Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anna Sadar
Malam semakin pekat di luar jendela IGD, hanya ditemani suara hujan tipis dan lampu koridor yang redup. Namun di dalam ruangan kecil bernomor 17 itu, suasananya jauh lebih sunyi dan tegang daripada malam di luar.
Anna terbaring pucat di ranjang, infus menancap di punggung tangannya yang dingin. Selimut rumah sakit menutupi tubuhnya yang tampak susut setelah tiga hari penuh tekanan. Gema duduk di sofa sempit dekat dinding, sementara Liam berada di kursi kecil di samping ranjang—keduanya sama-sama terlalu lelah untuk bicara.
Awalnya semuanya tenang. Monitor detak jantung berdenting pelan dengan ritme yang stabil. Tapi tak lama kemudian, suara pelan memecah kesunyian.
“…maaf… saya… bisa kerja lebih keras… tolong jangan… singkirkan saya…”
Gema sontak membuka mata. Ia langsung duduk dan menatap Anna yang kini menggeliat gelisah. “Anna?”
Tubuh Anna bergerak, seolah berusaha melindungi diri dalam mimpi buruk yang hanya dia yang mengerti. Keringat muncul di pelipisnya. Matanya terpejam kuat, bibirnya bergetar.
Liam ikut mendekat, meski gerakannya berat oleh kelelahan. “Dia kenapa?”
“Ngigau,” jawab Gema lirih.
Anna kembali meracau, kali ini lebih terisak.
“Saya butuh kerja ini… saya janji… saya nggak ulangi lagi… mohon…”
Keduanya terdiam.
Gema menunduk, matanya berkaca-kaca. “Lihat…” ujarnya lirih.
Liam tidak menjawab. Tapi sorot matanya berubah. Tidak lagi tajam, tidak lagi dingin—melainkan seperti seseorang yang baru melihat luka yang ia tidak tahu pernah ia buat.
Anna merintih lagi, bahunya naik turun seperti sedang menahan nangis.
“Saya… m-maaf… saya bisa lebih baik… saya bisa…”
Gema berdiri, berjalan mendekat ke Liam. Tidak ada amarah kali ini, hanya sebuah kalimat yang keluar dengan nada berat. “Besok lo harus bersikap lebih soft ya.”
Liam masih menatap Anna. “Iya… gue paham.”
“Gue tau lo keterlaluan,” lanjut Gema sambil mengusap wajahnya sendiri. “Syukur kalau lo sadar. Lihat anak orang sampai tidur aja nggak tenang gara-gara lo.”
Tidak ada yang membantah. Liam bahkan tidak mengangkat kepala. Tatapannya terpaku pada Anna yang kini terisak tanpa sadar, memohon pada seseorang yang bahkan tidak berada dalam mimpinya.
Untuk beberapa detik, tidak ada percakapan. Hanya Gema yang berdiri dengan napas berat, dan Liam yang duduk menatap anak magang itu seolah baru menyadari sesuatu yang lebih besar daripada seluruh rapat, target, atau ego jabatan yang ia punya.
Anna kembali meracau. “…jangan singkirkan saya… saya masih mau coba…”
Tangannya bergerak lemah, seakan meraih sesuatu yang tidak ada.
Perlahan, Gema meletakkan tangan di bahu Liam. Bukan untuk menguatkan, tapi untuk memastikan bahwa Liam benar-benar melihat apa yang terjadi.
Liam hanya mengangguk kecil. Tidak ada penjelasan. Tidak ada pembelaan. Hanya anggukan pelan yang menandakan bahwa ia sudah melihatnya—dan itu cukup.
⸻
PAGI HARI
Sinar matahari pagi menyusup masuk melalui kaca kecil di sudut ruangan. Cahaya itu jatuh di lantai putih dan naik ke ranjang tempat Anna terbaring. Udara pagi membawa ketenangan yang tidak ada semalaman.
Anna perlahan membuka mata.
Dunia terasa aneh—bau antiseptik, suara monitor, lampu fluorescent, dan dinding putih yang tidak familiar. Tubuhnya masih terbaring berat, kepalanya berputar ketika mencoba bangun. Ia mendesah lemah, lalu memaksa membuka mata lebih lebar.
Dan yang pertama ia lihat…
Adalah Gema, terlelap miring di sofa kecil dengan lengan sebagai bantal. Rambutnya berantakan, kemejanya kusut, wajahnya terlihat sangat lelah.
Lalu ia menoleh sedikit ke kiri… dan hampir terkejut.
