Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Harus Jujur
"Ini bukan hukuman, Bu. Ini adalah kesempatan,” lanjut Pak Zakaria. “Allah memberikan Ibu waktu untuk merenung, untuk melihat semua yang telah Ibu lakukan selama ini.”
“Ibu ingat Rika? Guru yang Ibu benci itu? Dia datang menjenguk Ibu, membawa buah, dan dia memaafkan Ibu tanpa syarat. Dia tidak punya dendam, Bu. Sementara Ibu? Ibu masih membiarkan dendam itu menggerogoti Ibu dari dalam.”
Pak Zakaria menghela napas. “Lihatlah kondisi Ibu. Apakah ini yang Ibu inginkan? Berhentilah membenci, Bu. Kalau Ibu terus memelihara kebencian dan dendam itu, Ibu tidak akan pernah sembuh. Hati Ibu harus dulu sembuh, Bu.”
Rosba mencoba berteriak. Ia ingin mengatakan bahwa Rika adalah musuh, Rika yang telah menghancurkan hidupnya dengan kepalsuan. Ia ingin mengatakan bahwa kunjungan Rika hanyalah sandiwara yang keji. Tapi ia tidak bisa. Ia hanya bisa mengerang, suara lemah yang hanya dipahami Rosba sendiri.
'Tidak! Aku belum selesai! Aku harus bangkit! Aku harus melihat kehancuran Rika!'
Pak Zakaria, salah mengartikan erangan Rosba sebagai tanda penolakan keras, hanya bisa menggeleng sedih.
“Ibu tahu, Rika sekarang sudah sukses di Bina Cendekia. Dia mendapatkan penghargaan. Dia mendapatkan kontrak yang baik. Itu semua berkat doa dan kerja kerasnya, Bu. Dan itu membuktikan bahwa kebencian Ibu tidak bisa mengalahkan rezeki yang sudah ditetapkan Allah.”
Mendengar kata sukses dan Bina Cendekia, mata Rosba seketika melebar. Sorot matanya dipenuhi api amarah yang tak terkendali. Ia mencoba meremas tangan Zakaria, isyarat untuk menghentikan pembicaraan itu, isyarat untuk menyerang Rika.
'Dia sukses karena curang! Dia harus jatuh! Aku harus menghubunginya! Aku harus membalas!'
Rosba mencoba mengeluarkan suara ‘telepon’, ‘dinas’ namun hanya bunyi ’uuurrrghh’ yang menyakitkan yang keluar. Ia menatap suaminya dengan putus asa.
“Ibu ingin minum? Atau Ibu merasa tidak nyaman?” tanya Pak Zakaria, salah mengartikan erangan itu sebagai permintaan fisik.
Rosba menutup matanya, mengakhiri percakapan itu. Ia kembali ke penjara batinnya, menyusun rencana penghancuran Rika. Di luar, Rika Nurbaya tengah merayakan kesuksesan yang tulus. Di dalam, Bu Rosba terkunci dalam dendam yang membusuk. Keduanya menjalani nasib yang sangat kontras.
****
Langit kota mulai berwarna jingga keemasan saat Rika Nurbaya memarkirkan motornya di depan sebuah kafe bernuansa vintage. Kafe yang dipilih Arya Dewandaru selalu menyajikan suasana tenang dan privasi, jauh dari keramaian dan gosip.
Rika masuk dengan hati ringan. Ia baru saja mendapatkan bonus tunjangan di SMA Bina Cendekia dan menyelesaikan program unggulan perdananya dengan sukses. Otaknya dipenuhi ide-ide baru; ia yakin Arya memanggilnya untuk mendiskusikan dana tambahan bagi program beasiswa tahun berikutnya, atau mungkin meluncurkan inisiatif baru. Rika sama sekali tidak memiliki firasat lain.
Ia melihat Arya sudah duduk di sudut kafe, di dekat jendela besar yang memperlihatkan kerlip lampu jalan. Arya mengenakan kemeja biru muda yang rapi, tampak santai namun elegan. Ia berdiri saat Rika mendekat, sebuah gestur sopan yang selalu Rika hargai.
“Selamat sore, Bu Rika,” sapa Arya, matanya memancarkan kehangatan yang familiar.
“Sore, Pak Arya. Maaf, saya sedikit terlambat, tadi ada rapat guru sebentar,” jawab Rika, menarik kursi di hadapannya.
“Tidak masalah. Saya sudah pesan kopi untukmu, semoga kamu suka,” kata Arya, menunjuk cangkir kopi latte yang masih mengepul.
“Terima kasih banyak, Pak Arya. Wah, latte favorit saya,” Rika tersenyum, merasa nyaman.
