"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Pria Aneh
"Kembalikan!"
Pria bertubuh tinggi tegap itu kembali berucap. Tangannya masih menengadah seolah meminta priayang jatuh terjerembab tadi mengembalikan sesuatu yang diambil paksa alias mencuri.
"Sial! Aku tak akan mengembalikannya padamu! Benda ini sudah jadi milikku!" Pria berjaket hitam itu lantas berdiri. Ia melirik Hanin dan menyandera wanita itu.
"Astagaaa! Haniiin!" Santi berteriak histeris saat preman itu mengunci pergerakan Hanin dengan melingkarkan lengan dileher Hanin. Ia hendak maju dan menolong, tapi gerakannya dicegah oleh pria yang terlihat seperti lawan dari pria yang menyandera Hanin.
"Tunggu di sini dan jangan gegabah. Jika tidak, temanmu akan celaka," kata pria itu.
"I- iya ...." Santi menjawab gugup. Antara cemas dan kagum pada wajah pria yang bicara itu.
'Ganteng banget, sih. Tapi, serem, batin Santi.
Hanin membelalak. Tubuhnya bergetar hebat karena takut. Pria yang menyanderanya itu meletakkan pisau tepat di lehernya, sekali gerakan, pisau itu akan mudah menancap di lehernya. la menatap pria di seberangnya dengan tatapan memohon.Meminta agar menolongnya.
Sementara itu, situasi pasar terasa tegang karena kejadian ini. Beberapa orang menghindar, tapi ada pula yang diam- diam merekam.
"Jangan ada yang merekam atau memotretku jika tidak ingin wanita ini mati!"
Seketika beberapa orang yang memegang ponsel memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berlalu
pergi. Mereka tidak ingin terlibatdalam masalah ini lagi. Hanin semakin takut.
Tubuhnya meremang, jantungnya berdegup kencang. Bulir- bulir keringat mulai membasahi
tubuhnya. Entah, kenapa ia selalu ditimpa kesialan? Padahal, niat hati ingin melepas penat karena sumpek di rumah, malah bertambah sumpek ada di pasar.
"Lepaskan aku .., " pinta Hanin dengan suara lirih.
Pria yang menyanderanya tertawa. "Aku akan melepaskan kamu, kalau pria itu juga melepaskan aku. Maka dari itu... mintalah pada pria di seberangmu itu untuk tidak mengejarku lagi," desisnya, semakin mendekatkan pisau ke leher Hanin.
"A- aku..." Hanin ingin menangis rasanya. Ia tidak tahu masalah di antara pria itu. Tapi, kenapa dirinya musti terlibat?
"Hei, lawanmu itu aku. Bukan wanita itu. Memang pada dasarnya, kamu itu banci, Sa."
"Tutup mulutmu, Raffa!" Preman yang dipanggil Sa, alias Reksa itu melotot tajam. "Kalau dia mati, maka ... itu salahmu!" ancamnya.
Raffa, pria itu berdecih. Ia lantas menatap Hanin yang semakin pucat. Rasanya kasihan melihat wanita itu. "Mbak?" panggilnya.
"Eh, i- iya?" Hanin tergagap. Menatap Raffa dengan penuh harap.
"Kamu suka apel?" Hanin ternganga. Heran, kenapa musti bertanya hal yangtidak penting di situasi segenting ini? batinnya.
"Jawab saja, tidak usah heran. Kamu suka apel, nggak?" Raffa kembali bertanya.
"I- iya, suka," jawab Hanin sembari menahan kesal. Apa pria dihadapannya itu tidak tahu kalau sejak tadi ia menahan kesal karena tak segera ditolong?
"Nah, kalau gitu bayangkan saja kalau kamu lagi makan apel," kata Raffa dengan santainya.
"Maksud kamu apa?!" Hanin mendesis lirih. Tatapannya mengiba. Begitu pula dengan Santi
yang gemas dengan sikap Raffa yang aneh.
"Makan apel sama respon saat melihat kecoa. Nanti setelah hitungan ketiga, siap?"
Hanin tersadar. Ia baru bisa menangkap maksud Raffa saat pria itu menatapnya tajam.
"Iya, aku paham!"
Reksa yang tidak paham maksud Raffa hanya mencibir."Bisa- bisanya di saat segenting ini kamu malah menyuruh gadis ini membayangkan makan apel agar tidak takut. Apa kamu sudah gila?"ejeknya dengan seringai tipis dibibirnya.
Raffa tersenyum tipis. Ia tak menanggapi ocehan Raksa, dan lebih fokus pada Hanin.
"Bagus, Mbak. Satu... dua ... tiga! Mulai!" teriaknya.
