Rafael Graziano Frederick, seorang dokter spesialis bedah, tak menyangka bahwa ia bisa kembali bertemu dengan seorang gadis yang dulu selalu menempel dan menginginkan perhatiannya.
Namun, pertemuannya kali ini sangatlah berbeda karena gadis manja itu telah berubah mandiri, bahkan tak membutuhkan perhatiannya lagi.
Mirelle Kyler, gadis manja yang sejak kecil selalu ingin berada di dekat Rafael, kini telah berubah menjadi gadis mandiri yang luar biasa. Ia tergabung dalam pasukan khusus dan menjadi seorang sniper.
Pertemuan keduanya dalam sebuah medan pertempuran guna misi perdamaian, membuat Rafael terus mencoba mendekati gadis yang bahkan tak mempedulikan keselamatan dirinya lagi. Akankah Mirelle kembali meminta perhatian dari Rafael?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PimCherry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI MANA RAFAEL?
Dorr dorr dorrr …
Tembakan demi tembakan dilepaskan oleh Mirelle. Papan sasaran berbentuk persegi panjang dengan garis garis yang membentuk tubuh seseorang, kini hanya penuh dengan bulatan bulatan hasil tembakan dari senjata yang dipegang oleh Mirelle.
“Aku gagal lagi,” Mirelle menghela nafasnya ketika tembakannya tak mengenai sasaran yang ia inginkan. Akibat sebelah tangan dan kakinya patah waktu itu, membuat dirinya menjadi kurang tepat dalam menembak sasarannya.
Saat menembak, sebelah tangannya kadang bergetar, membuat tembakannya melenceng. Ia terus mengumpati dirinya sendiri.
“It’s okay, Elle. Kamu hanya perlu berlatih lagi seperti dulu,” ucap Xena sambil memegang bahu Mirelle.
“Duduk dan beristirahatlah sebentar, Elle. Jangan terlau memaksakan dirimu,” ujar Snake. Ia sangat tahu perasaan Mirelle karena dulu ia juga pernah mengalami hal yang sama.
Lion yang melihat kondisi Mirelle pun akhirnya bangkit. Ia meminta salah seorang tentara yang juga sedang berlatih menembak untuk mencari tempat lain.
“Kemarilah, Elle,” ucap Lion.
Mirelle menghela nafasnya pelan kemudian melangkah mendekati Lion. Lion meminta Mirelle berdiri di pembatas yang mengarah ke papan sasaran.
“Berdirilah di sini dan arahkan senjatamu ke titik yang kamu inginkan,” Lion berdiri tepat di belakang Mirelle dan berbisik pada gadis itu.
“Tatap sasaranmu dan kunci dia dalam penglihatanmu. Kuatkan tanganmu dengan tetap tatap sasaranmu. Ingatlah bawa kamu adalah sniper andalan kami. Kamu akan selalu menjadi kebanggaan kami, Elle,” bisik Lion.
Mirelle menurunkan senjatanya kemudian berbalik, ia menatap Lion lalu memeluknya erat, “Apa aku masih bisa dibanggakan, Kak?”
Lion memeluk Mirelle dengan sebelah tangannya, “kamu akan selalu menjadi kebanggan kami. Adik kecil kami yang paling tepat dalam menembak. Sayangnya belum tepat saat menembak seorang pria.”
Mata Mirelle langsung membulat karena Lion tiba tiba saja tertawa. Gadis itu langsung memukul dadda Lion beberapa kali.
“Kakak sengaja ya! Aku tembak nanti,” ucap Mirelle sambil mengarahkan senjatanya.
Lion langsung mengangkat kedua tangannya seakan telah menyerah. Hal itu membuat Xena dan Snake menertawakan keduanya. Pada akhirnya Mirelle pun ikut tertawa.
Rafael yang berdiri di atas bukit, tak jauh dari area menembak, melihat semua itu. Senyum dan tawa Mirelle yang sudah lama tak ia lihat dan dengar.
“Apa kamu menyukai pria itu, Elle? Sepertinya kamu nyaman berada di dekatnya. Kamu tak mengusirnya saat ia berada dalam jarak dekat denganmu, bahkan kamu memeluknya dengan erat,” gumam Rafael.
Hatinya terasa sakit saat melihatnya. Kalau saja dulu ia menerima cinta Mirelle, mungkin saat ini mereka akan bersama dan hanya ada cinta di antara mereka. Rafael tak perlu takut karena kedua keluarga pasti merestui hubungan mereka.
