Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
029. Sesekali Boleh Salah
Selesai makan siang, ibunya diajak ke ruang keluarga oleh Bara dan ayahnya. Entah apa awal pembicaraan mereka saat itu, Dul tak mengetahuinya. Ia masih duduk di ruang makan dan menyuap kue yang dibeli Bara di mall. Bu Yanti masih berada di sana membereskan sisa makan siang bersama seorang asisten dapur.
“Dihabiskan, ya … kalau anak-anak enggak apa-apa makan yang manis-manis.”
“Iya, Uti …,” jawab Dul. Saat ia menyendokkan sepotong kue cokelat itu ke mulut, kue itu tergelincir dan mengenai bagian depan kemejanya. Tanpa sepengetahuan Bu Yanti, ia cepat-cepat memasukkan kue itu ke mulut. Malang bekas tumpahan kue mengotori bagian depan kemejanya. Wajah Dul pias seketika.
Konsentrasinya terpecah antara tugas menghabiskan kue dan melirik bagian depan kemejanya yang kotor. Bu Yanti berjalan ke sana kemari di dapur. Dul merasa punya kesempatan untuk mengambil tisu membersihkan kemejanya. Cepat-cepat ia menarik selembar tisu dan menuangkan sedikit air minum ke permukaannya. Air yang ia tuangkan ternyata sedikit berlebihan dan menetes ke meja. Dul buru-buru menyekanya. Lalu dengan tisu yang sudah nyaris tak berbentuk, Dul mengusap bagian depan kemejanya. Hingga bagian yang terkena noda cokelat menjadi melebar dan melekat serbuk putih dari tisu.
Aduuuh ….
Dul membelalak. Melihat Bu Yanti kembali berjalan menuju meja makan, Dul tak sanggup lagi mengatasi noda di kemeja itu. Ia menggenggam sampah tisu dan bagian depan kemejanya dengan tangan kiri. Lalu ia kembali berfokus pada cake di hadapannya. Ia harus cepat-cepat menghabiskan cake itu dan pergi menyusul ibunya ke depan.
“Sudah selesai?” tanya Bu Yanti, menatap piring kue kosong dan mulut Dul yang penuh. Dul mengangguk dan Bu Yanti mengangkat piring dan meletakkannya ke bak cuci. “Ayo, kita ke depan.” Bu Yanti menunggu sejenak Dul bangkit, lalu berjalan mendahului.
Dari kejauhan, lamat-lamat Dul mendengar Pak Wirya berbicara. Suara pria itu semakin jelas seiring dengan langkah kaki Dul yang semakin mendekat. “Kita adalah penentu hidup kita. Hidup itu adalah pilihan, Dijah …. Jalannya sudah terbentang di depan mata. Kalau kita masih mempertahankan ego untuk tidak memaafkan orang tua kita yang sudah sepuh … atau bahkan yang sudah meninggal, apa kita sanggup mendidik anak-anak di bawah dendam masa lalu kita? Saya rasa kita juga enggak akan sanggup bila anak-anak kita seperti itu ke kita. Lepaskan semua dendam. Maafkan semua orang yang melukai. Gantilah dengan maaf karena Tuhan pasti mempersiapkan kebaikan bagi kita.”
Akung lagi ngomong sama Ibu ….
“Buat Bara juga … kelak jadilah ayah yang dicintai. Bukan ayah yang ditakuti. Sudah enggak zaman jadi ayah galak. Sama seperti dosen killer. Itu bakal bikin anak jadi munafik, pembohong. Ayah, kan, enggak pernah gitu ke Bara.” Pak Wirya lalu memandang Bara. “Kalau Ayah galak, kamu pasti enggak berani curhat-curhat ke Ayah. Bener enggak?”
Dul baru tiba di ruang keluarga dan langsung menuju ibunya. Ia duduk di tengah. Di antara ibunya dan Bara. Ia memahami situasi saat itu kalau ibunya dan Bara sedang mengobrol dan Pak Wirya memberikan nasehat-nasehat baik seperti yang sering ibunya lakukan saat mereka berdua.
“Iya … Ayah emang nggak galak,” sahut Bara tertawa kecil, lalu menoleh ke arah Dul dan mengusap kepalanya.
“Nah … apalagi dengan menikahi Dijah, Bara harus mengambil peran Ayah itu sedikit lebih awal. Sudah ada Dul yang bakal mengikuti Bara. Bagaimana? Sudah siap, kan?”
