Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Sore ini, langit mulai berwarna jingga ketika Ustadz Fathur duduk di ruang tengah rumahnya. Beberapa lembar berkas sudah tersusun rapi di atas tikar: fotokopi KTP, kartu keluarga miliknya sendiri, surat keterangan belum menikah, dan map cokelat yang sengaja ia beli siang tadi.
Ia menarik napas panjang.
“KK sudah ada… KTP aman… tinggal wali,” gumamnya lirih.
Soal wali itulah yang sejak siang terus berputar di kepalanya. Ia memang sudah punya kartu keluarga sendiri... sejak dinyatakan mandiri secara administrasi setelah dewasa dan bekerja. Tapi untuk urusan pernikahan, ia tetap membutuhkan wali nikah yang sah. Dalam hal ini, Kyai Huda-lah yang paling pantas menurut adat, agama, dan rasa batinnya.
Ia memasukkan berkas ke dalam tas selempang kecil peninggalan ayahnya. Tas yang sama yang dulu menyelamatkan cincin ibunya. Tas itu tetap terjaga sebagai kenang-kenangan dari orang tuanya meski tas itu sudah terlihat rapuh.
***
Di pondok, suasana sore cukup ramai. Beberapa santri lalu-lalang, sementara di serambi rumah Kyai Huda tampak beberapa anggota keluarga beliau yang tinggal di lingkungan pondok.
Ustadz Fathur menunduk sopan saat menyapa.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Tadz.”
Ia dipersilakan duduk. Tak lama, obrolan pun mengalir... awalnya biasa. Sampai salah satu kerabat Kyai Huda membuka suara dengan nada ragu.
“Ustadz,” ucap seorang ibu paruh baya, menatapnya lekat, “apa tidak terlalu terburu-buru menikah dengan orang yang baru dikenal?”
Ustadz Fathur terdiam sejenak. Tangannya mengepal pelan di atas lutut.
Seorang yang lain menyusul, nadanya lebih tajam walau dibungkus senyum tipis. “Iya… kasihan loh Neng Azwa. Dia itu dari dulu dijaga perasaannya. Banyak yang tahu kalau dia berharap bisa menikah dengan Ustadz.”
Kalimat itu seperti mengetuk-ngetuk dadanya.
Belum selesai, suara lain kembali menyambar.
“Apalagi Ustadz besar di sini. Kyai Huda yang mengurus, membesarkan, mendidik. Jasanya besar sekali. Masa Ustadz memilih orang luar yang baru pindah ke kampung ini?”
Hening.
Ustadz Fathur menunduk lebih dalam. Bukan karena takut... tapi karena menghormati. Ia menarik napas, lalu mengangkat wajahnya perlahan.
“Mohon maaf,” ucapnya tenang, suaranya rendah namun jelas. “Saya paham semua yang panjenengan sampaikan.”
Ia berhenti sejenak, memastikan suaranya tidak bergetar.
“Saya tidak pernah melupakan jasa Kyai Huda. Tidak sedetik pun. Beliau orang tua saya, guru saya, dan tempat saya pulang. Sampai kapan pun itu tidak berubah.”
Beberapa pasang mata menatapnya lebih serius.
“Dan tentang Neng Azwa…” lanjutnya pelan. “Demi Allah, saya tidak pernah mengikat harapan apa pun pada beliau. Tidak pernah mengucap janji, tidak pernah memberi isyarat. Di hati saya, beliau adalah adik. Sampai sekarang, tetap adik.”
Nada suaranya tegas, bukan defensif.
“Saya tidak menikah karena terburu-buru. Saya menikah karena yakin. Keyakinan itu saya bawa dalam doa, istikharah, dan pertimbangan panjang. Ini bukan soal orang kota atau orang kampung. Ini soal amanah hidup.”
Ia menunduk lagi.
“Kalau niat ini salah, saya siap ditegur. Tapi jika ini benar, saya mohon untuk tidak dipatahkan hanya karena asumsi.”
Sunyi kembali menyelimuti serambi.
Tak lama kemudian, langkah pelan terdengar. Kyai Huda keluar dari dalam rumah. Wajah beliau teduh, sorot matanya dalam.
“Apa yang sedang dibicarakan?” tanyanya lembut.
Ustadz Fathur bangkit setengah berdiri, menunduk hormat. “Maaf, Yai. Saya datang untuk meminta izin sekaligus membicarakan wali.”
Kyai Huda menatapnya lama... bukan dengan marah, tapi dengan pandangan seorang ayah yang sedang menimbang keikhlasan anaknya.
“Apa kamu benar-benat yakin, Thur?” tanya beliau pelan.
Dari kemarin ada harapan kalau Ustadz Fathur tidak benar-benar dengan ucapannya. Apalagi ketika menyadari kalau waktunya berbicara dengan Azwa belum waktunya.
Ustadz Fathur mengangguk tanpa ragu.
“Insya Allah, Yai. Saya yakin. Dan saya siap bertanggung jawab.”
