Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa Terakhir Sang Demiurge
...Chapter 25...
Kesadaran itu membebani pikiran, menekan naluri kreatif sekaligus tanggung jawab moral nan melekat pada seorang penulis yang hidupnya tercermin dari alur cerita ciptaannya sendiri.
Dan di tengah tekanan itu, satu hal menjadi jelas bagi Theo.
Tidak peduli seberapa brilian skenario atau seberapa agung karyanya Last Prayer yang menjadi fondasi dunia Flo Viva Mythology, ia kini hanyalah pejalan di jalur sempit yang ditetapkan oleh hukum sistem.
Tiap langkah, tiap keputusan harus diperhitungkan dengan presisi, atau ia akan jatuh dalam jebakan skenario yang tidak memaafkan, menyadari bahwa dunia ini sama kejamnya terhadap penciptanya seperti halnya terhadap tokoh yang ia ciptakan.
"Dalam duel yang timpang ini, kau boleh menyerang lebih dulu, Cru.
Kuingin tahu seberapa dalam sistem seperti Anda bisa melukai seseorang yang sudah kehilangan segalanya."
'Heh, gerakannya cepat sekali.
Tanpa jeda, tanpa aba-aba, langsung menghilang.
Rupanya begitulah gaya seorang manifestasi yang menolak basa-basi.'
Slash!
'Tombak itu terbuat dari kaca?
Tunggu, bukan kaca biasa.
Ia memantulkan sesuatu yang lebih dalam daripada cahaya, seolah di dalamnya tersimpan hukum alam nan terbalik, perintah bagi semesta untuk melupakan perbedaannya sendiri.
Sekali terkena, tubuh ini mungkin bukan sekadar robek, melainkan terhapus dari konsep keberadaan.
Cinta dan benci, hidup dan mati, semua menyatu menjadi satu, sebuah kekosongan yang bahkan tak pantas disebut kehampaan.'
Theo menegakkan tubuhnya secepat mungkin, menahan napas sejenak sambil merasakan hawa panas dari tombak kaca yang melesat begitu dekat.
Setiap helai pikirannya berputar cepat, menghitung lintasan dan kemungkinan dampak, menyadari bahwa senjata ini bukan sekadar alat fisik biasa, tetapi entitas yang mampu merobek struktur fundamental dari realitas nan ia kenal.
Ruang di sekeliling bergetar halus, cahaya memantul dari permukaan tombak, membentuk bayangan-bayangan nan bergerak liar, menolak untuk dipahami dengan logika manusia.
Di setiap detik nan terbentang sebelum tabrakan, Theo merasakan nyeri dari kemungkinan kehancuran, kesadaran bahwa satu kesalahan kecil bisa menghapus fragmen penting dari eksistensi dirinya maupun Ilux.
Dengan refleks yang hampir tidak masuk akal, Theo mengguling ke belakang, menekuk tubuh dan memutar pedang yang kini tergenggam erat di tangan kiri, mengarahkan ujung pedang untuk menghalau serangan.
Denting kaca yang nyaris menyentuh permukaan tanah terdengar nyaring di telinganya, getaran nan merambat hingga tulang selangkangan.
Hanya sekejap, tetapi seolah seluruh alam semesta menahan napas.
Hidup dan hancur dipisahkan oleh jeda yang sudah ditiadakan.
Ruang-waktu pun runtuh, dengan mudah ditembus oleh tombak nan melampaui akal sehat.
Di tengah ketegangan, Theo menahan pandangannya tetap fokus pada ruang di depan dan belakang, menyadari bahwa serangan ini bukan sekadar pertarungan fisik, melainkan uji kemampuan seorang penulis yang menjadi bagian integral dari skenario.
'Kau kira aku akan diam menunggu kematian datang dari belakangku?
Aku sudah menulis ratusan bab tentang kematian, aku tahu cara menatapnya tanpa berkedip.
Tapi kali ini, aku memilih untuk menulis ulang takdir bernamakan Eshura Birtash.
Dan jangan rendahkanku sejauh itu!!'
Gerakan Theo mustahil diikuti oleh mata manusia biasa—termasuk yang melampaui ruang dan waktu.
Setiap tarikan napas tersinkronisasi dengan irama denting nan tercipta saat pedang menghantam tombak kaca.
Percikan cahaya biru dan hijau menari liar di udara, menelusuri jalur tumbukan yang tak beraturan namun tertata secara instingtif di benak seorang penulis sekaligus Samurai.
Denting itu memantul di antara pepohonan dan bebatuan, membentuk gema yang menembus ruang dan waktu, memekakkan telinga dan mengguncang tanah di bawah kaki.
Tubuh Theo berputar, bergeser, menekuk, menyesuaikan tiap gerakan dengan refleks yang tidak hanya lahir dari latihan fisik, tetapi dari pemahaman mendalam tentang skenario, realitas, dan bahkan kemungkinan yang masih belum muncul.
