Dilara Ariesta merupakan putri semata wayang dari Dirgantara Sutrisno, pemilik PT Oke Food Dirgantara Sentosa yang bergerak di bidang industri makanan.
Suatu ketika dia tak sengaja bertemu dengan seorang pria yang bekerja sebagai karyawan di PT tersebut. Siapa sangka pertemuan pertama itu menumbuhkan benih-benih cinta di hati Dilara.
Akan tetapi, Dilara harus menelan kekecewaan saat mengetahui status pria yang ternyata sudah memiliki istri itu.
Namun, Dilara tidak mau menyerah begitu saja. Saat mengetahui bagaimana kehidupan rumah tangga pria itu, dia membuat kesepakatan dengan istri pria itu. Sampai akhirnya Dilara diizinkan jadi istri kedua untuk Dafa.
Nah, bagaimana kelanjutan ceritanya?
Jangan lupa mampir ya Kak!
Dukungan kalian adalah penyemangat buat kami,
Lope lope segudang... Mmuach...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Belah Duren
"Boleh aku tau bagaimana cara kamu melahirkan kedua putri kita waktu itu? Apa kamu mengalami kesulitan?" tanya Dafa lirih sambil mengusap lengan Dilara, dia menyesal karena tidak bisa mendampingi Dilara waktu itu.
Saat ini posisi Dafa setengah berbaring dengan punggung tersandar di kepala ranjang, sedangkan Dilara memeluk perut Dafa dengan pipi yang bertumpu di dada pria itu.
"Hmm... Sulit sekali, aku hampir menyerah karena tidak kuat menahan rasa sakit. Lalu Fandy meminta dokter melakukan tindakan operasi," jawab Dilara dengan mata berkaca.
"Siapa Fandy?" Dafa bertanya dengan kening mengkerut.
"Pria yang Mas curigai waktu itu. Sebenarnya dia itu sepupuku, ibunya mempunyai hubungan darah dengan ibuku. Saat kecil kami pernah tinggal bersama, sebab itulah aku dan dia sudah seperti kakak adik." jelas Dilara sambil memainkan ujung telunjuknya di pusar Dafa.
Mendengar itu, seketika hati Dafa mencelos. Bodohnya dia mencurigai Dilara berselingkuh dengan sepupunya sendiri.
"Kenapa diam saja saat aku bertanya? Kenapa tidak jujur, Dila?" tanya Dafa dengan raut penyesalan.
"Untuk apa, Mas? Kalau pun aku bicara, kamu tidak akan mempercayaiku." sahut Dilara dengan suara melemah.
"Ya, kamu benar, aku ini memang bajingan. Suami macam apa aku ini?" Dafa mendongak menatap langit-langit kamar, hembusan nafasnya terdengar berat, air mukanya dipenuhi kabut penyesalan yang begitu mendalam.
Andai saja saat itu otaknya mampu berpikir dengan jernih, Dilara tidak akan mungkin tersakiti separah ini. Dia bahkan harus melahirkan tanpa sosok seorang suami di sampingnya. Dafa tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya Dilara saat itu.
"Lalu kenapa berbohong tentang keguguran itu, dan kenapa meninggalkan aku di rumah sakit sendirian?" tanya Dafa lagi.
"Lalu aku harus bagaimana, Mas? Kamu begitu bahagia menyambut janin yang dikandung Mbak Mega, aku tidak ingin merusak kebahagiaan kalian. Aku sudah merebutmu sekali, aku tidak ingin melakukannya lagi." seketika air mata Dilara jatuh berderai mengingat kejadian pahit itu.
"Tapi saat itu kamu juga mengandung darah dagingku, Dila. Bahkan kamu lebih berhak atas diriku," desis Dafa seraya memeluk Dilara erat, tangis keduanya pecah bersamaan.
"Rasanya permintaan maafku tidak akan cukup untuk menebus semua kesalahan yang sudah aku perbuat. Kenapa Dila? Kenapa semua jadi seperti ini? Aku malu padamu," sesal Dafa berurai air mata.
