NovelToon NovelToon
MEMPERBAIKI WALAU SUDAH TERLAMBAT

MEMPERBAIKI WALAU SUDAH TERLAMBAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Bapak rumah tangga / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / Mengubah Takdir
Popularitas:686
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ongoing

Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.

Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Hari itu dimulai dengan sesuatu yang sepele.

Pesan singkat.

Ji Chen membacanya di sela rapat pagi sebuah pesan dari klien luar kota yang meminta pertemuan mendadak. Ia membalas cepat, lalu mengirim pesan ke Feng Niu.

> Aku pulang agak malam. Jangan tunggu.

Pesan itu terkirim. Dibaca. Tidak dibalas. Ji Chen tidak terlalu memikirkannya. Sudah terlalu sering ia pulang larut. Sudah terlalu sering Feng Niu tidak peduli.

Ia tidak tahu bahwa satu pesan itu, di hari yang salah, akan menjadi pemantik.

Feng Niu duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Riasan wajahnya belum sepenuhnya selesai. Di meja, tergeletak undangan makan malam dari kolega—acara yang sudah ia rencanakan sejak dua hari lalu. Gaun sudah dipilih. Sepatu sudah disiapkan.

Dan sekarang, satu pesan singkat itu membuat dadanya mendidih. Selalu begitu. Selalu kerja. Selalu aku yang menyesuaikan. Ia membuang ponsel ke sofa dengan kasar.

Di sudut ruangan, Xiao Fan sedang menyusun balok kayu. Ia tidak bersuara. Tidak bersenandung. Tangannya bergerak pelan, hati-hati, seolah takut membuat kesalahan.

Feng Niu mondar-mandir. Hak sepatunya diketukkan ke lantai, cepat, tidak sabar. Pikirannya penuh tapi bukan oleh anak di depannya, tapi oleh rasa kesal yang tidak punya tempat keluar.

“Papa kamu itu,” gumamnya, lebih pada diri sendiri. “Selalu sok sibuk.”

Xiao Fan mendengar, tapi tidak mengerti. Ia hanya tahu nada itu tidak aman. Tangannya gemetar sedikit. Satu balok jatuh ke lantai.

Tok.

Bunyi kecil. Sangat kecil. Namun cukup. Feng Niu berhenti melangkah. Matanya menoleh tajam. “Kamu kenapa sih?” bentaknya.

Xiao Fan tersentak. Balok di tangannya jatuh menyusul. “A-aku…” Kata-kata itu berhenti. Seperti biasa.

“Kamu tidak bisa main yang tenang?” Feng Niu mendekat. “Berisik sekali!”

“Aku minta maaf,” ucap Xiao Fan cepat, refleks. Ia berdiri, ingin memungut balok-balok itu. Tangannya yang kecil gemetar, baloknya justru terlempar sedikit lebih jauh. Itu bukan kesalahan besar. Bahkan bukan kesalahan yang pantas disebut kesalahan.

Namun bagi Feng Niu, itu cukup untuk meluapkan semuanya. Tangannya bergerak lebih cepat dari pikirannya.

Plak.

Bukan keras. Tidak sampai membuat Xiao Fan jatuh. Tapi cukup untuk membuat dunia anak itu berhenti berputar sejenak.

Xiao Fan terdiam. Tidak menangis. Tidak menjerit. Matanya membesar, napasnya tercekat di tenggorokan.

Feng Niu sendiri terdiam sesaat. Ada sepersekian detik di mana ia sadar apa yang baru saja ia lakukan. Namun rasa itu segera ditelan oleh emosi yang lebih besar lebih kesal, lelah, tertekan. “Kalau tidak bisa diam, masuk kamar!” bentaknya.

Xiao Fan mengangguk. Ia tidak memegang pipinya. Tidak mengeluh sakit. Ia hanya membungkuk pelan, memungut balok-baloknya satu per satu, lalu berjalan ke kamar.

Langkahnya kecil. Teratur. Seolah ia sedang berjalan di atas kaca. Di kamar, Xiao Fan duduk di lantai. Balok-balok itu ia susun kembali, meski tangannya masih gemetar.

Pipinya terasa panas. Bukan karena sakit fisik, melainkan karena sesuatu yang lebih sulit dijelaskan rasa malu, bingung, dan ketakutan yang bercampur menjadi satu. Ia tidak menangis. Air mata terasa sia-sia.

Malam itu, Feng Niu tetap pergi makan malam. Ia berdandan kembali, merapikan rambutnya, mengoleskan lipstik baru. Saat keluar rumah, ia bahkan tidak melirik ke arah kamar Xiao Fan.