Kyai Huda menghela napas, lalu menepuk pundak Ustadz Fathur dengan penuh makna.
“Kalau begitu… kita bicarakan baik-baik. Soal wali, soal waktu, dan soal semuanya.”
Ustadz Fathur menunduk lebih dalam.
“Terima kasih, Yai.”
Di dalam dadanya, masih ada getar... tapi niatnya tak goyah.
Kyai Huda mempersilakan semua duduk kembali. Suasana sore yang semula hangat berubah menjadi lebih serius. Ustadz Fathur duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertaut di pangkuan, menunggu apa pun keputusan orang yang sejak kecil ia anggap sebagai ayahnya sendiri.
Kyai Huda membuka pembicaraan dengan suara tenang, berwibawa.
“Baik. Kita bicarakan satu per satu.”
Beliau menoleh pada Ustadz Fathur terlebih dulu.
“Soal wali. Karena orang tua kandungmu sudah wafat dan tidak ada wali nasab yang jelas keberadaannya, maka secara syariat wali hakim bisa dipakai. Tapi…” Kyai Huda berhenti sejenak. “Kalau kamu berkenan, aku bersedia menjadi wali atau mewakilkan urusan itu sesuai ketentuan KUA. Walaupun sebenarnya seorang laki-laki tidak wajib membawa wali. Tapi supaya tetap ada yang mewakilkan keluargamu.”
Ustadz Fathur langsung menunduk dalam-dalam.
“Bagi saya itu kehormatan besar, Yai. Saya mohon ridho panjenengan.”
Kyai Huda mengangguk pelan. “Lalu soal waktu. Kamu ingin dipercepat?”
“Iya, Yai. Bukan karena tergesa, tapi karena menjaga. Keadaan di kampung calon istriku juga menuntut kejelasan,” jawab Ustadz Fathur jujur.
Kyai Huda kembali mengangguk. “Kalau begitu, kita tidak berlama-lama. Administrasi bisa segera diurus. Aku sendiri…” beliau menarik napas, “…akan berkunjung malam ini ke rumah keluarga perempuan. Aku ingin bicara langsung dengan ayahnya. Kamu boleh ikut untuk memastikan lagi.”
Ucapan itu membuat Ustadz Fathur terkejut sekaligus lega.
“Malam ini, Yai?”
“Iya. Supaya jelas, supaya tidak ada prasangka.”
Namun belum sempat suasana mencair, salah satu kerabat Kyai Huda kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih keras.
“Abi, apa tidak sebaiknya dipikirkan lagi?” ujar seorang paman Azwa. “Azwa itu putri Abi sendiri. Kita semua tahu perasaannya.”
“Iya, Bi,” sambung yang lain. “Orang-orang di pondok sudah mengira Fathur akan jadi menantu di sini. Ini bisa jadi omongan.”
Kyai Huda menoleh. Tatapannya tidak meninggi, tapi cukup membuat ruangan kembali hening.
“Aku paham semua kekhawatiran kalian,” ucapnya perlahan. “Tapi pernikahan bukan hadiah atas jasa. Dan jodoh bukan perkara siapa yang paling lama berharap.”
Beliau menautkan jari-jarinya.
“Azwa adalah anakku. Aku bertanggung jawab atas perasaannya. Tapi aku juga bertanggung jawab untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.”
Kerabat itu hendak menyela, namun Kyai Huda mengangkat tangannya pelan.
“Kalau Fathur memilih karena iman dan keyakinan, aku tidak berhak menghalangi. Tugasku sebagai orang tua adalah mengarahkan, bukan mengikat.”
Beberapa wajah terlihat tidak puas. Bisik-bisik kecil mulai terdengar, jelas menunjukkan ketidaksetujuan yang belum padam.
Ustadz Fathur menunduk lagi. Dadanya terasa sesak... bukan karena ragu, tapi karena beban rasa tidak enak yang tak bisa ia hindari.
Kyai Huda menoleh padanya.
“Fathur,” katanya lembut namun tegas, “jika kamu ragu karena ini, katakan sekarang.”
Ustadz Fathur mengangkat wajahnya. Sorot matanya mantap. “Saya tidak ragu, Yai. Saya hanya takut menyakiti. Tapi saya lebih takut mengingkari keyakinan saya sendiri.”
Kyai Huda tersenyum tipis. “Itu jawaban yang jujur.”
Beliau berdiri perlahan. “Baik. Malam ini aku akan ke rumah Pak Hadi. Kalian yang lain, aku minta doanya. Setuju atau tidak, biarlah waktu yang melapangkan.”
Kerabat Kyai Huda hanya bisa saling pandang. Ketidaksetujuan masih jelas di wajah mereka, namun keputusan itu sudah diambil.
Sementara Ustadz Fathur, di dalam diamnya, kembali berdoa: "Ya Allah, jika ini baik, mudahkan. Jika ada hati yang terluka, kuatkan mereka."
***
Malam turun pelan di kampung itu. Jam dinding di ruang tengah rumah Pak Hadi baru saja menunjukkan pukul delapan lebih beberapa menit ketika suara salam terdengar dari luar.
