Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
"Aku kecewa karena suamiku sendiri berniat menjandakan aku demi membahagiakan wanita lain."
Pelangi Faranisa, seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal. Di malam resepsi pernikahan, ia dipermalukan oleh suaminya sendiri yang pergi tanpa permisi dan lebih memilih mabuk-mabukan.
Pemberontak, pembangkang, pembuat onar dan pemabuk berat. Itulah gambaran sosok Awan Wisnu Dewanto.
"Kamu tidak usah terlalu percaya diri! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu, meskipun kamu tidak memakai apa-apa di hadapanku!" ~ Awan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetap Huznudzon
Awan menatap nanar mobil yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia terdiam dengan ekspresi kekecewaan yang terlihat jelas. Hela napas yang berat pun terdengar, membuat wanita yang berdiri di belakangnya mengusap bahunya.
“Sudahlah, Awan! Biarkan saja kalau memang Pelangi mau pisah dari kamu.”
Awan menipiskan bibirnya menahan kekesalan. Jika tak ingat bahwa wanita yang berdiri di sampingnya adalah ibu yang telah melahirkannya, ia pasti sudah memaki habis sang ibu. “Ibu maunya apa sih?”
“Kamu tanya maunya ibu apa?” Ibu Sofie mengulang pertanyaan yang sama dengan mimik wajah berbeda. Ia mulai kesal dengan tatapan Awan yang seolah mengintimidasinya. “Awan, sadar kamu! Ibu cuma mau yang terbaik untuk kamu. Pelangi itu bu—”
“Yang terbaik untuk aku cuma Pelangi, Bu!” Akhirnya kemarahan yang tadi berusaha ditahannya jebol juga. Awan takluk oleh rasa kecewa yang teramat besar. Melampiaskannya dengan amarah yang meletup-letup.
Ayah Fery yang masih terduduk dengan sisa-sisa keterkejutan akibat kejadian tadi, harus kembali dikejutkan dengan suara teriakan Awan. Pria paruh baya itu bergegas meninggalkan tempat duduknya dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arah teras.
“Bukannya kamu menolak perjodohan dengan Pelangi sejak awal? Bahkan kamu meninggalkan resepsi pernikahan dan memilih mabuk-mabukan. Itu apa namanya kalau bukan penolakan?”
“Itu kesalahan terbesar aku!” ujarnya. “Dan Ibu tega berbicara sekasar itu terhadap istri aku di hadapan orang tuanya! Pikir bagaimana perasaan mereka, Bu!”
Melihat amarah putranya yang semakin tak terkendali, Ayah Fery pun mendekat. “Tenang Awan! Nanti kita ke rumah Pelangi untuk minta maaf dan menjelaskan semuanya.”
“Minta maaf? Setelah semua ini apa masih ada maaf untuk aku, Yah?” Tak tahan lagi rasanya, Awan memilih melangkah pergi. Naik ke mobil dengan membanting pintu kasar. Lalu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
Melihat amarah putranya yang meledak-ledak membuat Ayah Fery menjadi sangat khawatir. Awan terkadang kurang bisa mengontrol emosinya dengan baik.
“Bu, kamu memang sudah keterlaluan!”
Tak terima dengan ucapan suaminya, Bu Sofie melotot marah. “kamu juga ikut-ikutan menyalahkan aku hanya karena Pelangi?”
“Itulah kamu, Bu. Tidak pernah merasa bersalah.” Ayah Fery mendecakkan lidahnya. “Anak kamu itu sedang berusaha menata hidupnya yang baru bersama Pelangi. Tapi kamu hancurkan semuanya! Apa sih lebihnya Priska dari Pelangi sehingga nurani kamu terbutakan seperti ini?”
"Yang pasti Priska lebih layak dan sepadan."
"Layak dan sepadan? Disinilah seharusnya kamu bisa terlihat kualitas pelangi. Awan tahu kamu menemui istrinya, tapi Pelangi tidak mau mengatakan alasan kamu mendatanginya. Karena kenapa, Pelangi tidak mau memecah kasih sayang seorang anak dengan ibunya."
Ayah Fery menjeda ucapannya dengan Hela napas panjang. Entah harus bagaimana lagi menghadapi Bu Sofie yang keras kepala.
“Kamu seharusnya malu dengan kelakuan Awan. Sudah untung ada gadis sebaik pelangi yang mau menerima Awan dengan segala kekurangannya. Coba pikirkan apa jadinya Awan kalau dengan Priska? Mau mabuk-mabukan seumur hidup? Menghabiskan waktunya dengan berbuat dosa, begitu? Pikir, Bu!”
