Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kesepakatan Kotor
Darma bangkit dari kursinya, langkahnya cepat mendekati Laras. Wajahnya tegang, penuh tekanan. "Laras, Ayah ingin bicara serius. Ayah dalam masalah besar, dan hanya ada satu cara untuk keluar dari masalah ini."
Laras mengernyit, firasat buruk merayapi benaknya. "Apa maksud Ayah?"
Darma menatapnya dengan intens, seolah berharap Laras segera memahami. "Edward mau menikah denganmu. Kalau kamu setuju, Ayah akan terbebas dari masalah ini."
Laras membeku sejenak sebelum tertawa miris. "Jadi Ayah mau menjadikanku tumbal?"
"Laras, ini demi keluarga!" Wati ikut bicara, suaranya lebih seperti permohonan daripada perintah.
"Demi keluarga?" Laras menatap ibunya tajam. "Atau demi Ayah saja?"
Sherin masih diam, tapi tubuhnya menegang. Rahangnya mengatup, dan jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang tertahan, matanya mulai memerah.
"Aku nggak akan menikah dengannya," tegas Laras tanpa ragu.
Sherin akhirnya meledak. "Kamu munafik!" bentaknya, suaranya bergetar. "Kamu pura-pura nggak suka sama Edward biar dia ngejar kamu, 'kan? Kamu sengaja mengganggu hubungan kami agar Edward tertarik sama kamu?!"
Laras menatap adiknya, merasa sakit hati tapi juga lelah. "Sherin, selama ini dia cuma mempermainkanmu. Aku mencoba melindungimu."
"Dan kamu pikir aku peduli?!" Sherin balas berteriak. "Aku rela kalau itu berarti aku bisa bersamanya!"
Laras terdiam. Ada kesedihan yang menghunjam dadanya melihat betapa butanya Sherin terhadap Edward.
"Aku tahu apa yang aku lakukan," lanjut Sherin, suaranya lebih rendah, bergetar. "Aku bisa menjaga diri. Aku lebih memilih dia daripada mendengar omong kosongmu!"
Darma mendesah panjang, menekan emosi. "Laras, pikirkan baik-baik. Kalau kamu menolak, Ayah bisa masuk penjara. Apa kamu mau keluarga kita hancur?"
Laras memandang wajah-wajah di depannya—ayah yang siap mengorbankannya, ibu yang hanya peduli pada keuntungan, dan adik yang justru membencinya karena laki-laki yang jelas-jelas hanya mempermainkan mereka semua.
Perlahan, ia menegakkan bahu. "Aku tetap nggak akan menikah dengannya. Aku tak menyukainya, apalagi mencintainya. Aku nggak mau menikah hanya demi kompromi. Aku hanya akan menikah dengan orang yang aku cintai."
Darma mendengus, kehilangan kesabaran. "Cinta? Kamu mencintai penyanyi kafe koma yang sekarang entah di mana itu? Jangan naif, Laras! Kamu harus realistis. Hidup tak akan bahagia hanya dengan modal cinta!"
Wati langsung menimpali dengan nada sarkasme. "Memangnya bisa beli makanan dan minuman dengan cinta?"
Laras menggeleng kecil, perasaan kecewa memenuhi dadanya. "Aku tahu uang itu penting. Tapi menjual diri untuk menyelamatkan seseorang yang bahkan nggak pernah peduli padaku? Itu lebih bodoh daripada jatuh cinta pada orang yang nggak punya uang."
Darma menghembuskan napas kasar, nada suaranya dingin. "Jangan salahkan Ayah kalau sesuatu terjadi, Laras."
Laras mengangkat dagunya, menelan perasaan sakit yang menyesakkan dadanya. "Terserah Ayah. Tapi aku nggak akan membiarkan diri dijual demi menyelamatkan seseorang yang bahkan nggak menganggapku keluarga."
Tanpa menunggu respons, Laras berbalik meninggalkan ruangan, tak mau lagi mendengar perdebatan yang hanya akan menyakiti hatinya lebih dalam.
Sherin menggigit bibirnya, hatinya kacau. Ada keraguan yang menyusup ke pikirannya. Apa benar Edward hanya mempermainkannya? Atau justru Laras yang sok jual mahal untuk menarik perhatian Edward?
Sementara Darma hanya bisa menggeram pelan, otaknya berputar mencari cara lain. Ia tak akan membiarkan dirinya terjebak dalam masalah ini seorang diri.
***
Di dalam ruang kerja mewah itu, Darma duduk dengan gelisah di hadapan Edward. Udara dalam ruangan terasa dingin, bukan hanya karena pendingin udara yang menyala, tetapi juga karena tatapan tajam pria di hadapannya.
Edward bersandar di kursinya, jemarinya mengetuk permukaan meja kayu mahoni yang mengilap. Ia menatap Darma dengan ekspresi datar, namun penuh tekanan.
"Jadi?" suara Edward terdengar tenang, tetapi tegas. "Apa jawaban Laras?"
Darma menelan ludah, meremas kedua tangannya di atas pahanya. "Dia… menolak, Pak."
