"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Bani dan Rania
“Naura.” panggil Gus Atheef lembut.
Naura menoleh. “Iya, Gus?”
“Beberapa bulan lagi kamu lulus sekolah. Kamu sudah punya rencana setelah itu?”
“Aku ingin kuliah, Gus. Ingin meneruskan cita-citaku… atau mungkin cita-cita Mama.”
“Fashion designer?”
Naura tersenyum. “Betul.”
“Selain itu? Kamu pernah terpikir untuk menikah muda?” tanyanya hati-hati.
“Me-menikah, Gus?” Naura menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Menikah sama siapa? Aku kan masih kecil begini. Siapa yang mau sama aku?”
“Aku.” jawab Gus Atheef pelan. “Aku ingin menikah dengan kamu. Dan aku menunggumu lulus.”
Deg!
“Aku nggak salah dengar, Gus?”
“Tidak.” Gus Atheef berbalik, seolah ingin mengakhiri pembicaraan. “Lupakan saja. Aku akan menunggu momen itu.”
Setelah mengatakan itu, Gus Atheef pergi, meninggalkan Naura yang masih terdiam bingung.
“Kenapa sih dia? Pasti bercanda, kan? Iya, nggak mungkin Gus Atheef serius. Kita teman sejak kecil, kok!”
Naura menempelkan telapak tangan di dadanya. Jantungnya terasa berdetak jauh lebih cepat.
“Kenapa jantungku begini sih?”
Naura memang merasa nyaman berada di dekat Gus Atheef. Dalam hatinya ia berharap, jika suatu hari ia menikah, laki-laki itu harus seperti Gus Atheef—baik, salih, bertanggung jawab, mandiri, pintar. Tapi Naura tidak pernah menyadari bahwa ia sebenarnya menyimpan perasaan lain terhadap teman kecilnya itu. Ia selalu menganggapnya hanya sebatas sahabat, padahal usia mereka terpaut enam tahun.
Keluarga Naura dan keluarga Gus Atheef sudah saling mengenal sejak lama. Almarhumah mama Naura, Rania Putri, bersahabat dengan Umi Nafisah—ibu dari Gus Zayyan Atheef Alhaidar. Rania adalah adik tingkat Umi Nafisah saat mereka kuliah.
Naura bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Umi Nafisah. Dulu, Nafisah yang menjodohkan Rania dengan Bani Atmaja—keponakan dari ibu mertuanya. Bani adalah pengusaha sukses. Suami Nafisah, Zaki Alhaidar, dan Bani adalah sepupu.
Bani dan Rania akhirnya menikah, dan Naura lahir di tahun ketiga pernikahan mereka.
***
18 Tahun yang Lalu
Rania sedang mengandung anak pertamanya. Ia dan Bani sudah menunggu kehadiran buah hati selama dua tahun lebih. Kini usia kehamilannya menginjak empat bulan.
“Alhamdulillah ya, Mas. Penantian kita terbayar,” ucap Rania sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit.
“Iya, sayang. Terima kasih sudah mau mengandung anak kita.”
“Mas... aku yang seharusnya bersyukur punya Mas. Mas selalu sabar menunggu, dan selama aku hamil, Mas jadi suami siaga. Masya Allah, entah kebaikan apa yang sudah aku lakukan sampai dipertemukan dengan Mas.”
“Wah, Mas jadi tersanjung.” pipi Bani memerah.
Meski dijodohkan, saat pertama kali melihat Rania, jantung Bani langsung berdebar. Tanpa banyak berpikir, ia melamarnya. Rania bukan tipe perempuan yang mau pacaran—keluarganya cukup agamis, begitu pula keluarga Bani. Ibunya Bani adalah anak seorang kyai.
“Kamu maunya anak perempuan atau laki-laki, Mas?”
“Apa saja, asal kamu dan bayi sehat. Tidak masalah laki-laki atau perempuan.”
“Kalau perempuan, aku ingin menjodohkannya dengan Gus Atheef.”
“Anaknya Mbak Nafisah?”
“Iya. Kamu lihat, Gus Atheef masya Allah banget. Baru enam tahun tapi hafalannya banyak.”
“Sayang… Anak kita saja belum lahir, kamu sudah bahas perjodohan.”
“Aku cuma ngomong, Mas. Siapa tahu kalau anak kita dewasa nanti, aku sudah tidak ada.”
“Hush! Jangan bicara begitu. Mas nggak suka.”
“Iya maaf… Tapi kalau aku meninggal nanti… Mas akan menikah lagi?”
“Tidak.” jawab Bani dingin.
“Kenapa?”
“Cinta dan hidup Mas hanya untuk kamu, Rania sayang.”
“Kalau aku yang memintanya bagaimana?”
“Sudah, jangan dipikirkan. Mas yakin kamu akan menemani Mas sampai tua.”
Rania tersenyum, menikmati momen itu. Entah kenapa, ada perasaan samar seolah ia akan pergi meninggalkan suaminya.
***
Bani dan Rania baru selesai USG. Wajah mereka berbinar mengetahui jenis kelamin sang calon bayi.
“Mas senang punya anak perempuan?”
“Alhamdulillah, Mas sangat senang. Itu yang Mas harapkan—anak kita pasti cantik seperti Bundanya.”
“Bukannya biasanya suami ingin anak laki-laki?”
