Anna, seorang wanita yang berjuang dari penderitaannya karena mendapatkan suami pemalas dan juga mertua yang membencinya serta istri dari ipar-iparnya yang selalu menghasut sang mertua untuk menciptakan kebencian padanya. siapakah Ana sebenarnya, bagaimana kisah masa lalunya, sehingga membuat ibu mertuanya begitu membencinya dan siapa dalang dari semua kebencian tersebut?
Bagaimana kelanjutannya, ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
stay flashback si Anna
Hari berganti. Kehidupan yang kami jalani tidak seindah yang kami bayangkan. Dimana kami masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bang Johan bekerja sebagai sopir ditoko bangunan.
Untuk menambah penghasilan, aku bekerja mencari upahan dengan melaundry pakaian tetangga dan itu semua untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga membayar sewa rumah.
Ibu mertua sudah tidak pernah lagi ingin tahu bagaimana kondisi kami saat ini. Tetapi hal itu tidak menjadikanku harus berkecil hati. Semua ku lakukan dengan suka rela asalkan bang Johan masih mau berusaha.
Beberapa bulan kemudian aku mengandung anakku dan suamiku mulai semakin giat bekerja dan aku masih ikut membantunya.
Hingga usia kandungan hampir menuju kelahiran, tiba-tiba bang Johan diajak seorang kontraktor untuk bekerja diluar kota memasang kabel telkom, sedangkan aku sudah memasuki bulan hari perkiraan lahir yang semakin dekat. Tetapi kondisi keuangan yang terpuruk membuat kami harus rela berjauhan dan aku melepaskannya untuk pergi mencari nafkah.
Selama seminggu bekerja, bang Johan tentu belum mengirimkan uang belanja padaku, sebab masa gajian setelah selesai borongan yang diperkirakan hanya memakan waktu sebulan saja.
Hingga disuatu malam aku merasakan perutku sangat mulas dan ini sangat sakit. Aku tahu jika ini adalah kontraksi bayiku yang akan lahir, sebab aku pernah merasakan melahirkan saat dipernikahanku yang pertama.
ku raih tas berisi pakaianku dan juga calon bayiku yang sudah ku tata sejak lama dan ini semua ku beli dari jerih payaku melaundry selama ini.
Lalu ku keluarkan sepeda motor matic yang mana motor bang Johan sudah dijual untuk membiayai kebutuhan hidup kami dan ditukar dengan motor matic.
Sepanjang jalan aku meringis kesakitan dan berusaha menahan rasa sakitku yang semakin lama semakin kuat terasa.
Setibanya dirumah praktik seorang bidan, aku memarkirkan motorku dengan sisa tenaga yang cukup lemah aku berjalan memasuki pintu.
"Bu," aku memanggil lemah sang bidan dan duduk dibangku tunggu.
Aku berjalan mondar-mandir sendirian tanpa ada siapa yang mendampingiku.
"Bu," panggilku dengan suara lirih, rasa kontraksi semakin kuat, bahkan aku belum sempat mengabari bang Johan jika aku akan lahiran.
Sesaat ku dengar suara derap langkah kaki keluar dari dalam ruangan.
"Eh, Anna," ucapnya padaku dengan wajah terkejut. Sepertinya ia baru saja kembali dari luar, sedangkan anak-anaknya tidak mendengar panggilanku.
"Aku menatapnya dengan sayu sembari memegangi perutku yang sangat sakit.
"Ya Allah. Kamu sama siapa kemari?" tanyanya dengan panik, lalu membawaku masuk keruang pemeriksaan. Ia melihat jika saat ini aku sudah buka 6 dan ini tandanya sebentar lagi aku akan menyambut calon bayiku.
"Sendiri," jawabku, lalu naik ke atas ranjang pemeriksaan.
"Ya Allah, suamimu kemana?" tanyanya. Lalu memeriksaku dengan teliti.
"Merantau dan belum bisa kembali," sahutku lemah.
"Ibu mertuamu?"
Aku hanya terdiam dan tidak menjawabnya.
Sesaat rasa kontraksi itu semakin sangat sakit, tetapi aku berusaha untuk menahannya.
Tampak bidan itu melihatku dengan tatapan prihatin, bagaimana tidak, aku melahirkan tanpa ditemani oleh siapapun. Aku sudah menghubungi ibuku, tetapi ia tidak dapat datang karena terkendala oleh ongkos dan aku juga tidak bisa memberikannya uang.
