Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan di ujung waktu
"Huek... huek..."
Cairan bening terus keluar dari mulut Calista, membuat tubuhnya lemas tak berdaya. Ia terduduk di lantai dingin, sementara suara air kran sengaja ia biarkan mengalir terdengar samar, menutupi suara muntahnya agar tak sampai keluar ruangan.
Sejak pulang sekolah tadi, perutnya terus memberontak dan kepalanya berdenyut hebat. Dengan sisa tenaga, ia berusaha bangkit, menyeret langkah rapuhnya keluar dari toilet. Begitu mencapai ranjang, ia langsung terhempas, menutup mata dengan napasnya terengah. Obat yang tadi diminumnya tak memberi efek apa-apa, rasa sakit itu justru makin menusuk tajam.
"Ya Tuhan... beri aku kekuatan sampai ujian selesai. Setelah itu, aku pasrahkan segalanya padamu..." bisiknya lirih dengan mata terpejam. Ia mencoba memaksa tubuhnya tertidur, berharap rasa sakit itu mereda seiring mimpi. Namun, kantuk tak kunjung datang. Sebaliknya, perutnya semakin melilit, kepalanya kian berputar.
Calista bangkit perlahan, namun langkahnya baru setapak ketika gelombang mual kembali menghantamnya.
"Huek... huek..."
Cairan itu lagi-lagi keluar, bercecer di lantai. Tubuhnya gemetar, kepalanya seperti dihantam ribuan jarum. Tak ada yang biasa ia lakukan selain menahan rasa sakit itu, di tengah rasa sakit yang kian menggerogoti.
Belum sempat ia menenangkan diri, dari arah ruang tamu terdengar keributan yang kembali pecah. Suara bentakan itu jelas menusuk telinganya.
"Mas, kamu apa-apaan sih!"
"Kamu tuh yang apa-apaan! Kamu selalu nuduh aku dengan wanita lain, padahal malah kamu yang dekat dengan pria lain!"
Suara Nathan membahana, keras dan penuh emosi.
"Mas... itu cuma rekan kerja waktu aku di Australia. Kita ketemu tanpa sengaja di cafe, hanya ngobrol sebentar. Itu saja!" Vero membela diri dengan suara bergetar.
"Itu saja? Hanya ngobrol ringan?" Nathan menekankan kalimatnya, rahangnya mengeras. "Sedangkan aku kerja mati-matian, kamu malah nuduh aku yang enggak-enggak, Vero!"
Dari atas tangga, Calista berdiri terhuyung-huyung. Matanya basah, menatap kedua orang tuanya yang kembali saling melukai dengan kata-kata. Air matanya jatuh tak terbendung. Ia benar-benar hancur. Semula ia berharap papa dan mamanya sudah berdamai, tapi ternyata semuanya masih sama, retak dan penuh luka.
Kepalanya kembali berdenyut hebat, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Pandangannya mulai kabur.
"Tidak... jangan sekarang..." gumamnya lemah.
Brugh!
Tubuh Calista ambruk, terhantam lantai dengan keras.
Kedua orang tuanya terbelalak, pertengkaran mereka seketika terhenti.
"Calista!" teriak Vero histeris, matanya melebar saat melihat darah mengalir dari hidung putrinya.
Nathan segera berlari menaiki tangga, tanpa pikir panjang langsung mengangkat tubuh Calista yang tak sadarkan diri.
"Sayang... bangun, Nak..." Vero memegang tangan putrinya yang terkulai, air matanya jatuh tak terkendali.
Tanpa menunggu, Nathan menggendong Calista dan bergegas keluar rumah. Suasana yang tadi penuh amarah kini berganti kepanikan dan ketakutan. Malam itu, rumah mereka hanya dipenuhi satu doa: semoga putri kecil mereka bisa diselamatkan.
•
•
Ban mobil Nathan berhenti dengan decitan keras di depan Unit Gawat Darurat. Dengan wajah pucat panik, ia segera keluar dari mobil sambil menggendong Calista yang tak sadarkan diri. Darah segar masih mengalir dari hidung gadis itu, membuat kaus Nathan berlumur darah.
"Dokter! Tolong anak saya!" teriak Nathan parau.
Perawat dan Dokter segera lari menghampiri. Mereka menaruh Calista di atas brankar, lalu mendorongnya ke dalam ruang darurat. Vero berusaha mengikuti, namun langkahnya tertahan oleh salah satu perawat.
"Ibu, mohon tunggu di sini. Kami akan lakukan yang terbaik," ucapnya tegas.
"Tidak! Saya harus ikut! Dia butuh saya!" Vero meraung, air matanya deras. Nathan menahan lengannya, meski wajahnya sendiri pucat ketakutan.
"Kita harus percaya pada mereka, Vero..." suaranya bergetar. Untuk pertama kalinya ia tak kuasa menyembunyikan rasa panik.
Lampu merah tanda operasi darurat menyala. Pintu ruang tindakan menutup rapat, meninggalkan Nathan dan Vero menunggu dengan cemas.
Vero menunduk, tangannya gemetar saat menutup wajah. "Mas... kalau sampai terjadi apa-apa pada Calista, aku tidak akan sanggup..." suaranya parau.
Nathan terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya. Selama ini mereka saling menyalahkan, saling melukai dengan prasangka, hingga lupa bahwa ada hati kecil yang lebih rapuh di antara mereka—Calista.
Waktu berjalan terasa lambat. Setiap detik terasa seperti siksaan. Hingga akhirnya, pintu ruang darurat terbuka, seorang dokter Rangga keluar dengan wajah serius.
