Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Samar Dan Bentuk Perjuangan
Leonard
Leonard merasakan kepalanya berat, seolah ada beban tak kasatmata yang menekan pelipisnya. Nyeri itu menusuk, mengingatkannya bahwa efek alkohol semalam masih menguasai tubuhnya. Dia menghela napas pelan sebelum akhirnya membuka mata, membiarkan pandangannya menyesuaikan dengan cahaya redup kamar hotel.
Langit-langit yang terlihat masih tampak samar, seperti pikirannya yang belum sepenuhnya jernih. Leonard mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kepingan ingatan yang berserakan. Semalam…
Bayangan itu perlahan muncul—siluet seorang wanita yang samar, sosok misterius yang mengisi malamnya.
Bibirnya, aromanya, tatapan matanya… Semua itu masih tertinggal samar di ingatan Leonard, seperti jejak asap yang perlahan memudar.
Ia mengerang pelan, merasakan denyutan di kepalanya semakin tajam. Dengan gerakan lamban, ia mengusap wajahnya, seolah berharap sentuhan itu bisa membantunya mengingat lebih jelas. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, semuanya tetap kabur. Potongan-potongan memori berkelebat dalam benaknya, tetapi tidak ada yang utuh. Alkohol telah merenggut sebagian besar ingatannya.
Perlahan, Leonard melirik ke samping. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Wanita itu sudah pergi. Tidak ada jejak keberadaannya, seolah ia hanyalah mimpi yang terbawa angin pagi.
Leonard menghela napas panjang, membiarkan udara berat memenuhi paru-parunya sebelum perlahan ia hembuskan kembali. Seharusnya ia tidak peduli. Tidak ada gunanya memikirkan seseorang yang bahkan namanya pun tidak ia ingat. Semalam hanyalah satu dari banyak wanita malam yang sering menghampirinya —wajah-wajah tanpa nama yang datang dan pergi tanpa arti.
Tidak ada yang spesial.
Tidak ada alasan untuk mengingatnya.
Dengan malas, Leonard mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, merasakan otot-ototnya yang masih sedikit kaku. Udara pagi yang dingin menyentuh kulitnya saat ia melangkah menuju kamar mandi, membiarkan kakinya bergerak tanpa banyak berpikir.
Begitu sampai di depan cermin, ia menatap pantulannya dengan mata sedikit menyipit. Rambutnya berantakan, menambah kesan kusut yang memang sudah terpampang jelas di wajahnya. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya—bekas cakaran samar di dadanya. Garis-garis tipis yang menggores kulitnya itu terasa seperti bukti bisu bahwa semalam bukan sekadar malam biasa.
Persetan.
Leonard mendengus pelan, menggeleng untuk mengusir pikirannya sendiri. Ia tidak ingin larut dalam sesuatu yang tidak penting. Apa pun yang terjadi semalam, biarlah terkubur bersama sisa-sisa mabuk yang perlahan menghilang.
Saat hendak membersihkan tubuhnya, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Bercak merah di atas sprei putih.
Dahi Leonard mengernyit. Jantungnya berdegup lebih cepat. Darah?
Ia menatap noda itu lama, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.
"Tidak mungkin…" gumamnya.
Tidak ada wanita polos di tempat seperti itu. Ia yakin perempuan semalam sudah biasa dengan hal semacam ini.
Tanpa membuang waktu lagi, ia berbalik, mengambil handuk, dan mulai bersiap untuk pergi ke kantor. Rutinitas tetaplah rutinitas—tak peduli apa yang terjadi sebelumnya.
...-------...
Ayla
Sementara itu, di tempat lain, Ayla sudah berada di rumah sakit. Hawa antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan aroma obat-obatan yang sudah begitu akrab di hidungnya. Bau itu selalu mengingatkannya pada hari-hari panjang yang ia habiskan di sini, berjuang tanpa kenal lelah untuk seseorang yang paling berharga dalam hidupnya.
Tubuhnya terasa remuk, seolah setiap bagian dirinya menanggung beban yang terlalu berat. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti mengiris luka yang baru saja menganga, meninggalkan jejak nyeri yang tak kunjung mereda. Namun, ia tidak bisa membiarkan rasa sakit itu menghentikannya. Tidak sekarang. Tidak ketika masih ada alasan yang membuatnya harus terus berdiri.
Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan ketegangan yang merayap di pundaknya. Dengan langkah perlahan, ia mendekati ranjang rumah sakit di mana seorang laki-laki terbaring dalam tidur yang tenang.
