa tetangga berkumpul. Seorang perempuan, yang di kenal sebagai Bu Rukmi, berbicara dengan suara keras.
"Aku tidak percaya! Bagaimana mungkin keluarga seperti mereka bisa mendapatkan bantuan lebih banyak dari kepala desa?!" kata nya dengan nada marah.
Riani mengernyit. Ia mendekati kerumunan dan melihat ke arah Bu Rukmi, yang tampak sangat kesal.
“Ada apa ini?” tanya nya dengan tenang.
Bu Rukmi menoleh, mata nya menatap tajam ke arah Riani. "Kamu! Keluarga mu mendapat lebih banyak bagian pupuk dari pada yang lain! Ini tidak adil!"
Riani terdiam sejenak, mencoba memahami situasi. Bantuan pupuk dari pemerintah memang baru saja di bagikan kemarin, dan memang benar bahwa keluarga mereka mendapatkan bagian yang cukup banyak. Tapi itu bukan karena mereka meminta—melainkan karena mereka mengelola ladang lebih luas di banding kebanyakan warga.
“Kami mendapatkan jatah berdasarkan luas ladang yang kami garap,” jelas Riani, tetap tenang.
“Tapi tetap saja, itu terlalu banyak!” Bu Rukmi bersikeras.
Dimas, yang sejak tadi diam, akhir nya angkat bicara. “Kalau ada masalah, bicarakan dengan kepala desa. Kami tidak pernah meminta lebih dari yang seharus nya.”
Kerumunan mulai berbisik-bisik. Beberapa orang tampak setuju dengan Dimas, sementara yang lain masih tampak ragu.
“Aku tidak suka melihat kalian mendapatkan lebih banyak!” Bu Rukmi masih ngotot.
Riani menarik napas dalam. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang pupuk—Bu Rukmi memang sudah lama tidak menyukai nya, terutama sejak ia mulai menunjuk kan keberanian nya di desa.
“Aku tidak ingin bertengkar,” kata Riani akhir nya. “Kalau kamu merasa ada ke tidak adilan, kita bisa bicara baik-baik dengan kepala desa.”
Suasana sedikit mereda. Beberapa tetangga mulai membubarkan diri, menyadari bahwa perdebatan ini tidak akan membawa hasil.
Bu Rukmi mendengus sebelum pergi, masih dengan ekspresi tidak puas di wajah nya.
Dimas menoleh ke arah Riani. "Kamu baik-baik saja?"
Riani mengangguk. “Aku sudah terbiasa menghadapi orang seperti itu.”
Dimas menatap nya lama sebelum akhir nya berkata, “Aku tahu.”
Dan dengan itu, mereka kembali ke dalam rumah, menyadari bahwa kehidupan di desa akan selalu penuh dengan ujian dan tantangan. Namun, di balik itu semua, mereka juga mulai menyadari bahwa mereka tidak lagi berjuang sendirian.
Mereka mulai menjadi tim—perlahan tapi pasti.
Setelah kejadian pagi itu, Riani merasa perlu melakukan sesuatu untuk meredakan ketegangan dengan warga desa. Ia tidak ingin situasi ini semakin memanas dan menciptakan perpecahan di antara mereka. Dengan tekad bulat, ia memutuskan untuk mengunjungi kepala desa dan membicarakan masalah ini secara langsung.
Setelah makan siang, Riani dan Dimas pergi ke rumah kepala desa, Pak Hartono. Rumah nya terletak tidak jauh dari rumah mereka, sebuah bangunan sederhana dengan halaman luas yang dipenuhi tanaman obat dan sayuran.
“Silakan masuk, ada apa ini?” Pak Hartono mempersilakan mereka duduk di ruang tamu.
Riani membuka pembicaraan dengan hati-hati. “Pak, kami ingin berbicara mengenai pembagian pupuk kemarin. Ada beberapa warga yang merasa keberatan dengan jumlah yang kami terima.”
Pak Hartono menghela napas panjang. “Ya, saya sudah mendengar kabar nya. Beberapa orang datang mengadu.”
“Kami sama sekali tidak berniat mengambil lebih dari yang seharus nya,” jelas Dimas.
“Kami hanya menerima berdasarkan luas ladang yang kami garap.”
Pak Hartono mengangguk. “Saya paham, dan saya juga tahu bahwa kalian tidak meminta lebih. Namun, ada beberapa warga yang merasa iri, terutama mereka yang ladang nya lebih kecil.”
Riani berpikir sejenak sebelum berkata, “Apa ada cara untuk menyelesaikan masalah ini tanpa memicu konflik lebih lanjut?”
Pak Hartono tersenyum. “Saya pikir ada. Bagaimana kalau kalian membantu mengajari warga cara mengelola ladang mereka agar lebih produktif? Dengan begitu, mereka bisa melihat bahwa hasil yang kalian dapatkan bukan hanya karena pupuk, tetapi juga karena usaha dan cara kerja yang lebih efisien.”
Riani menoleh ke arah Dimas, yang tampak berpikir. “Itu ide yang bagus,” kata Dimas akhir nya.
“Kami bisa mengajarkan teknik yang lebih modern untuk meningkatkan hasil panen.”
Pak Hartono tampak lega. “Kalau begitu, saya akan mengumumkan pertemuan desa besok sore. Saya harap kalian bersedia berbicara dan berbagi ilmu dengan warga lain.”
Riani mengangguk. “Tentu saja. Kami hanya ingin hidup damai di desa ini.”
Setelah pertemuan itu, Riani merasa lebih lega. Ia tahu bahwa ini bukan solusi instan, tetapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk membangun kepercayaan dan hubungan yang lebih baik dengan warga desa.
Malam itu, saat mereka duduk di beranda menikmati udara malam, Dimas menatap Riani dengan penuh arti. “Aku bangga pada mu,” kata nya pelan.
Riani tersenyum. “Kita harus bertahan bersama, bukan?”
Dimas mengangguk. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasa seperti benar-benar menjadi satu tim—suami istri yang saling mendukung, melewati segala rintangan bersama.
*****
terima kasih sudah membaca guys ❤️🐸❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️🐸❤️❤️