Hanin melotot. Gegas ia menggigit lengan Reksa sekuat-kuatnya sampai pria itu mengaduh kesakitan. Selanjutnya, ia menginjak kaki Reksa sekuat tenaga sampai pria itu mendorongnya.
"Wanita sialan!"
Reksa bersungut- sungut sambil menatap lengannya yang berdarah akibat gigitan Hanin.
Napas Hanin ngos- ngosan. la lega karena lepas dari sandera pria menakutkan itu. la bertambah lega karena Santi memeluk dan menangkannya.
Sementara itu, tak membuang kesempatan, Raffa menghajar Reksa habis- habisan. Ia memukul
wajah pria itu dengan kepalan tangan tanpa ampun.
"Hentikan, kamu bisa membuatnya mati!" Teriakan Hanin tak digubris oleh Raffa.
Pria itu sepertinya benar- benar mau menghilangkan nyawa Reksa.
"Kamu bisa di penjara! Hentikan!"
Kali ini teriakan Hanin berhasil menghentikan gerakan tangan Raffa. Pria itu menatap dingin wajah babak belur yang tergeletak di lantai. Lalu, kembali menengadahkan tangan meminta kembali apa yang menjadi miliknya.
Reksa meringis, merasakan nyeri, perih dan nyut- nyutan diwajahnya. la perlahan merogoh saku celana dan mengambalikan sebuah cincin kepada Raffa.Tenaganya sudah habis karena Raffa menghajarnya.
Raffa berdecih. "Jika sejak tadi kau berikan cincin ini, takakan wajahmu hancur seperti itu!" tegasnya. Lantas berdiri dan memutar badan, menghampir Hanin yang masih terlihat ketakutan.
"'Apa kamu baik- baik saja?" Hanin terbelalak.
"I- iya ... aku baik- baik saja. Terima kasih atas bantuanmu," sahutnya.
Raffa mengangguk. "Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu sudah membantuku menangkapnya. Kamu pasti merasa takut. Aku minta maaf.
Hanin menggeleng. "Tidak perlu begitu. Aku tadi, tidak sengaja terlibat."
Raffa menarik sudut bibirnya. la melihat ada sedikit goresan dileher Hanin. Namun, tidak menunjukkan luka serius.
"Ikut aku!" ucapnya dengan tatapan yang membuat Hanin merinding.
"Ke- ke mana? Aku mau pulang," jawab Hanin yang merasa gugup. la lantas menoleh ke arah Santi yang juga merasa takut.
"Ke suatu tempat. Ajak saja temanmu ini kalau kamu takut padaku." Suara Raffa terdengar begitu dingin.
Santi mengangguk, memberi isyarat kalau Hanin harus ikut. Melihat bagaimana beringasnya pria itu memukul lawannya, Santi takut kalau membuat pria itu marah. Bisa- bisa mereka yang akan menjadi lawan berikutnya. Hiih ...
Hanin akhirnya menurut. la berjalan bersama Santi mengikuti Raffa ke sebuah pos ronda yang adadi ujung jalan pasar. Entah apa yang mau dilakukan Raffa pada mereka.
Raffa membuka tas pinggangnya dan mencari sesuatu di dalam sana. Setelah menemukan,ia lantas mendekati Hanin dan menyondongkan tubuhnya ke arah wanita itu.
"Eh eh, mau ngapain?!" teriak Santi. Sementara Hanin seperti terpaku dan hanya bisa diam mematung.
Hanin merasakan ada sesuatu yang menempel di lehernya. Bulu kuduknya sempat meremang saat merasakan embusan napas Raffa menyapu kulit belakang kepalanya.Saat Raffa sudah menjauhkan wajahnya, ia meraba leher dan ternyata pria itu menempelkan hansaplast di sana.
"Ada goresan kecil di lehermu akibat pisau pria bajingan itu.Kamu mungkin tidak merasakan perih karena kalah sama rasa takutmu. Tapi, nanti setelah merasa aman, rasa perih di lehermu akan terasa," jelas Raffa tanpa menatap Hanin. Ia malah lebih fokus pada ponsel di genggamannya.
Hanin mengangguk. "Makasih, Mas," ucapnya.
"Hem." Raffa lantas berlalu pergi begitu saja. Tanpa salam atau pamit.
"Dih! Dia nyebelin banget, sih! Bilang salam atau dadah lah menimal kalau mau pergi. Malah main nyelonong pergi gitu aja."Santi ngomel- ngomel melihat sikap Raffa yang menurutnya cuek dan dingin. "Untung aja cakep!" tambahnya diringi oleh kekehan.