Mereka berbasa-basi sebentar mengenai kesuksesan program debate and public speaking di Bina Cendekia. Rika antusias menjelaskan peningkatan kepercayaan diri murid-muridnya. Arya mendengarkan dengan penuh perhatian, namun Rika merasa ada sedikit kegugupan yang tidak biasa dari pria itu.
“Jadi, Pak Arya, apa yang ingin kita bahas hari ini? Apakah tentang dana beasiswa untuk semester depan? Atau Bapak punya ide lain untuk program literasi?” Rika bertanya, langsung ke inti permasalahan.
Arya tersenyum, namun senyumnya kali ini sedikit kaku. Ia menyesap kopinya, dan matanya menatap Rika dengan intensitas yang berbeda dari biasanya.
“Rika,” Arya memulai, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Malam ini, bukan tentang Bina Cendekia. Malam ini… tentang kita.”
****
Rika mengerutkan kening. “Tentang kita? Maksud Bapak, tentang kerja sama profesional kita?”
Arya menggeleng perlahan. Ia meletakkan cangkir kopinya, mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Keheningan singkat menyelimuti mereka, hanya dipecah oleh musik jazz yang lembut.
“Rika, sejak pertama kali aku bertemu denganmu di pinggir jalan itu, saat motormu mogok—dan saat kamu dengan berani berdiri menghadapi mantan mertuamu di gerbang sekolah—aku sudah melihat sesuatu yang berbeda dalam dirimu.”
Rika terpaku. Ia merasakan darahnya berdesir. Ini mulai terasa tidak seperti diskusi bisnis.
“Aku melihat seorang wanita yang punya martabat tinggi. Yang sangat tulus dalam profesinya. Yang dihantam habis-habisan oleh hidup, tapi bangkit dengan integritas yang utuh.” Arya bicara perlahan, setiap kata terasa bermakna.
“Semua intrik Bu Rosba, semua hinaan mantan mertuamu—aku tahu semuanya. Aku bukan hanya mengawasimu sebagai rekan donatur, Rika. Aku mengawasimu sebagai seseorang yang… peduli secara personal.”
Arya menarik napas dalam-dalam, matanya tidak berkedip. Ia mengumpulkan keberanian.
“Aku menyukaimu, Rika. Aku sudah lama menyukaimu.”
****
Rika terperanjat. Ia benar-benar tidak menyangka. Wajahnya seketika memanas. Ia menatap Arya, mencari kebohongan, mencari lelucon, namun yang ia temukan hanya ketulusan dan ketegasan.
“Pak Arya… saya…” Rika tergagap, tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Selama ini, ia hanya menganggap Arya sebagai penyelamat profesional dan rekan kerja yang baik.
"Aku tahu ini mendadak, Rika. Dan aku minta maaf jika ini membuatmu tidak nyaman,” potong Arya. “Tapi aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Setelah melihat semua yang kamu lalui, dan melihat bagaimana kamu bangkit, aku semakin yakin bahwa kamu adalah wanita yang aku cari.”
“Aku tidak peduli dengan masa lalumu, dengan status jandamu, atau dengan semua drama di SMA Negeri 2. Justru sebaliknya, semua itu membuatku semakin kagum. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa berdiri di sampingmu, bukan hanya sebagai donatur, tapi sebagai pendamping hidupmu.”
Rika menunduk, menatap cangkir kopinya. Pikiran tentang Ramdhan, Cahya, dan semua trauma perceraiannya kembali menyeruak. Ia baru saja menemukan kedamaian dan kariernya; ia takut merusak semuanya dengan melibatkan perasaan.
“Pak Arya,” Rika akhirnya mengangkat kepala. Matanya penuh kejujuran. “Terima kasih. Ini adalah kejutan terbesar dalam hidup saya. Saya sangat menghargai perasaan Bapak.”
“Tapi… saya baru saja menyelesaikan perceraian yang sangat menyakitkan. Luka-luka itu, meskipun sudah sembuh, meninggalkan bekas. Saya masih fokus pada diri saya sendiri, pada karier saya, dan pada janji saya untuk tidak lagi bergantung pada siapa pun.”
Arya mengangguk pelan, seolah sudah mengantisipasi jawaban ini.
“Aku mengerti. Aku tidak memintamu untuk langsung menjawab ‘ya’ sekarang juga, Rika,” kata Arya lembut. “Aku hanya ingin jujur. Aku ingin kamu tahu bahwa ada seseorang di luar sana yang melihatmu secara utuh—semua kelemahan dan kekuatanmu—dan mencintainya.”