Arya.
Adiknya. Satu-satunya keluarga yang tersisa di dunia ini. Satu-satunya alasan mengapa ia terus bertahan, mengorbankan segalanya, bahkan dirinya sendiri. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuknya—untuk memastikan bahwa adiknya mendapatkan kesempatan hidup yang lebih lama, lebih baik.
Tatapan Ayla melembut saat ia mengamati wajah Arya yang pucat, napasnya naik turun dengan ritme yang tenang di balik selimut rumah sakit. Ia tampak damai dalam tidurnya, seolah tidak menyadari beban berat yang ada di pundak kakaknya.
Ayla menelan ludah, menahan emosi yang mendesak di dadanya. Perlahan, ia meraih tangan Arya, menggenggamnya erat seakan ingin mentransfer kekuatan yang masih tersisa dalam dirinya. Hanya dengan melihat adiknya, ia tahu bahwa tidak peduli seberapa sulit keadaannya, ia akan terus berjuang.
Karena Arya adalah satu-satunya alasan ia tetap bertahan.
Perlahan, Ayla mendekat, setiap langkahnya dipenuhi kehati-hatian, seolah ia takut membangunkan adiknya dari tidurnya yang lelap. Saat jaraknya hanya beberapa senti dari ranjang, ia berhenti, menatap wajah Arya yang tampak begitu damai dalam tidurnya.
Tangannya yang dingin terulur, jari-jarinya menyusuri helaian rambut lembut milik adiknya, menyibakkan sedikit poni yang menutupi dahinya. Sentuhan itu ringan, penuh kasih sayang, seolah ia ingin menyimpan momen ini dalam ingatannya selama mungkin.
Matanya menelusuri setiap detail wajah Arya—kulitnya yang pucat, bibirnya yang sedikit kering, serta napasnya yang naik turun dengan ritme teratur. Jauh di lubuk hatinya, Ayla tahu adiknya sedang berjuang, bertahan melawan rasa sakit yang mungkin tak pernah ia keluhkan.
Hatinya terasa berat, tapi ia menunduk, mengecup kening Arya dengan penuh kelembutan. Ciuman yang bukan sekadar sentuhan fisik, melainkan doa, janji, dan harapan yang ia sisipkan di sana.
“Sebentar lagi, kamu akan dioperasi, Arya,” bisiknya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh emosi yang berputar di dalam dadanya. Ia menarik napas pelan sebelum melanjutkan, “Tunggu sedikit lagi, ya? Kakak janji semua akan baik-baik saja.”
Janji yang ia ucapkan dengan segenap keyakinan, meskipun jauh di dalam dirinya, ada ketakutan yang menghantui. Namun, ia tidak boleh menunjukkan kelemahan. Tidak sekarang. Arya butuh dia. Butuh kekuatan yang ia berikan, meskipun dirinya sendiri hampir runtuh.
Maka, ia menggenggam tangan adiknya erat, membiarkan kehangatan itu menyalakan kembali tekad dalam dirinya. Bagaimanapun juga, ia akan menepati janjinya.
Setelah memastikan selimut Arya tetap rapi, Ayla berdiri tegak, menatap wajah adiknya sekali lagi. Seakan ingin mengukir setiap detailnya dalam ingatan, ia mengamati bagaimana napas Arya naik turun dengan tenang, bagaimana kelopak matanya yang tertutup tampak begitu damai, seolah tidak ada rasa sakit yang mengintai di balik tubuhnya yang lemah.
Ayla menelan ludah, berusaha menekan emosi yang mulai menggumpal di dadanya. Ia ingin tinggal lebih lama, ingin menggenggam tangan adiknya sedikit lebih erat, ingin memastikan bahwa Arya akan baik-baik saja saat ia pergi. Tapi ia tahu, waktu tidak memihaknya.
Dengan berat hati, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit berdebar. Tangannya terulur mengambil tas yang tergantung di samping ranjang, menggenggamnya erat seolah itu adalah jangkar yang bisa menahannya tetap kuat.
Waktu semakin mendekat. Ia tidak bisa berlama-lama di sini.
Dengan langkah tegap, ia berjalan menuju pintu kamar rawat, menoleh sekilas sebelum akhirnya melangkah keluar.
Waktunya bekerja.
Waktunya memastikan bahwa janji yang ia buat tadi bisa menjadi kenyataan, tidak peduli seberapa besar pengorbanan yang harus ia lakukan.