Liam tertidur dengan kepala menunduk, satu tangan menggantung di sisi kursi. Posisinya tampak tidak nyaman—kursi itu terlalu kecil untuk tubuhnya—namun ia tidak bergeser sejak entah jam berapa.
Anna mengerjap. Bingung. Terheran. Tidak yakin apakah ini mimpi lain yang aneh atau kenyataan.
Ia mencoba mengingat.
Ia ingat ruangan kantor yang penuh kertas. Ingat suara Liam yang menyuruhnya memperbaiki dokumen berkali-kali. Ingat rasa pusing luar biasa. Ingat langkahnya yang gontai keluar dari ruang kerja Liam. Ingat dunia berputar.
Lalu gelap.
Dan sekarang… mereka ada di sini?
Anna menelan ludah, tenggorokannya kering. Tangan kanannya bergerak menyentuh infus. Ia menarik napas pelan.
“Kenapa aku di sini…?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Suaranya cukup kecil, tapi cukup untuk membuat Gema bereaksi. Ia membuka mata perlahan, tampak masih separuh sadar. Ketika matanya menangkap wajah Anna, ia langsung duduk tegak.
“Anna? Oh syukurlah kamu bangun!”
Liam terbatuk kecil, tersadar oleh suara Gema. Ia membuka mata dan sejenak tampak bingung. Tapi ketika melihat Anna menatap mereka, ia tegak seketika. Suasana canggung menyergap ruangan dalam sekejap.
Anna menunduk cepat—refleks rasa takut yang sudah tertanam dalam tiga hari terakhir. Dahinya berkerut, mulutnya terbuka tapi tidak ada kata yang keluar.
Gema cepat berdiri dan berjalan mendekat. “Hei, hei… nggak apa-apa. Kamu aman. Santai aja.”
Anna membuka mulut lagi. “Saya… saya kenapa…? Saya bikin masalah lagi, ya?”
Liam memalingkan wajah, jelas kalimat itu menusuknya.
Gema langsung menggeleng. “Nggak. Kamu cuma kecapekan. Dokter bilang kamu butuh istirahat penuh.”
Anna terdiam. “Saya… pingsan?”
“Iya,” jawab Gema lembut. “Tapi kamu aman.”
Mata Anna bergetar, menahan rasa malu dan syok. “Saya… merepotkan ya…?”
Gema hendak menjawab, tapi Liam lebih dulu angkat bicara. Suaranya datar, tapi tidak dingin seperti biasanya. “Nggak ada yang repot.”
Anna terkejut mendengar nada itu. Bukan karena agak lembut, tapi karena itu keluar dari Liam.
Gema melirik Liam sekilas, seolah mengingatkan: lo harus jaga nada lo.
Liam menarik napas pendek, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. “Istirahat saja dulu.”
Anna menatap mereka berdua, bingung. “Kenapa… kalian ada di sini?”
Pertanyaan itu menggantung lama.
Gema menatap Liam sebentar, lalu menjawab pelan, “Karena kamu butuh pengawasan. Dan… ya. Kamu bukan sendirian, An.”
Anna menunduk. Bibirnya gemetar pelan. “Maaf… kalau saya… ngerepotin.”
“Kamu nggak ngerepotin,” potong Gema tegas.
Liam tidak bicara, tapi kepalanya sedikit menunduk, seolah mengiyakan meski tidak mengucapkannya.
Anna menatap kedua orang itu, lalu tiba-tiba air matanya jatuh tanpa ia cegah. Bukan menangis keras—hanya air mata mengalir pelan yang menunjukkan betapa letih dan takutnya ia selama ini.
Gema buru-buru mengambil tisu dari meja, menepuk lembut pipi Anna. “Udah, udah… kamu aman. Kamu istirahat. Ga ada yang ngejar kamu. Ga ada.”
Anna mencengkeram selimut. “Saya… saya takut… saya cuma mau kerja…”
Liam memejamkan mata sejenak.
Ini bukan mimpi buruk. Ini kenyataan. Tapi untuk pertama kalinya sejak tiga hari lalu—Anna dikelilingi bukan oleh tekanan, melainkan oleh manusia yang akhirnya melihatnya sebagai manusia.
Dan meski tidak diucapkan keras-keras…
Suasana pagi itu menyiratkan satu hal:
Sesuatu di kantor Sovereign sedang berubah—dan perubahan itu dimulai dari seorang anak magang yang hampir tumbang, dan dua pria yang akhirnya belajar bahwa ketegasan bukan berarti menghilangkan belas kasih.