“Assalamualaikum.”
Pak Hadi bangkit lebih dulu. Dadanya ikut berdebar tanpa sebab yang jelas. Begitu pintu dibuka, ia langsung berhadapan dengan seorang lelaki hampir seumuran dengannya, berwajah teduh, berjenggot tipis, didampingi seorang perempuan bersahaja dan Ustadz Fathur di samping mereka.
“Waalaikumsalam… monggo, Pak Yai,” ucap Pak Hadi spontan, seolah lidahnya sudah lebih dulu mengenali.
Kyai Huda tersenyum, lalu mengulurkan tangan.
Saat kedua telapak itu bertemu, ada jeda sepersekian detik. Tatapan mereka saling mengunci... hangat, tenang, seperti dua orang lama yang akhirnya dipertemukan, meski sejatinya belum pernah bersua.
“Sehat, Pak?” tanya Kyai Huda lembut.
“Alhamdulillah. Panjenengan juga kelihatan sehat,” jawab Pak Hadi, suaranya mantap.
Bu Maryam menyusul, menyalami Ummi Maysaroh dengan penuh hormat. “Monggo, Ummi. Silakan masuk.”
Aira yang sejak tadi mengintip dari balik pintu kamar langsung menelan ludah.
Deg.
Dadanya berdetak lebih cepat. Lengkap sudah, batinnya.
Mereka duduk di ruang keluarga. Suasana hening sesaat, sebelum Kyai Huda membuka pembicaraan.
“Saya datang ke sini sebagai orang tua Fathur,” ucapnya pelan. “Sekaligus ingin menyampaikan niat baiknya secara lebih resmi.”
Pak Hadi mengangguk. “Silakan, Pak Yai. Kami terbuka.”
Kyai Huda menoleh pada Ustadz Fathur sejenak, lalu kembali ke Pak Hadi. “Fathur sudah menyampaikan niat menikah dengan putri panjenengan. Saya ingin memastikan semuanya jelas... niat, waktu, dan caranya.”
Pak Hadi menatap istrinya sebentar, lalu kembali ke Kyai Huda. “Kami sudah menerima niat itu, Pak Yai. Selama tujuannya baik dan jelas, kami ridho.”
Bu Maryam ikut mengangguk. “Kami hanya ingin anak kami dibimbing dengan sabar.”
Ustadz Fathur menunduk dalam. “Insya Allah, Bu.”
Kyai Huda tersenyum tipis, wajahnya terlihat lega.
“Soal waktu,” lanjutnya, “kami sepakat untuk tidak berlama-lama. Bagaimana jika satu minggu lagi?”
Bu Maryam sedikit terkejut, sementara Aira di balik pintu refleks memegangi dadanya sendiri. Ya Allah, seminggu…
Pak Hadi justru mengangguk mantap. “Baik. Kami setuju.”
Ustadz Fathur menarik napas, lalu memberanikan diri bicara. “Jika diizinkan, Pak… Pak Yai… saya ingin ijab kabul dilaksanakan di masjid pondok,” ucapnya hati-hati. “Sedangkan untuk resepsi sederhana, di rumah ini saja. Saya ingin memuliakan tempat keluarga Aira.”
Pak Hadi tersenyum kecil. “Masjid pondok tempat Ustadz mengabdi, itu kehormatan. Dan rumah ini… rumah kami terbuka.”
Kyai Huda mengangguk penuh makna. “Itu keputusan yang baik.”
Ummi Maysaroh yang sejak tadi diam ikut bersuara lembut. “Semoga Allah mudahkan semuanya.”
Di sudut rumah, Aira akhirnya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Campur aduk. Panik. Deg-degan. Malu. Tapi entah kenapa… ada rasa hangat yang pelan-pelan menyusup ke dadanya.
Di ruang keluarga, para orang dewasa terus membicarakan hal-hal teknis... berkas, wali, dan adat sederhana.
Sementara satu gadis di balik pintu kamar sedang belajar menerima bahwa hidupnya benar-benar akan berubah… dalam hitungan hari.
***
Bu Maryam berdiri menghampiri kamar Aira. Dia mengetuk pelan pintunya dan berkata... “Aira… keluar dulu. Sini gabung.”
Dari balik pintu terdengar langkah malas, disusul wajah Aira yang muncul setengah badan. Rambutnya terikat seadanya, kaos panjang menutup sampai paha, wajahnya masih menyimpan sisa gugup dan overthinking yang belum habis.
“Iya, Ma…” gumamnya.
Aira melangkah ke ruang tamu. Begitu ia berdiri di bawah lampu ruang tamu, Kyai Huda yang sejak tadi duduk tenang tiba-tiba tersentak.
Dadanya bergetar.
Wajah itu…
Bentuk mata, lekuk bibir, bahkan cara berdirinya.
“Ibu…” gumam Kyai Huda lirih, nyaris tak terdengar.
Ummi Maysaroh langsung menoleh cepat.
“Abi?”
Bersambung