"Aku juga malu, Mas. Demi cinta, aku mempertaruhkan harga diriku dan merusak rumah tangga Mas dengan Mbak Mega. Aku bukan wanita, tapi iblis. Aku merebut suami orang karena keegoisanku, harusnya aku tidak datang dalam hidup Mas." isak Dilara sesenggukan.
"Tidak sayang, kamu bukan iblis. Kamu cintaku, kamu gadis kecilku yang manis, gadis nakal yang sudah membuat aku tergila-gila. Berulang kali aku datang ke tempat itu hanya untuk mencarimu, tapi takdir tidak mau mempertemukan kita kembali. Dia malah mempertemukan kita di situasi rumit seperti ini, " ungkap Dafa sembari mengelus pipi Dilara, dia teringat kembali dengan wajah kecil Dilara yang imut dan menggemaskan.
"Mas..." Dilara yang mengingat itu lantas berpindah ke perut Dafa, dia mendudukinya dan memeluk tengkuk Dafa erat.
"Aakhh..." ringis Dafa, matanya sontak memerah karena gesekan yang dilakukan Dilara barusan. Baru saja batang miliknya tenang di dalam sana, kini terusik kembali karena kecerobohan yang dilakukan Dilara.
"Apa yang kamu lakukan, Dila? Kenapa membangunkannya lagi?" lirih Dafa dengan suara parau, dia rasanya ingin mati dari pada menanggung siksaan seperti ini.
"M-maaf Mas, aku tidak sengaja." ucap Dilara dengan bibir mencebik.
"Dia tidak membutuhkan kata maaf, sayang. Dia ingin dimanja olehmu. Lima tahun dia berpuasa demi kamu, apa kamu tidak kasihan?" desis Dafa menahan rasa sesak yang menghujam jantungnya. Jika kali ini Dilara masih menolak dirinya, Dafa ingin berendam saja di tengah malam seperti ini, dia tidak sanggup menahannya lagi.
"Tapi Mas-"
"Ya sudah, kalau begitu menyingkirlah!" ketus Dafa sembari mengangkat tubuh Dilara, lalu turun dari ranjang.
"Mas mau kemana?" tanya Dilara tidak enak hati.
"Berendam sampai pagi, besok siapkan saja pemakaman untukku." jawab Dafa asal, lalu berjalan menuju pintu.
"Apa Mas benar-benar akan mati?" tanya Dilara memastikan.
"Hmm..." gumam Dafa, lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan kamar itu.
Setelah Dafa menghilang dari pandangannya, Dilara memilih berbaring dan menarik selimut. Dia mencoba memejamkan mata setelah melihat jarum jam yang menunjukkan pukul satu dini hari.
"Aah..." Dilara kembali duduk setelah kasak kusuk kurang lebih lima belas menit lamanya, lalu mengacak rambutnya dengan kasar. Dia mulai gelisah memikirkan keadaan Dafa di luar sana.
Tanpa pikir panjang, dia pun menuruni ranjang dan lekas menyusul Dafa ke kamar mandi.
"Mas, kamu baik-baik saja kan?" tanya Dilara dari balik pintu.
"Baik apanya? Ini kepala mau pecah, Dila." keluh Dafa dari dalam sana, sudah seperempat jam lebih tapi tidak ada tanda-tanda pelepasan yang akan terjadi.
"Ya sudah, keluar saja!" ucap Dilara.
"Untuk apa keluar? Biarkan saja aku tidur di kamar mandi malam ini!" gerutu Dafa mendengus kesal.
"Mas..." tegas Dilara.
"Iya, iya," Dafa kembali memakai celana dan keluar dari kamar mandi.
Saat pintu terbuka, Dafa menatap lekat Dilara sejenak kemudian melengos pergi tanpa bicara sepatah katapun.
Dafa kembali masuk ke dalam kamar dan meringkuk di dalam selimut. Matanya mulai terpejam seiring rasa sakit yang menusuk-nusuk kepalanya.
