Bella Cintia?" Gumam Eric. Dia seolah tidak asing dengan nama itu. Bahkan ketika menyebutnya namanya saja membuat hati Eric berdesir menghangat.
"Kenapa harus designer ini?" Tanya Eric.
"Karena hanya dia yang cocok untuk mode produk kita pak."
"Apalagi yang kau ketahui tentang designer ini?" Tanya Eric kembali.
"Dia adalah salah satu designer terkenal di dunia. Dia sering berpindah dari negara satu ke negara lain. Karena dia memiliki cabang butiknya hampir di setiap negara yang dia tinggali. Namanya Bell's Boutique. Tapi untuk rumah mode utama nya, dia hanya memilikinya di negara ini. Nama rumah mode itu adalah Bellaric."
Eric terkesiap kala manager produksi itu menyebutkan kata Bellaric.
"Bellaric?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LidyaMin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
Tidak terasa kurang dari 1 bulan siswa siswi di SMA Harapan Bangsa akan lulus meninggalkan sekolah tercinta mereka. Sekolah akan mengadakan acara Prom night untuk merayakan kelulusan mereka nanti.
Saat ini Eric dan sahabatnya sedang berada di kelas. Mereka sedang membicarakan tentang taruhan yang mereka sepakati dulu pada Daniel.
"Hebat lo Dan, bisa menangin taruhannya." Kata David sambil menepuk pundak Daniel.
"Ya dong. Siapa dulu Daniel." Ujar Daniel dengan sombongnya.
Sesuai perjanjian Ardi menyerahkan kunci mobil sportnya pada Daniel dan di sambut Daniel dengan senyum kemenangannya. Ketika mereka larut dalam kesenangan mereka, telinga Eric menangkap suara seperti ada yang jatuh.
Eric kemudian keluar kelas ingin tahu.
Eric sangat terkejut dan panik saat melihat Rara jatuh pingsan di depan kelasnya.
"Dan, Rara pingsan." Ucap Eric panik.
Daniel dengan sigap membawa Rara ke UKS.
Eric dan kedua sahabatnya Ardi dan David saling pandang. Mereka sama-sama merasakan hal yang tidak nyaman dengan kejadian tadi.
"Gue yakin Rara mendengar semua pembicaraan kita tadi." Ujar Eric lesu.
"Gue juga yakin." Kata David menimpali.
Ardi hanya mendesah pelan. Semua ini memang idenya. Dia jadi merasa tidak tega dengan Rara. Tapi mau bagaimana lagi semua sudah terjadi.
30 menit kemudian Daniel datang dengan wajah yang sangat sulit untuk di artikan. Tatapan Daniel seperti kosong. Dia duduk di bangkunya dengan ekspresi datar dan tak bergeming sedikit pun.
"Dan, lo kenapa? Gimana Rara?" Tanya Eric penasaran karena melihat Daniel yang seperti orang kehilangan arah.
"Ternyata gue baru sadar kalau gue laki-laki brengsek." Ucap Daniel masih dengan tatapan kosongnya. Ada air mata yang menggenang di pelupuk matanya dan akhirnya jatuh.
Daniel mengusap kasar pipinya yang basah. Lalu menatap sahabatnya satu persatu. "Apa yang harus gue lakuin buat menebus semua ini?" Tanya Daniel dengan wajah sendu nya.
Mereka bertiga hanya mampu terdiam dan saling pandang satu sama lain. Tidak berani mengeluarkan kata apapun.
"Harusnya gue gak terima tantangan ini. Gue baru saja menyadari sudah merusak kepercayaannya dan juga merusak dirinya." Ucap Daniel lagi sambil mengacak rambutnya kasar.
"Dan, maafin gue. Gue harusnya yang salah ide ini datangnya dari gue." Ujar Ardi penuh dengan rasa bersalah.
"Gue harusnya gak rusak dia. Dan sekarang dia gak mau maafin gue." Daniel menundukkan kepalanya di atas meja.
Eric hanya mendesah pelan, tidak tahu harus melakukan apa untuk sahabatnya.
***
Hari kelulusan pun tiba. Seluruh siswa siswi di dampingi oleh orang tua mereka masing-masing. Senyum mereka menghiasi wajah mereka, karena semuanya lulus. Dan mereka semua akan merayakannya di acara Prom Night lusa malam.
Eric menghampiri Bella yang sedang bersama mamahnya. "Halo tante." Sapa Eric sopan.
Mamah Bella berbalik dan memberikan senyumnya kala melihat Eric sudah ada di sebelah Bella.
"Halo Eric. Selamat ya sudah lulus sekarang. Mau lanjut kemana?"
"Makasih tante. Eric rencana akan kuliah di UI tante ngambil jurusan bisnis."
"Wah hebat itu. Tante dukung lho."
"Makasih tante." Ucap Eric dengan tersenyum lebar.
"Eric, tante tinggal dulu ya. Titip Bella ya." Kata mamah Bella tergesa-gesa karena mendapat telepon penting dari kantornya.
"Iya tante. Nanti Eric antar pulang." Sahut Eric.
