Mengejar Cinta Nabila

"Bunda mau ngomong apa?" tanya Hazel sambil menyantap sarapan yang dibuatkan sang ibu.

Nabila menelan makanan yang sedang dikunyahnya, dan meminum seteguk air putih. Batin Nabila sudah siap, ia akan mengatakannya pada sang putra. Sekarang juga.

"Sebelumnya Bunda boleh nanya gak, kemarin kamu kenapa gak bales chat Bunda, juga gak bales telepon Bunda? Gak biasanya kamu seperti itu. Bunda khawatir sekali. Apa Bunda udah bikin salah sama kamu?"

Nabila ingin mengetahui apa yang Hazel rasakan kemarin saat Hazel menangkap basah dirinya sedang bervideo call dengan Dzaki. Setelah itu, barulah Nabila bisa memutuskan kata-kata seperti apa yang akan ia gunakan untuk menjelaskan statusnya yang kini sudah berubah.

"Maafin sikap aku kemarin ya, Bun," sesal Hazel. "Aku gak akan gitu lagi."

"Bunda seneng kamu minta maaf atas sikap kamu kemarin. Bunda terima maaf kamu, dan Bunda juga minta maaf karena kayaknya karena kejadian itu kamu jadi marah sama Bunda. Tapi itu gak jawab pertanyaan Bunda. Coba bilang sama Bunda, ada apa kemarin?"

Hazel menghela nafasnya. Ia sendiri masih merasa canggung. Namun sepertinya ia pun ingin meluruskan semuanya. Ia ingin tahu, siapa pria itu? Apa hubungan Nabila sudah serius dengan pria itu? Lalu bagaimana perasaan ibunya itu terhadap sang ayah?

"Aku kemarin malem, denger Bunda lagi video call sama seseorang," ucap Hazel akhirnya. "Apa Bunda lagi deket sama seseorang? Siapa itu, Bun?"

Nabila seketika gugup. "Jadi kamu marah sama Bunda karena itu?"

"Jujur..." Hazel menyesal. "Iya, aku kesel sama Bunda. Selama ini yang aku tahu, Bunda masih cinta sama Ayah. Tapi kenapa tiba-tiba Bunda punya seseorang? Rasanya aku gak rela aja. Juga, aku marah karena Bunda gak bilang apa-apa sama aku. Kenapa Bunda gak ngomong dari awal? Kenapa aku harus tahu tentang itu dengan cara kayak gitu?"

"Maafin Bunda ya, Nak," sesal Nabila. "Sekarang kamu udah besar, Bunda akan jujur sama kamu. Ayah sudah lama pergi meninggalkan kita. Seiring berjalannya waktu juga, perasaan Bunda terhadap ayah semakin pudar. Tapi bukan berarti ayah udah gak penting lagi bagi Bunda. Selamanya, ayah akan selalu menempati tempat yang spesial di hati Bunda. Ayah adalah sosok yang sangat berjasa buat Bunda, Enin, Tante Sofi, dan juga Tante Hira. Kamu tahu itu, 'kan? Kamu paham maksud Bunda?"

Hazel mengangguk. "Iya, aku ngerti." Ternyata selama ini ia salah, ia kira sang ibu masih sangat mencintai ayahnya. Waktu sudah berlalu cukup lama sejak Hadi pergi, Hazel paham jika sang ibu sudah tak lagi memiliki rasa seperti dulu terhadap sang ayah.

"Dan untuk masalah seseorang yang kamu dengar video call sama Bunda," Nabila menghela nafasnya. Ini adalah saatnya.

"Itu adalah suami baru Bunda."

Sontak Hazel yang sejak tadi menunduk tak berani menatap kedua mata sendu sang ibu, menatapnya dengan terhenyak. "Ap-apa, Bun?"

"Kamu gak salah dengar, Nak. Bunda sudah menikah lagi," jujur Nabila antara lega dan juga merasa bersalah.

"Kok bisa? Sama siapa? Kenapa aku sampai gak tahu?" Hazel marah. Mengapa ia sampai tidak tahu hal sepenting ini? Ia merasa tak dianggap oleh ibunya sendiri.

"Izinkan Bunda menjelaskan semuanya dulu, boleh?" tanya Nabila lembut. Ia paham sang putra pasti merasa tersinggung.

Hazel tak menyahut, alisnya masih menyatu, menandakan ia masih dikuasai amarahnya.

"Kamu inget waktu Bunda nginep di hotel saat menghadiri pernikahannya Tante Gina? Keesokan harinya, Bunda menikah dengan suami Bunda."

Dahi Hazel semakin menyatu. "Maksud Bunda? Kok bisa Bunda tiba-tiba nikah?"

"Bunda menikah karena Bunda terpaksa, Nak. Ada kejadian tak terduga terjadi saat itu. Bunda lupa ngunci pintu kamar, dan orang itu masuk kamar Bunda. Kemudian kedua orang tua dari suami Bunda itu mergokin Bunda dan juga suami Bunda itu. Mereka salah paham dan mau gak mau Bunda harus menikahi dia, padahal Bunda udah jelasin bahwa gak ada yang terjadi antara Bunda dan suami Bunda itu. Orang tua suami Bunda meminta Bunda dan suami Bunda itu untuk tinggal di Bali selama sebulan. Walaupun pernikahan Bunda ini mendadak dan terpaksa dilakukan, kami harus mencoba menjalani kehidupan rumah tangga kami ini. Awalnya Bunda sedih sekali. Bunda gak mau menikah dengan pria yang gak Bunda kenal. Tapi lama kelamaan, Qadarullah, Bunda justru mencintai dia. Dia juga mencintai Bunda."

Nabila lega, semuanya sudah ia katakan. Kini ia pasrah dan menunggu reaksi Hazel.

Nafas Hazel menderu, ia masih mencoba mencerna apa yang Nabila bicarakan.

"Bunda sengaja gak kasih tahu kamu dulu. Bunda nunggu waktu yang tepat. Bunda takut kamu syok. Tapi ternyata tanpa sengaja kamu tahu tentang suami Bunda itu."

"Terus... Suami Bunda itu... siapa?"