Pertanyaan Pak Wirya itu membuat kepala Dul seketika menoleh pada Bara. Ia penasaran dengan jawaban Bara.
“Siap, Ayah …,” sahut Bara, seraya memandang Dul. Mereka beradu pandang dan bertukar senyuman.
Dul lalu menoleh ibunya. Wanita yang melahirkannya itu tidak tersenyum. Hanya menunduk dan mengusap-usap resleting di tasnya. Dul senang, tapi masih sedikit cemas. Ia belum bisa melepaskan bagian depan kemeja yang sejak tadi ia cengkeram. Andai ibunya tahu, bisa jadi ibunya mengomel. Untungnya mereka duduk sejajar. Pelan-pelan Dul menunduk untuk menoleh tangan kirinya yang mulai pegal. Merentangkannya perlahan untuk melihat gumpalan tisu. Ia belum punya kesempatan mencari tong sampah.
Sedang sibuk menunduk, Bu Yanti yang duduk di seberang Dul ternyata memperhatikan. “Itu tangan kirinya kenapa? Bajunya, kok, dipegangi terus? Coba ke sini,” pinta Bu Yanti, memanggil Dul dengan gerakan tangannya.
Aduuuh ….
Semua orang yang berada di sana seketika memperhatikan Dul. Ia yakin ibunya juga pasti bakal heran dengan apa yang terjadi. Dul mengutuki dirinya sendiri karena merasa melakukan kesalahan di hari yang sejak awal sudah sempurna.
“Bajunya kenapa?” tanya Bu Yanti lagi.
Perlahan Dul melepaskan cengkeraman tangan kirinya. “Tadi makan kue, kuenya jatuh kena bajuku. Aku lap pakai tisu basah. Jadinya begini, Uti …. Malah makin kotor,” ucap Dul, kembali menepis-nepis serbuk putih dari kemejanya.
“Oalah … jadi dari tadi dipegangin terus begini? Takut dimarahi?” tanya Bu Yanti.
“Bukan takut dimarahi kayanya. Tapi takut ngerepotin Uti buat bersihin kemeja yang kotor. Gitu, kan, Dul?” Pak Wirya terkekeh-kekeh.
“Ya, udah. Ayo, ikut Uti ke belakang. Kita bersihkan. Harusnya ngomong aja … kan, capek megangin baju dari tadi. Salah sesekali itu enggak apa-apa." Bu Yanti berdiri dari sofa dan menggandeng Dul kembali ke belakang. Meninggalkan Pak Wirya dan Bara yang tertawa kecil dan Dijah yang meringis.
Kehadiran Dul siang itu di meja makan keluarga Satyadarma terpatri menjadi ingatan kecil yang manis. Akung yang ramah dengan suara yang dalam menenangkan. Uti yang terlihat kaku, tapi diam-diam memperhatikan dan ngopeni. Juga Bara yang mudah tertawa dan menganggap semuanya bukan masalah besar.
Seminggu ke depan terasa cepat berlalu. Semua orang terlihat sibuk. Hanya Dul yang merasa dirinya tidak sibuk. Kesibukannya di rumah hanya mondar-mandir. Mengeluarkan semua mainannya dari laci, bermain sebentar, lalu kembali memasukkannya. Pergi ke taman depan, melongok kolam ikan kecil, lalu kembali ke dapur menunggui Mbok Jum. Ibunya sering keluar rumah. Katanya mengurus sesuatu yang belum selesai. Terkadang beberapa teman ibunya ikut datang. Yang paling sering terlihat adalah teman ibunya yang berambut hitam pekat dan lurus kaku. Tertawanya paling keras dan tingginya mungkin hanya setengah pintu.
“Kok, Om Bara enggak dateng-dateng, Mbok?” tanya Dul suatu pagi. “Ibu juga udah pergi, ya?” Dul duduk di salah satu kursi dan menunggu Mbok Jum mengoleskan mentega ke rotinya.
“Om Bara sebentar lagi jadi Ayah dul. Jadi belum boleh ketemu Ibu sekarang. Ibu pergi mastiin kebayanya udah pas atau belum. Kemarin agak longgar, katanya kurang nyaman. Ibu pergi sama temennya. Sabar … sebentar lagi Dul bisa liat Ayah Bara setiap hari."
Dan benarlah apa yang dikatakan Mbok Jum. Minggu berikutnya, keramaian di rumah itu tiba. Semua penjuru rumah dipenuhi bunga. Kata Mbok Jum, esok hari Bara akan resmi menjadi ayahnya.
To Be Continued