Tidak lama kemudian, Dilara menyusul masuk dan lekas mengunci pintu. Dengan langkah kaku, dia menghampiri Dafa dan membuka pakaian bagian atas.
Entah ini salah atau dosa, Dilara tidak ingin memikirkannya sampai ke sana. Biarlah Tuhan saja yang mengadilinya nanti.
"Mas..." panggil Dilara dengan suara serak menahan rasa takut, lalu duduk di sisi ranjang dan mengarahkan tubuh polosnya ke hadapan Dafa.
"Tidur saja Dila, jangan ganggu aku!" jawab Dafa dingin tanpa melihat Dilara.
"Mas, ayo cepat! Ini dingin sekali," desak Dilara.
Dafa yang tadinya bergelung di dalam selimut, kemudian menjulurkan kepala dan membuka mata perlahan. Sontak jakunnya naik turun melihat pemandangan indah yang terpampang di depannya.
"Dila..." gumam Dafa dengan nafas tercekat di tenggorokan. Dia menepuk pipi dengan kasar untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi.
"Dila, kamu-"
Tidak ingin mengulur-ulur waktu, Dilara pun menarik tengkuk Dafa dan mengesap bibirnya lebih dulu lalu dengan enteng menaiki tubuh Dafa.
Ayah dua anak itu mengerjap menikmati permainan Dilara yang menurutnya sangat menggairahkan. Dilara bahkan dengan leluasa membusungkan dada, memberi celah agar Dafa segera memainkan puncak menara kembar miliknya.
Deru nafas Dafa kian memburu seiring de*sahan Dilara yang tak henti mengalun merdu. Dafa pun menaiki puncak gunung itu, sentuhan tangan dan lidahnya membuat sekujur tubuh Dilara meremang.
Saat tubuh keduanya sudah polos, Dafa mengambil alih permainan dan mengukung Dilara di bawah dada. Sebelum memasukinya, Dafa memberikan sedikit sentuhan di inti Dilara, hal itu membuat ibu dua anak itu mabuk kepayang dan menjerit sesekali.
"Aughh... Mas..." de*sah Dilara seraya meremas rambut Dafa dan menekan kepalanya. Reaksi Dilara itu semakin menumbuhkan semangat di diri Dafa.
Dafa memulai serangan rudalnya perlahan, dia tau Dilara belum terbiasa dan dia tidak ingin menyakitinya.
"Mmm..." gumam Dilara menggigit bibir. Meski bukan pertama kali, tapi rasanya cukup sakit dan ngilu. Dilara pun menetralisir rasa sakitnya dengan mencengkeram lengah Dafa.
Setelah rudalnya masuk dengan sempurna, Dafa mulai bergerak dengan leluasa. Dilara memberanikan diri menyambut tatapan Dafa yang sudah seperti kucing liar, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mende*sah.
"Mas... Aughh..."
Semakin sering Dilara mengeluarkan suara seksinya, semakin menggila pula Dafa dibuatnya.
Tidak hanya dengan satu posisi, Dafa bahkan beberapa kali mengajak Dilara berganti posisi. Dilara hanya menurut seperti sebuah boneka, dia memang tidak punya pengalaman apa-apa akan hal ini.
Terbayar sudah rasa yang selama ini Dilara impikan, tubuh keduanya terkulai lemas setelah mendapatkan pelepasan bersama-sama.
dafa sedang meniduri kedua'a...
meniduri berarti ditimpa/ditiduri atau bisa jg berkaitan dgn hubungan suami istri....
kalau seorang ayah sepantas'a ya menidurkan...
contoh: dafa sedang menidurkan kedua'a...
itu setahu sy,,,maaf ya othor bukan sy merasa lebih pintar dr othor,,,
tp pas baca kalimat dafa sedang meniduri kedua'a kok kesan'a gimana gituuuu,,,,
ahli bahasa mungkin boleh hadir disini buat menjelaskan beda arti kata meniduri dan menidurkan...
sekali lg maaf ya othor...🙏