'Satu langkah mundur bukan berarti menyerah, tapi ruang untuk merenungkan langkah berikutnya dengan tinta kesadaran yang lebih jernih.
Cru bukan manusia biasa, bukan pula roh.
Ia berada di antara aturan dan kekosongan.
Jika aku menggunakan teknik biasa, seranganku hanya akan memantul, dihapus oleh algoritma perlindungannya.
Kuperlukan sesuatu yang mampu menembus dua realitas sekaligus, melukai wujud dan abstrak, memotong hukum tanpa menyentuh ruang.'
Fuuuuuh!
'Heh, sudah lama dia tidak menggunakan teknik tersebut, Teknik Internal Menebas, hasil pahit dari pelatihan Erusha Birtash, identitas yang bahkan tidak sepenuhnya milikku namun tertanam dalam darah.'
Theo mundur dengan cepat.
Setiap langkahnya memantul di atas permukaan tanah yang sedikit berdebu, menyisakan jejak samar di antara bayangan pepohonan nan terdistorsi oleh cahaya matahari senja.
Pedangnya dipegang dengan tegas di depan, mata Theo menyapu ruang sekitar dengan ketajaman yang hanya dimiliki seorang penulis sekaligus pejuang.
Setiap gerakan, setiap posisi lawan terbayang di benaknya sebagaimana halaman skenario yang terbentang.
Napasnya tertahan sebentar.
Tubuhnya terus menyesuaikan diri dengan Inti Lu yang mengalir dari dalam, memanfaatkan sisa kekuatan yang masih ada dari dunia Flo Viva Mythology nan kini menyatu dengan realitas—sehingga setiap detik menjadi momen krusial begitu menentukan, setiap langkah adalah persiapan matang untuk benturan lebih dahsyat.
Dalam kesunyian yang sempat tercipta di tengah denting-denting sisa perlawanan, Theo menenangkan diri, menyalurkan energi internalnya ke dalam setiap serat otot, memusatkan semua perhatian pada satu titik imajiner di depan.
Teknik Internal Menebas yang hendak ia lancarkan bukan sekadar gerakan fisik.
Ia adalah manifestasi dari identitas Erusha Birtash, Samurai yang lahir dari pemikiran dan kecerdikan Theo Vkytor, menyatukan kekuatan tubuh, pedang, dan intuisi seorang penulis.
Semua detik yang telah dilewati sejak pertarungan ini dimulai kini dikompresi menjadi satu kesempatan untuk mengubah alur, memastikan variabel yang tak terduga bisa dikendalikan tanpa menghancurkan keseimbangan nan rapuh antara dunia nyata dan dunia game.
'Kuakui teknik ini masih belum sempurna.
Erusha dulu terlalu asyik dengan botol minuman dan wanita, ketimbang menyelesaikan mahakarya pedang paling berbahaya di dunia.
Namun di situlah nilai estetikanya.
Sebuah teknik yang dilahirkan dari kelalaian, dari sifat manusia yang enggan menyelesaikan, dan kini aku, Theo Vkytor, penulis yang hidup di antara tulisan dan kehampaan, akan menyempurnakannya dengan narasi logika dan tekad pena.'
Husssh!
'Teknik Internal Menebas, serangan yang tidak datang dari arah manapun karena ia tanpa arah.
Ia tercipta di dalam tubuh lawan, muncul dari pusat organ, jantung, paru, jiwa bahkan Parameter itu sendiri.
Tidak ada ruang mengelak—karena luka tidak dihasilkan dari luar, melainkan dibentuk dari dalam.
Puluhan meter bukan masalah.
Ribuan kilometer pun tak berguna.
Saat niat dikukuhkan, tidak ada teleportasi, tidak ada dimensi, tidak ada hukum nan mampu menghapus luka yang telah diukir oleh pedang ini.'
Di bawah langit nan menegang seperti halaman kertas yang belum dikeringkan tintanya, Theo berdiri sebagai simpul antara naskah dan kenyataan, merasakan setiap getar kecil di sekitar sebagai bisikan dari cerita paling terluka.
Teknik Internal Menebas yang hendak ia lepaskan bukanlah gerakan topang yang biasa dipelajari prajurit, melainkan jurus nan terlahir dari kepingan naskah paling jujur dari darah dan ingatan, sesuatu yang mengalir turun dari rahim imajinasi Erusha Birtash menjadi nyala di urat-urat Theo.
Ia tahu teknik itu belum sempurna, setengah jadi karena kebiasaan sang pendahulu yang lebih memilih botol daripada latihan.
Namun ketidaksempurnaan itu tidak mengurangi muatan keganasan yang terkandung di dalamnya.
Dalam kesunyian yang tebal, ia rasakan teknik itu sebagai napas yang menumpuk di rongga dada, sebuah pilihan nan harus ditebus dengan harga—bukan sekadar strategi yang bisa diulang seperti bab yang gagal.
Bersambung….