Lalu sang bidan memasang infus dipergelangan tanganku dan juga oksigen. "Ayo, kamu miring ke kiri, biar kontraksinya semakin kuat, sebab semakin kontraksi semakin cepat untuk lahir," sarannya padaku.
Aku mengikuti sarannya dan jarum infus yang terpasang membuatku sedikit terhambat. Seketika dunia bagaikan berputar saat aku memiringkan tubuhku.
Bayangkan bagaiamana perasaanku saat ini. Apakah kalian merasa paling tersiksa didunia ini? Atau merasa paling merana, karena apa yang kalian rasakan belum sebanding dengan yang ku jalani.
Detik-detik berikutnya aku merasakan jika perutku mulai semakin kuat memulas dan aku dengan refleks berbalik badan dan terlentang, lalu aku mengejan tanpa dipinta oleh sang bidan yang baru saja selesai menata pakaian calon bayiku dari dalam tas.
Seketika ia tercengang melihat apa yang ku lakukan. Dengan gerakan sigap ia meninggalkan pekerjaannya dan memyambut bayiku yang ternyata sudah keluar dibagian kepalanya dan aku kembali mengejan hingga akhirnya puteraku lahir kedunia dengan tangisannya yang sangat membuatku mengharu biru.
Bidan tersebut dengan cekatan membersihkan bayiku dengan cairan alkohol agar steril dari kuman lalu ia memberikannya padaku sembari membersihkan jalan lahirku.
Rasanya aku tak percaya telah melahirkan buah hatiku dengan penuh perjuangan dan jalan berliku.
Setelah aku selesai dibersihkan, sang bidan bertanya.
"Siapa yang mengazankannya?"
Deeeeegh....
Tiba-tiba hatiku terasa bagaikan teriris sembilu. Bagaiamana tidak, saat suara pertama yang akan didengar oleh anakku dengan suara seruan suci itu juga tidak ku dapatkan.
Melihatku bersedih, sang bidan keluar dari rumah, lalu menelepon seseorang dan itu entah siapa. Tetapi perasaanku saat ini sangat begitu kacau antara rasa bahagia menyambut bayiku dan sedih saat aku harus berjuang sendiri bersama malaikat kecilku untuk berjuang berdua saja.
Tak berselang lama, ku dengar suara deru mesin motor berhenti tepat didepan perkarangan rumah sang bidan, lalu suara langkah berat yang biasa ku dengar selama berada dirumah orang tua bang Johan.
Tak menunggu lama, seorang pria paruh baya dan bertubuh tambun datang menghampiriku, lalu ia meraih bayiku dan mengumandangkan kalimah suci itu ditelinga anakku, seketika bulir bening jatuh disudut mataku.
Setelah selesai dengan tugas, ia berpamitan pergi, sebab tidak mungkin juga ia yang menungguku, karena terasa sumbang.
Lalu ia meninggalkan uang sebesar 600 ribu rupiah untuk membantu biaya persalinan dan aku mengucapkan terimakasih pada ayah mertuaku dan ia hanya menyambutnya dengan senyum datar.
Lalu aku kembali sendirian melewati malam ini bersama dengan puteraku. Bahkan ibu mertuaku tak datang menjengukku.
*****
Keesokan paginya, aku meminta ijin untuk pulang. Meskipun sang bidan tidak mengijinkanku, aku meminta untuk pulang, sebab tidak ingin menambah biaya menginap dan ini sudah aku fikirkan. Setelah menyelesaikan semuanya, aku kembali dengan menggendong puteraku dengan berjalan tertatih lalu menaiki motor maticku.
Setibanya dirumah aku mengabari suamiku dan memberitahu jika anaknya telah lahir dan itu telah mampu membuatnya terharu, bahkan ia merasa bersalah tidak dapat mendampinginya disaat yang begitu dibutuhkan oleh para wanita ketika sedang melahirkan ditemani oleh suami ataupun keluarga.
Aku berusaha untuk tegar dalam menghadapi semua ujian hidupku. Aku menanak nasi dan juga sayur bening bayam yang ku jadikan sebagai menu makan siangku.
Disaat para wanita yang habis melahirkan tidur santai menjaga letak kakinya agar tidak ceroboh dalam bergerak, dan bahkan makan dihidangkan, maka aku harus mandiri dalam menjalani semuanya. Yah, inilah kehidupanku yang penuh duka dan air mata, tetapi aku berusaha untuk tegar.
Alif pintar bgt yaaa mancing ikan gabus nya , aku jg mo beli donk 🤣🤣