Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Sisa Cahaya di Ujung Tombak
Dahulu kala, langit ternoda oleh asap peperangan yang tak berkesudahan. Persaudaraan antara pendekar pedang dan pendekar tombak hancur berkeping-keping, bukan karena perbedaan ideologi, melainkan akibat lidah berbisa seorang tetua tombak yang haus kekuasaan. Adu domba licik itu menyulut api kebencian yang melahap ribuan nyawa selama puluhan tahun.
Setelah tanah bersimbah darah, kesepakatan damai memang akhirnya tercapai. Namun, perdamaian itu menyisakan luka yang menganga. Nama "Pendekar Tombak" menjadi kutukan. Sekte-sekte besar menghapus teknik tombak dari kurikulum mereka, menganggapnya sebagai senjata para pengkhianat.
Waktu berlalu, dan kejayaan itu memudar hingga ke titik nadir. Kini, di puncak gunung yang sunyi, hanya tersisa dua orang pemegang teguh warisan itu.
Di bawah langit yang mulai meredup, seorang pria tua terbaring lemah dengan napas yang tersengal. Kepalanya bersandar di pangkuan murid terakhirnya, Zilong.
"Muridku..." suara sang guru parau, seolah setiap kata yang keluar menguras sisa hidupnya. "Setelah napasku berhenti, jangan biarkan dirimu terikat oleh duka. Mengembaralah. Cari mereka yang tersisih, ajarkan teknik kita, dan basuhlah nama baik tombak yang telah lama kotor."
Zilong menggigit bibir, menahan sesak di dadanya. Tangan sang guru yang gemetar menyentuh pipi Zilong.
"Ingatlah, Zilong... Kekuatan sejati bukan terletak pada ketajaman mata tombakmu, melainkan pada kerendahan hatimu. Jangan pernah menganggap pendekar pedang sebagai musuh bebuyutan. Baik pedang maupun tombak, keduanya hanyalah alat. Sejatinya, senjatalah yang mengikuti hati tuannya untuk menegakkan keadilan, bukan menciptakan kehancuran."
Perlahan, binar di mata sang guru meredup. Tangan yang hangat itu jatuh lunglai. Sang guru telah berpulang, membawa pergi separuh dari sejarah tombak yang tersisa.
Zilong tidak membiarkan air matanya jatuh sia-sia. Dengan penghormatan penuh, ia menggendong jasad gurunya menuju sebuah pohon besar yang akar-akarnya telah memeluk puncak gunung itu selama ratusan tahun. Di sanalah, ia menggali tanah dengan tangannya sendiri hingga fajar menyingsing.
"Istirahatlah dengan tenang, Guru," bisik Zilong di depan gundukan tanah yang masih basah. "Aku bersumpah, teknik tombak tidak akan berhenti di tanganku. Aku akan melintasi benua ini, menghapus kebencian yang ditinggalkan leluhur, dan mengembalikan kehormatan kita."
Zilong berdiri tegak. Ia meraih sebuah senjata yang terbungkus kain kasar di samping makam. Saat kain itu tersingkap, sebuah tombak dengan ukiran naga perak berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Tombak Naga Langit.
Zilong mulai melangkah menuruni jalan setapak yang terjal, meninggalkan satu-satunya rumah yang ia kenal. Namun, ia tidak menyadari bahwa kepergian sang guru telah memicu sesuatu di tempat yang jauh.
Langkahnya terhenti saat ia merasakan hawa dingin menusuk tengkuknya. Dari balik pepohonan di kaki gunung, muncul tiga orang pria berpakaian hitam dengan lambang pedang silang di dada mereka.
"Jadi, rumor itu benar," ucap salah satu dari mereka sambil menghunus pedang panjangnya. "Ternyata masih ada satu tikus tombak yang tersisa di gunung ini."
Zilong mencengkeram erat gagang tombaknya. Matanya menajam. Ia baru saja memulai perjalanannya, namun maut sudah datang menjemput sebelum ia sempat melangkah lebih jauh dari gerbang gunungnya sendiri.
"Siapa kalian?" tanya Zilong dingin.
"Kami?" Sang pengejar menyeringai. "Kami adalah mereka yang bertugas memastikan teknik tombak mati untuk selamanya. Dan hari ini, sejarah itu akan berakhir di sini."