Sekarang tinggal lah mereka berdua. Orang tua Eric juga sudah pulang tadi. Eric mengajak Bella untuk pulang bersama. Tapi sebelum mengantar Bella pulang, Eric ingin membawa Bella ke suatu tempat. Ada hal yang ingin Eric bicarakan.
.
.
.
Eric membawa Bella ke tempat yang pernah mereka datangi dulu. Sambil menikmati hembusan angin dan pemandangan ombak laut, Bella dan Eric duduk di tepi pantai. Cukup lama mereka terdiam hanya untuk menikmati alam sekitar, hingga akhirnya Eric yang bicara lebih dulu.
"Lo lanjut kemana?"
"Gue bakal lanjut ke Paris untuk meraih impian gue." Ucap Bella tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan laut di depannya.
Eric menundukkan sejenak kepalanya kemudian menoleh dan menatap Bella sebentar.
"Apa lo gak bisa tetap di sini?"
Bella mengalihkan tatapannya pada Eric dan Eric juga membalasnya "Itu adalah impian gue sejak masih SMP. Gue dapat beasiswa untuk itu. Dan gue jelas gak mungkin melepaskan kesempatan berharga seperti itu dalam hidup gue." Ucap Bella.
"Apakah hidup bersama gue juga gak termasuk dalam impian lo?" Tanya Eric dengan tatapan yang penuh harap saat menatap sepasang mata indah Bella.
"Maksud lo?" Bella mengeryitkan dahinya bingung dengan pertanyaan Eric barusan.
Jangan bilang dia mau ngelamar gue, batin Bella.
"Ahh enggak pa-pa. Lupain aja." Eric berdiri dan menepuk celana belakang dan tangannya dari pasir yang menempel.
"Kita pulang." Ajak. Eric pada Bella.
Bella masih bingung dengan sikap Eric yang tidak seperti biasanya. Tapi dia memilih diam karena tidak tahu mau bicara apa lagi.
Dalam perjalanan pulang, tidak ada pembicaraan di antara mereka seperti biasanya. Bella masih bingung dengan sikap Eric yang tiba-tiba berubah dalam sekejap. Dia ingin bertanya tapi kata-kata itu seakan tertahan di tenggorokannya.
Sampai di rumah Bella, Eric juga tidak seperti biasa yang selalu berkata manis padanya. Bahkan ciuman kening yang biasa Eric berikan padanya juga tidak ada. Bella menatap Eric sebentar yang masih diam membisu ,lalu kemudian Bella keluar dari mobil tanpa berkata apapun dan masuk ke dalam rumahnya.
Ada perasaan sakit di sana yang Bella rasakan. Dia tidak mengerti kesalahan apa yang dia buat sehingga Eric mendiamkannya.
"Apa tadi gue salah ngomong ya?" Gumam Bella pada dirinya sendiri.
"Tapi apa yang gue bilang tadi kan gak salah. Justru dia yang gak jelas ngomongnya ke gue."
Bella menggaruk kepalanya bingung. Tapi daripada pusing Bella lebih memilih untuk mandi dan beristirahat setelahnya.
***
"Kenapa kamu de? Pulang muka kusut. Harusnya senang kan habis kelulusan." Edo sampai membalikkan tubuhnya ketika melihat Eric yang datang dengan wajah lesu.
Eric menghembuskan nafasnya kasar lalu duduk di sebelah kakaknya.
"Salah ya kalau aku minta Bella tetap di sini?" Tanya Eric sambil menunduk.
" Memangnya kamu minta apa?"
"Bella mau lanjutin kuliah ke Paris, tapi aku pengennya Bella tetap di sini. Aku gak mau pisah sama dia ka."
"Kamu sudah nyatain perasaan kamu belum?"
Eric menggelengkan kepalanya pelan "Tadinya aku mau ngelamar dia ka. Tapi saat dia bilang bakal jauh, aku gak jadi nyatain perasaan aku."
"De, cewek itu butuh kepastian bukan janji. Selama ini hubungan kamu sama Bella hanya teman. Tapi kita semua tahu kalau hati kalian berdua itu lebih dari sekedar teman. Kakak rasa dia ngambil keputusan untuk kuliah di luar negeri juga karena dia gak tahu gimana kepastian hubungan kalian. Jadi kamu juga harus bisa hargai keputusan Bella." Edo memberikan pengertian pada adiknya.
"Lebih baik kamu mandi sana dulu." Lanjut Edo.
Eric masuk ke kamarnya dan membaringkan dirinya. Matanya menatap langit-langit kamarnya dengan hati yang gusar dan tidak menentu. Dia tidak rela melepaskan Bella pergi jauh darinya. Tapi dia punya hak apa untuk melarangnya.
Eric mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tasnya. Membuka nya dan menatap sebuah cincin di sana. Cincin yang sudah dia siapkan untuk melamar Bella tadi tapi dia batalkan hanya karena rasa kecewanya pada Bella. Eric menyimpan cincin itu di dalam laci meja belajarnya dan hanya melihatnya sesaat sebelum dia menutupnya.