Edward menghela napas pelan, seolah sudah menduganya, lalu menyesap kopinya dengan elegan. "Menolak?" ulangnya, nada suaranya nyaris terdengar bosan.
Darma mengangguk cepat. "Saya sudah berusaha membujuknya, Pak. Bahkan istri saya juga ikut bicara, tapi Laras tetap bersikeras menolak."
Edward menatap Darma dalam diam, membuat pria paruh baya itu semakin gelisah. Setelah beberapa saat, Edward meletakkan cangkirnya dan menyilangkan tangannya di atas meja.
"Pak Darma," panggilnya, membuat Darma langsung menegakkan punggung. "Kau tahu aku tidak suka gagal, bukan?"
Darma langsung mengangguk. "Tentu, Pak. Saya sangat memahami itu."
"Kalau begitu, jangan membuatku kecewa," ujar Edward, suaranya tetap datar, tetapi mengandung ancaman halus. "Aku sudah memutuskan. Laras akan menjadi istriku. Jika dia menolak dengan cara baik-baik, maka kita gunakan cara lain."
Darma menelan ludah. Ia tahu maksud Edward.
"Pak…" Darma mencoba membuka mulut, tetapi Edward langsung mengangkat satu jari, menyuruhnya diam.
"Kau tidak dalam posisi menawar, Darma," potong Edward dengan dingin. "Aku tidak peduli bagaimana caranya, aku ingin Laras menjadi istriku. Dan kau, sebagai bawahanku, harus memastikan itu terjadi."
Darma merunduk dalam. "Saya mengerti, Pak Edward."
Edward menyeringai tipis. "Bagus."
Darma bangkit, membungkukkan badan dengan hormat. "Saya akan mengurusnya."
Saat ia berbalik untuk pergi, suara Edward kembali terdengar.
"Dan Pak Darma," pria itu memanggil tanpa melihatnya. "Jangan buat aku menunggu terlalu lama."
Darah Darma terasa membeku seketika. Ia mengangguk cepat sebelum keluar dari ruangan dengan langkah terburu-buru.
Di dalam ruangannya, Edward menyandarkan punggung ke kursinya, senyum sinis terukir di bibirnya. Laras boleh menolak sekarang, tapi ia akan memastikan tidak ada jalan lain bagi wanita itu kecuali menerima pernikahan ini.
***
Laras duduk di kamarnya dengan perasaan gelisah. Ponselnya bergetar, menampilkan pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jari-jarinya gemetar saat ia membuka pesan itu, dan matanya membelalak saat melihat isi yang terpampang di layar.
Foto-foto dirinya—atau lebih tepatnya, foto editan yang mengerikan. Pakaian yang dikenakannya diubah menjadi sesuatu yang nyaris tak senonoh, beberapa bahkan terlihat seolah-olah ia tidak mengenakan apa pun.
Tak lama, sebuah pesan lain masuk.
Edward: Jika kau ingin ini tetap menjadi rahasia, aku akan menunggumu besok. Kita akan bicara tentang pernikahan kita.
Jantung Laras berdebar kencang. Tangannya mencengkeram ponsel erat-erat. Ia ingin membanting benda itu, tapi rasa takut menghantam dirinya lebih dulu.
Kemudian, email masuk.
Begitu ia membuka lampiran, kepalanya terasa pening. Dokumen-dokumen perusahaan tempatnya bekerja. Beberapa data terlihat seperti manipulasi angka yang bisa membuatnya seolah-olah terlibat dalam penggelapan dana.
Pesan baru muncul di layar ponselnya.
Edward: Selain foto-foto ini, aku punya bukti yang bisa membuatmu dipecat. Aku akan menunggu keputusanmu. Jika kau menolak, bersiaplah menghadapi konsekuensinya.
Laras membanting ponselnya ke tempat tidur. Napasnya memburu. Otot-ototnya menegang. Ia ingin berteriak, menangis, atau menghancurkan sesuatu, tapi yang bisa ia lakukan hanyalah menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah.
Pikirannya berputar. Ia bisa mengadu ke polisi, tapi dengan koneksi Edward, itu hanya akan memperburuk keadaan. Jika foto-foto itu tersebar, bukan hanya kariernya yang hancur—martabat dan harga dirinya juga akan diinjak-injak. Dan jika tuduhan manipulasi keuangan sampai ke atasannya, ia pasti akan dipecat, bahkan bisa dipenjara.
Ia menelan ludah. Apa yang harus ia lakukan?
Pintu kamar terbuka sedikit. Darma muncul di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Kau sudah melihatnya?" suara Darma terdengar tenang, tapi ada sesuatu yang terasa menusuk di baliknya.
Laras menatap ayah dengan penuh harap. "Ayah tahu tentang ini? Tolong, Ayah harus melakukan sesuatu!"
Darma menghela napas panjang. "Laras, kalau kau setuju menikah dengannya, semua ini tidak akan menjadi masalah. Edward tidak akan menyebarkan foto-foto itu, dan kau bisa tetap bekerja. Ini keputusan terbaik."
Laras merasa jantungnya mencelos. "Jadi Ayah sudah tahu? Dan Ayah membiarkan ini terjadi?"
...🍁💦🍁...
To be continued