“Aku yang menghancurkan semuanya. Bagaimana aku memperbaikinya? Kamu bahkan tak mau mendengarkanku, bahkan melihatku saja sepertinya kamu enggan,” batin Rafael.
*****
Marco yang sedang fokus membaca berita acara tentang kasus yang akan ia tangani, terganggu dengan dering ponsel miliknya. Ia lupa mengubahnya menjadi mode getar.
“Haishhh, siapa lagi yang mengganggu?”
Marco melihat nama Rafael tertera di layar ponselnya. Ia menautkan kedua alisnya. Sudah lama sekali ia tak pernah bertemu dengan Rafael. Sejak Mirelle pergi, Marco lebih banyak sendiri. Ia hampir tak pernah berkumpul bersama Rafael dan Yasa. Jika berkumpul, yang terjadi hanya lah pertengkarannya dengan Rafael. Marco menghela nafasnya pelan ketika mengingat itu semua.
“Ada apa, Raf?” tanya Marco saat menjawab panggilan tersebut.
“Mar, bantu aku …,” terdengar nada penuh kegetiran dalam ucapan Rafael.
“Ada apa denganmu, Raf? Katakan kamu di mana, aku akan ke sana,” meskipun Marco merasa kesal dengan sikap Rafael, tapi ia tak akan membiarkan sahabatnya itu dalam masalah ataupun dalam bahaya.
Namun Rafael tak menjawab pertanyaan Marco. Panggilan tersebut terputus, membuat Marco melakukan panggilan balik tapi tak bisa.
“Sepertinya daya ponsel Rafael habis. Di mana dia?” Marco menekan layar ponselnya dan menghubungi seseorang.
Terdengar nada sambung beberapa kali, tapi tak dijawab. Hingga ketika Marco mencoba yang ketiga kali, barulah panggilan tersebut tersambung.
“Ada apa, Mar?”
“Yas, apa kamu tahu di mana Rafael?” tanya Marco.
“Rafael? Bukankah ia sedang pergi bertugas.”
“Bertugas, di mana?”
Yasa bisa mendengar nada panik dan gelisah dari suara Marco. Hal itu membuatnya bertanya tanya, “ada apa sebenarnya, Mar?”
“Baru saja Rafael menghubungiku. Ia meminta bantuan. Tapi setelah itu sambungannya terputus dan aku tak bisa menghubunginya lagi,” ujar Marco.
“Aku akan coba cari tahu terlebih dahulu. Kamu tenanglah,” ucap Yasa.
“Baiklah.”
Sambungan ponsel tersebut terputus. Yasa juga khawatir dengan kondisi Rafael, tapi di lain pihak ia merasa senang karena mendengar Marco yang begitu khawatir dengan keadaan Rafael. Ia berharap hubungan mereka bertiga akan kembali baik seperti dulu.
Yasa bergegas pergi ke bagian administrasi. Kebetulan sekali hari ini ia ada praktek di rumah sakit. Yasa kini sudah menjadi seorang dokter ahli kejiwaan. Ia membantu para pasien untuk hilang dari trauma dan depresi yang mereka alami.
“Dokter Rafael?”
“Dokter Rafael sedang pergi bertugas, Dok,” ucap salah seorang perawat.
“Ke mana?” tanya Yasa.
“Markas tentara militer.”
Jawaban perawat itu membuat Yasa membulatkan matanya, “terima kasih.”
“Apa yang Rafael lakukan di sana? Yang benar saja ia bertugas di sana. Apa tadi ia menghubungi Marco karena tertembak? Atau jangan jangan ia dipukuli di sana?” - batin Yasa merinding.
Ia kembali ke ruang prakteknya karena sebentar lagi prakteknya akan dimulai. Ia menekan latar ponselnya dan kembali menghubungi Marco.
“Mar.”
“Bagaimana? Apa kamu sudah tahu di mana Rafael? Apa dia baik baik saja?” tanya Marco dengan gelisah.
“Aku juga tidak tahu bagaimana keadaannya karena aku juga tak berhasil menghubunginya. Namun setidaknya aku sudah tahu di mana dia berada,” ucap Yasa.
“Di mana?” tanya Marco.
“Di markas militer tentara. Ia sedang bertugas di sana,” jawab Yasa.
“Markas militer? Mirelle?” ucap Marco.
“Mirelle?”
🧡🧡🧡