Seolah kejadian tadi tidak pernah ada. Ji Chen pulang larut malam. Rumah gelap, sunyi. Ia melepas sepatu perlahan, kelelahan masih menempel di bahunya.

Ia berjalan ke kamar Xiao Fan terlebih dulu sebuah kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan.

Pintu kamar sedikit terbuka. Lampu tidur menyala redup. Xiao Fan sudah berbaring, tapi matanya terbuka. “Belum tidur?” Ji Chen bertanya pelan.

Xiao Fan menggeleng. Ji Chen mendekat, lalu berhenti. Ada bekas kemerahan samar di pipi anaknya. Hampir tidak terlihat. Hampir bisa diabaikan.

Namun Ji Chen melihatnya. Dadanya terasa seperti dihantam sesuatu yang berat dan dingin. “Ini kenapa?” suaranya tetap rendah, tapi ada getar yang tidak bisa ia sembunyikan.

Xiao Fan mengangkat tangan kecilnya, menyentuh pipinya sendiri. Lalu ia menggeleng lagi. “Tidak apa-apa,” katanya. Itu bukan kebohongan yang disengaja. Itu kalimat yang sudah menjadi kebiasaan.

Ji Chen berjongkok. “Siapa yang melakukan ini?” Xiao Fan terdiam lama. Ia tahu jawabannya. Ia juga tahu akibatnya jika ia mengatakannya.

“Aku jatuh,” ucapnya akhirnya. Ji Chen menatapnya lama. a tahu anaknya berbohong. Dan yang lebih menyakitkan ia tahu mengapa. Ia menghela napas, lalu memeluk Xiao Fan ke dadanya. Anak itu kaku beberapa detik sebelum akhirnya bersandar pelan.

Ji Chen mencium rambutnya. Tangannya mengepal di punggung anak itu, menahan sesuatu yang ingin meledak.

Malam itu, Ji Chen tidak tidur. Ia duduk di ruang kerja hingga dini hari, lampu meja menyala, dokumen terbuka tanpa benar-benar ia baca. Pikirannya penuh oleh satu hal: ia gagal melindungi anaknya.

Beberapa hari berikutnya, perubahan pada Xiao Fan semakin jelas. Ia semakin jarang berbicara. Bahkan pada Ji Chen. Ia tidak lagi meminta digendong. Tidak lagi berlari menyambut kepulangan ayahnya.

Ia hanya datang, duduk dekat, diam. Seperti bayangan kecil yang takut mengambil terlalu banyak ruang.

Suatu sore, Xiao Fan tersandung di halaman dan jatuh. Lututnya berdarah. Ji Chen yang melihatnya langsung berlari.

“Sakit?” tanyanya panik. Xiao Fan menggeleng. “Kamu boleh menangis,” kata Ji Chen, suaranya hampir memohon.

Xiao Fan menatap ayahnya lumayan lama. Lalu berkata, pelan, hampir tidak terdengar, “Kalau diam… Mama tidak marah.” Kalimat itu menghantam Ji Chen lebih keras daripada tamparan apa pun.

Malam itu, Feng Niu pulang dengan wajah lelah. Ji Chen menunggunya di ruang tamu. “Kita perlu bicara,” katanya dingin.

“Bicarakan apa?” Feng Niu melepas sepatu, jelas tidak tertarik.

“Tentang Xiao Fan.”

Feng Niu mendengus. “Aku capek. Jangan mulai.”

“Kamu memukulnya.” Kalimat itu jatuh pelan, tapi berat. Feng Niu berhenti bergerak. “Aku tidak—”

“Aku lihat bekasnya.”

Sunyi.

Beberapa detik berlalu sebelum Feng Niu tertawa pendek. “Itu cuma tamparan kecil. Anak juga perlu didisiplinkan.”

Ji Chen berdiri. “Dia masih anak kecil.”

“Aku kesal,” Feng Niu membalas tajam. “Dan itu gara-gara kamu.”

Kalimat itu memutus sesuatu di dalam diri Ji Chen.

“Jangan jadikan anak sebagai pelampiasan,” katanya, suaranya rendah, berbahaya.

Feng Niu menatapnya dengan mata dingin. “Kalau kamu tidak puas, ajukan cerai saja.” Ji Chen tidak menjawab.

Namun malam itu, untuk pertama kalinya, kata cerai tidak terdengar seperti ancaman kosong. Ia terdengar seperti kemungkinan nyata.

Dan di kamar sebelah, Xiao Fan duduk memeluk bantalnya, mendengar suara-suara itu menembus dinding.

Ia tidak menutup telinga. Ia hanya diam. Karena ia sudah belajar dan diam adalah cara paling aman untuk bertahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!