Hanin terkekeh pelan. la meraba lehernya lagi. Rasanya ada rasa hangat yang menjalar ke
hatinya. Pria itu memang terkesan cuek dan dingin. Namun, hatinyasangat baik. Bahkan, hal sekecil apapun tak luput dari pandangannya.
"Kita pulang yuk, San!" ajak Hanin.
"Oh, iya. Ayok! Aku takut ibumu marah- marah kalau kamu gak pulang pulang," kelakar Santi.
"Loh, bukannya itu Lisna, ya,Nin?" Santi menghentikan motornya di pinggir jalan. Matanya
memicing saat melihat dua orang berjalan usai turun dari mobil sambil saling merangkul.
"Iya, benar! Itu adikmu, Nin!Aku gak salah lihat!" pekik Santi.
la memakai helm dengan kaca hitam, begitu pula dengan Hanin. Sehingga siapa pun tak bisa meliha wajah mereka.
Hanin pun memicingkan mata. Ya, itu memang adiknya, Lisna.Terlihat dari seragam puskesmas yang dikenakannya. Tapi, kenapa adiknya itu ada di tempat itu? Bukankah ini masih jam kerja?
"Hei, adikmu ngapain masuk kesana? Itu kan penginapan? Hotel kecil lah, ya. He he he," kata Santi." Gak mungkin kan kalau Lisna mau indehoy di sana sama pacarnya,Nin? Aduhh ... pikiranku jadi travelling" kelakarnya.
Hanin bergeming. Ia menggigit bibir bawahnya. "Kita pulang saja, San. Aku mau bicara sama Bapak dan Ibu. Akan aku bicarakan semua ini sama mereka,' pintanya.
"Lah kenapa gak disamperin saja sekarang, Nin? Kita labrak mereka berdua. Gak mungkin kalau mereka gak ngapa- ngapain di dalam sana. Masa iya mau ngopi? Kan masih ada kafe atau warung
pinggir jakan, kan?"
Hanin menghela napas panjang. "Kita pulang saja, Santi," ucapnya lagi.
"Hemm ... baiklah baiklah!"Santi kembali mengemudikan motornya.
Meski sebenarnya ia gemas sekali ingin menemui Lisna dan menggrebek wanita itu. Sikap Lisna yang semena- mena dan mulutnya yang tak bisa dijaga, membuatnya kesal.
"'Aku yakin kalau mereka pasti lagi bercocok tanam, Nin!" Santi masih meracau. "Pria dan wanita kalau udah berduan ketemu ranjang sama bantal dan guling. Udah pasti itu! Yakin aku!" Santi bukannya diam malah menambah-nambahi.
Sementara Hanin yang mendengarnya hanya tersenyum tipis. la merasa lucu mendengar ucapan Santi, namun jujur saja ada rasa cemas yang menyelinap kedalam hati. Jika saja benar ucapan Santi, maka pernikahan Lisna dan Arya harus segera dilaksanakan.
Setibanya di rumah, Hanin bergegas menemui orang tuanya. "Pak, Bu?!" panggilnya. Ternyata, kedua orang tuanya itu sedang ada di halaman belakang, memanen singkong.
"Baru pulang, Nin? Seneng nihh abis jalan- jalan? Udah dapat apa aja?" tanya Bu Daning dengan ketus.
Hanin menghela napas. "Aku gak beli apa- apa, Bu. Niatnya cuman nganterin Santi," jawabnya.
"Pak,Bu, tadi aku lihat Lisna sama pacarnya," ucapnya kemudian.
Kening Bu Daning berkerut dalam. "Lisna sama Arya? Paling mereka ketemuan buat makan siang. Biasanya Arya memang suka jemput Lisna saat siang begini untuk diajak makan di luar," jawabnya.
"Setiap hari?" tanya Hanin, memastikan.
"Iya. Kenapa? Kamu iri sama adikmu?" tebak Bu Daning.
"Enggak sama sekali. Untuk apa aku iri sama Lisna yang mengobral tubuhnya demi bisa menikahi pria kaya, Bu?"
Bu Daning melotot tajam. "Apa maksud ucapanmu itu, Hanin?!" la mulai tersulut emosi.
Pak Abdul mendekat. Penampilannya begitu kotor karena banyaknya tanah yang melekat ditubuhnya.
"Ada apa toh, Nak? Kenapa kamu bilang gitu soal
adikmu? Memangnya kamu ketemu Lisna di mana?" Suaranya lebih lembut dan sikapnya lebih tenang ketimbang istrinya.
"Aku ketemu Lisna dan Arya mau masuk ke hotel, Pak, Bu. Mereka masuk kesana," kata Hanin.
Bu Daning berdiri dan ...
PLAAAK!