Bu Sofie seketika terdiam, menatap punggung gemuk suaminya yang kemudian menghilang di balik pintu.
............
Setibanya di rumah, Ibu Humairah langsung memeluk Pelangi. Tangis yang sedari tadi ditahannya pecah juga, hingga akhirnya menyisakan isak tangis yang memilukan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa putri yang dibesarkannya dengan penuh kasih sayang itu kurang beruntung dalam pernikahannya. Bahkan dianggap tak layak oleh ibu mertuanya sendiri.
“Pelangi, kenapa kamu tidak pernah mengatakan kepada ibu kalau perlakuan suami dan mertua kamu seperti itu, Nak? Sakit hati ibu dengar ucapan ibunya Awan.”
Pelangi mengusap punggung Ibu yang masih menangis dalam pelukannya. Zidan dan Ayah juga terlihat sama sedihnya, terutama Ayah. Dirinyalah yang merasa paling bertanggungjawab atas nasib Pelangi. Atas dasar persahabatan, ia menerima pinangan dari sahabatnya tanpa menyelidiki seperti apa lelaki yang akan memperistri putrinya.
“Maafkan ayah, Nak,” ucap Ayah penuh sesal dan sedih. “Ayah bersalah terhadap kamu dalam memilihkan jodoh.”
Melihat kesedihan kedua orang tuanya, Zidan segera menyela.
"Sudah, Ayah. Jangan berpikir seperti itu. Ayah bisa sakit nanti." Zidan mencoba menenangkan Ayah Ahmad, mengingat sang ayah memiliki riwayat penyakit jantung.
"Kasihan kakakmu, Zidan."
"Kata siapa Kak Pelangi kasihan, Ayah? Justru Kak Pelangi sedang beruntung."
"Beruntung?" tanya Ibu Humairah. "Beruntung bagaimana maksud kamu, Zidan. Lihat seperti apa mereka memperlakukan kakak kamu! Kamu dengar tadi apa kata ibu mertuanya? Dia bilang Pelangi tidak layak berada di tengah mereka."
"Huznudzon, Bu. Insyaa Allah Kak Pelangi adalah orang yang beruntung. Ibu sama Ayah selalu mengajarkan untuk huznudzon kepada Allah, 'kan? Kita pandang ini sebagai bentuk rasa cinta Allah terhadap Kak Pelangi. Allah sedang menguji Kak Pelangi untuk menaikkan derajat keimanannya ke level yang lebih tinggi."
Pelangi mengusap air mata yang mengaliri kedua sisi pipinya.
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, Bu, Ayah. Semuanya pasti ada hikmahnya. Lalu bagaimana dengan Asiyah istri Fir’aun. Bukankah Asiyah adalah salah satu dari empat wanita yang dimuliakan Allah dan dijamin masuk surga? Keimanannya diuji melalui suaminya.”
Bu Humairah masih terisak-isak.
Pelangi mengulas senyum di bibirnya. Digenggamnya jemari sang ibu. “Zidan benar, Bu. Jangan sedih! Bukankah Umar Bin Khattab juga pernah hidup dalam masa jahiliyah? Beliau sangat menentang Rasulullah dan sangat ditakuti kaum muslimin karena kerap menyiksa pengikut Rasulullah. Tapi kemudian Allah memberi hidayah melalui doa Rasulullah. Dan, akhirnya Umar Bin Khattab menjadi salah satu sahabat yang dicintai Rasulullah.”
“Mas Awan tidak jahat, Bu. Dia hanya tersesat dan tidak tahu arah yang benar.”
...........
Awan menginjak pedal gas dalam ketika melewati lampu lalu lintas yang baru saja berganti warna, membuat mobil melesat di tengah keramaian jalan. Dalam pikiran Awan sekarang hanya satu. Harus lebih cepat tiba di rumah untuk menjelaskan kesalahpahaman istri dan mertuanya.
“Ayah, ibu sama Pelangi pasti marah. Aku harus jelaskan semuanya sebelum terlambat."
Melewati sebuah tikungan tajam, Awan membanting setir ke arah kiri. Tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan ketika sebuah truk kontainer mencoba menyalip.
Mobil yang dikendarai Awan pun oleng dan menabrak trotoar hingga akhirnya terguling, terseret sejauh beberapa meter, dan akhirnya terhenti di sudut jalan dalam keadaan terbalik. Kepulan asap hitam pun menyatu dengan udara. Lenguhan lemah terdengar beberapa kali.
"Pe-la-ngi!"
Lalu, dalam beberapa detik kemudian menjadi hening. Awan tak sadarkan diri lagi dengan lelehan cairan merah yang mengalir di beberapa bagian tubuhnya.
...........