“Kata siapa? Mas ingin anak perempuan—biar Mas bisa lihat kamu versi sachet.”
“Mas ada-ada saja.”
Canda mereka membuat keduanya lupa fokus pada jalan.
“Mas, awaaass!”
Seorang perempuan dan anaknya hendak menyeberang. Bani dengan sigap mengerem. Tangan kirinya menahan tubuh Rania agar tidak terbentur dashboard.
“Maaf, sayang. Kamu gapapa kan?”
“Tidak, Mas. Ayo kita turun, lihat mereka.”
Mereka turun. Bani membantu Rania untuk turun.
“Maaf, Mbak. Kami tidak sengaja. Ada yang luka?”
Perempuan itu mengangkat wajahnya. “Tidak apa-apa. Kami yang salah karena menyeberang tiba-tiba.”
Rania terlihat berpikir, wajah perempuan itu terasa tidak asing. “Mbak Laras, bukan?”
Perempuan itu mengernyit. “Iya betul, saya Laras." Laras pun sama seperti mengenalnya namun ia tidak ingat siapa.
“Ya ampun! Mbak ingat aku? Aku Rania.”
Laras menatapnya lebih lama. “Kamu… putri bungsu Tante Ratna?”
“Iya mbak!"
Rania langsung memeluk Laras. “Masya Allah, kita dipertemukan di sini.”
“Iya. Terakhir kita bertemu waktu kamu SMP kan?”
“Iya, sudah lama.”
“Aku sampai tidak kenal kamu, sudah banyak berubah— kamu tambah cantik.”
“Hehehe, masih sama kok mbak."
“Ini anak mbak ya? Namanya siapa?" Tanya Rania sambil mengelus kepala anak Laras.
“Iya Ran. ini anakku. Ayo salim sama Tante Rania.”
Ameera menyalami Rania. "Aku Ameera tante."
"Waahh, nama yang bagus." Rania beralih ke Bani, ia hampir lupa mengenalkan suaminya. “Oh iya, ini suamiku, Mas Bani Atmaja.”
“Oh, kamu sudah menikah. Selamat ya Ran."
“Sudah tiga tahun mbak."
“Sayang, mungkin lebih baik kita tidak berdiri di jalan.” kata Bani pelan.
“Oh iya, maaf—aku terlalu senang.”
“Ayo makan bersama. Sudah siang, kamu pasti lapar, sayang. Anak kita butuh nutrisi, sayang."
"Iya Mas.. ayo mbak, Ameera kita makan dulu."
“Aduh, aku takut merepotkan—”
“Tidak apa-apa, Mbak. Yuk sayang, kita makan dulu." Rania tersenyum dan menggandeng Ameera yang terlihat sangat senang bisa naik mobil bagus.
Mereka makan di restoran khas Indonesia yang punya mini playground. Ameera begitu bahagia bermain.
“Ameera senang ya, Mbak?”
“Iya, dia jarang sekali bisa bermain di tempat seperti ini.”
“Kalau boleh tahu, Mbak ke Jakarta untuk apa? Kerja di sini?”
“Aku sedang mencari pekerjaan. Belum tahu kerja apa.”
“Sekarang mbak tinggal di mana?”
Laras terdiam. Ia tinggal di kontrakan petak yang kumuh—hanya itu yang mampu ia bayar.
“Ada kok, Ran. Agak jauh.”
Waiters pun datang, membawa makanan.
Laras memanggil Ameera untuk makan dulu meskipun ia masih ingin bermain namu perutnya juga sangat merasa lapar.
“Ameera, ayo makan.”
"Wah sepertinya enak ya bun?"
"Iya sayang... yuk makan. Biar tante ambilkan ya!"
Rania mengambil makanan untuk Laras dan juga Ameera.
Bani menyiapkan makanan untuk Rania. Rania sangat menyukai gurame asam manis. Dan Bani tanpa bertanya memesan itu semua.
"Terimakasih Mas, kamu emang yang terbaik. Tau aja kesukaan aku."
"Sudah ayo, cepat makan. Kasian anak kita kalau mamanya suka telat makan."
"Iya Mas. Terimakasih ya, sudah dipisahin tulangnya."
Kebiasaan Bani yang membuat Rania mamin cinta adalah, selalu memisahkan duri dari dagingnya untuk Rania.
Laras yang melihat momen suami istri itu merasa hatinya teriris. Ia merasa iri, bukan karena ia tidak suka melihat kebahagiaan Rania. Hanya.... nasibnya tidak sebaik Rania.
Pernikahannya kandas dan ia ditinggalkan oleh suaminya.
Tanpa sadar, Laras menitikkan air matanya namun dengan cepat ia menghapusnya.
"uhuk uhuk uhuk." Ameera tersedak.
"Ya ampun nak, pelan-pelan makannya." Laras memberikan Ameera minum.
“Habisnya enak, Bun! Kapan lagi aku makan enak begini?”
Rania tertegun melihatnya. Hatinya mengatup. Ia mulai menyadari, kehidupan Laras jauh dari kata cukup.
Bani melihat raut istrinya mengendur. “Kenapa, sayang?”
“Tidak apa-apa, Mas.”
Namun Bani tahu—ada sesuatu di mata Rania yang belum siap ia ceritakan, menunggu momen yang pas.
Rania sejenak tertegun, ia merasa iba dengan Ameera yang sepertinya sudah lama tidak makan enak seperti itu.