Keduanya serentak berdiri. "Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Nathan dengan suara tercekat.
Sang dokter menahan napas panjang. "Kondisinya cukup kritis. Ada pendarahan hebat akibat tekanan di kepalanya. Kami sudah melakukan tindakan, tapi ia harus dirawat intensif. Mohon bersiap untuk segala kemungkinan."
Vero terisak, tubuhnya nyaris rubuh seandainya Nathan tidak menopang. Mata Nathan memerah, ia mengepalkan tangan menahan rasa sesak di dadanya.
"Apa kalian tidak tahu? Kondisi Calista semakin menurun drastis. Rambutnya juga mulai rontok." ucap Dokter Rangga dengan nada berat. Ia sendiri terlihat sulit menerima hasil pemeriksaan yang baru saja dilakukan.
"Rambut... rontok?" Vero bergumam lirih, wajahnya pucat.
Dokter Rangga mengangguk pelan. "Iya, rontok cukup banyak. Itu salah satu tanda bahwa tubuhnya semakin lemah. Saya khawatir ini sudah masuk tahap serius."
Vero menutup mulutnya, air matanya kembali pecah. "Tidak... anakku masih begitu muda, Dok..." suaranya bergetar.
Nathan yang sedari tadi diam, mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba menyangkal kenyataan pahit ini. "Dok... apa masih ada jalan lain? Obat lain? Atau...apapun yang bisa menyelamatkannya?" tanyanya dengan suara serak.
Dokter Rangga menarik napas panjang, menatap keduanya dengan sorot mata penuh iba.
"Kita akan lakukan semua yang terbaik untuk Calista," ucapnya pelan, seolah menimbang tiap kata. "Tapi saya juga harus jujur... yang dia butuhkan sekarang bukan sekadar obat. Dia butuh dukungan, semangat, kasih sayang dari kalian berdua." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara lebih serius, "Namun, untuk menyelamatkan hidupnya, ada satu jalan, transplantasi sum-sum tulang. Prosedur ini berisiko sangat tinggi, tapi bisa memberi harapan baru."
Kata-kata itu, membuat Nathan dan Vero saling berpandangan. Hening menggantung di antara mereka, seakan menyadarkan bahwa pertengkaran yang selama ini terjadi justru ikut meruntuhkan kekuatan putri mereka.
"Tulang... sum-sum?" suara Nathan serak, nyaris tak terdengar.
"Iya, Pak, Nathan," jawab Dokter Rangga. "Saat ini itu satu-satunya pilihan yang bisa kita upayakan."
"Tolong... ambil dari saya, Dokter. Saya rela apa pun demi Calista," Vero mendesak, suaranya bergetar menahan tangis.
Namun dokter menggeleng perlahan. "Maaf, Bu Vero. Kondisi kesehatan anda tidak memungkinkan. Jika dipaksakan, justru berbahaya bagi anda dan tidak optimal bagi Calista."
Nathan segera menyela, nadanya tegas meski matanya basah. "Kalau begitu saya saja, Dok. Uji saya... saya siap melakukan apa pun."
Dokter Rangga menatap Nathan beberapa detik, lalu mengangguk mantap. "Baiklah. Ikut saya ke ruangan laboratorium. Kita akan lakukan pemeriksaan kecocokan secepat mungkin."
Nathan mengepalkan tangannya, seakan baru saja menemukan celah kecil di tengah gelapnya jalan panjang. Vero terisak pelan, hatinya berdoa agar kali ini takdir berpihak pada putri mereka
••
Nathan duduk di kursi laboratorium, lengan kirinya sudah terikat dengan tali elastis. Seorang perawat mengambil sampel darahnya dengan hati-hati. Sementara itu, dokter Rangga memperhatikan layar komputer yang menampilkan data awal.
Vero berdiri tak jauh, kedua tangannya saling menggenggam erat hingga kuku jarinya memutih. Tatapannya tak lepas dari Nathan, seolah menggantungkan harapan terakhir di pundak lelaki itu.
Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Mesin analisis berbunyi lirih, menandakan hasil awal keluar. Dokter Rangga menghela napas panjang, menutup matanya sejenak sebelum menoleh ke arah mereka.
"Pak Nathan... saya minta maaf," ucapnya pelan. "Hasilnya tidak cocok."
Deg!
Kata-kata itu menghantam dada Nathan seperti palu godam. Ia menunduk, rahangnya mengeras, menahan teriakan kecewa yang hampir pecah.
"Tidak mungkin..." suara Vero bergetar. "Lalu bagaimana dengan Calista, Dok?"
Dokter Rangga menatap keduanya penuh iba. "Saya tahu ini sulit diterima, tapi kita masih bisa mencari donor lain melalui bank sum-sum tulang. Hanya saja... waktu yang kita miliki tidak banyak. Kondisi Calista semakin menurun. Perkiraan kami...mungkin hanya tersisa satu bulan."
Vero terisak, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nathan berdiri, menoleh pada jendela ruangan dengan pandangan kosong. Hatinya terbelah—di satu sisi ingin runtuh, tapi di sisi lain, ia tahu harus berdiri demi putrinya.
"Apa pun caranya, Dok...tolong temukan donor itu," ucap Nathan lirih tapi mantap. "Kalau tidak...biarkan saya yang mencari. Saya tidak akan diam sementara anak saya menunggu ajal."
Dokter Rangga hanya bisa menunduk. "Saya mengerti. Kita akan berusaha sekuat tenaga."
Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara monitor medis yang berdetak pelan—seakan menghitung mundur waktu yang tersisa bagi Calista.
jangan lupa Vote😭🫡🙏🥰