Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Sesampainya di rumah sakit, dokter segera memeriksa keadaan Ara yang masih lemas. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Edward berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan wajah tegang.
Jemarinya tak henti mengetuk-ngetuk paha, tanda kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Setiap kali suara alat medis terdengar dari dalam ruangan, dadanya seolah ikut bergetar.
“Bobby, temani Ara sebentar. Aku ada urusan,” ucap Edward tiba-tiba. Ia bahkan tak menoleh sedikit pun saat berlalu dari sana.
Bobby, yang sedari tadi ikut cemas menunggu, menatap tuannya dengan bingung.
“Baik, Tuan,” jawabnya patuh meski hatinya bertanya-tanya.
Urusan apa yang lebih penting daripada istri yang sedang sakit? Jangan-jangan dia mau kabur lagi dari tanggung jawabnya? pikirnya curiga.
Namun ia tetap diam, hanya memperhatikan punggung Edward yang semakin menjauh di ujung lorong rumah sakit.
Ternyata, Edward menuju ke gedung sebelah. Ini adalah rumah sakit cabang milik keluarga Frederick.
Edward menekan tombol lift dan menatap pantulan dirinya di pintu logam yang mengilap. Wajahnya tampak lelah, tapi ada tekad yang kuat di balik tatapan matanya.
Di lantai tiga, ia disambut oleh seorang wanita berjas dokter dengan rambut hitam yang disanggul rapi. Tatapan wanita itu tajam, dingin, namun memancarkan wibawa.
Dialah Alana Frederick, seorang dokter spesialis kandungan ternama sekaligus sosok yang dikenal tegas dan tak mudah luluh.
“Bagus, akhirnya kau ingat punya kakak,” sindir Alana dengan nada ketus sambil berkacak pinggang. “Untuk apa kau datang setelah membuat orang tua kita kecewa dengan semua kebodohanmu itu?”
Edward mengembuskan napas panjang, menatap kakaknya tanpa rasa bersalah.
“Aku tidak ke sini untuk membahas mereka. Aku butuh bantuanmu. Kalau kau tidak mau, aku bisa cari dokter lain.”
Alana memutar bola matanya dengan malas. “Astaga, kau memang tidak pernah berubah. Selalu seenaknya sendiri.”
“Alana!” Edward meninggikan suaranya sedikit. “Aku tidak punya waktu untuk berdebat.”
Mengetahui adiknya sedang serius, Alana akhirnya melunak. Ia melipat tangan di dada.
“Baiklah. Katakan cepat sebelum aku berubah pikiran.”
Edward sempat terdiam sejenak, tampak ragu untuk memulai. Ia berdehem lalu menatap kakaknya dengan wajah datar, tapi nada suaranya terdengar canggung.
“Temanku mengalami... masalah,” ujarnya.
“Masalah?” Alana menaikkan satu alis. “Masalah apa? Utang? Luka tembak?”
“Bukan. Dia... impoten,” jawab Edward cepat.
Alana hampir tersedak napasnya sendiri. “Apa?! Kau bercanda?”
“Aku serius,” potong Edward cepat. “Temanku dijodohkan. Padahal dia punya wanita lain. Setiap kali dekat dengan istrinya, bagian tubuhnya itu seperti tersetrum. Tapi tidak bisa berdiri dengan sempurna. Kira-kira kenapa? Dia bahkan tak bisa bangun saat bersama wanita dia cintai nya itu.”
Untuk beberapa detik, Alana hanya menatap Edward tanpa kata. Lalu ia mendengus kesal, meraih buku medis di meja dan memukulkannya pelan ke kepala adiknya.
“Kau ini tolol atau pura-pura bodoh, hah?!” serunya. “Kau mafia yang katanya ditakuti banyak orang, tapi ngomong beginian ke kakak sendiri?!”
Edward meringis, menahan sakit di kepala dan malu di dada. “Aku hanya bertanya secara medis,” bela Edward datar.
“Secara medis katamu!” gerutu Alana. “Kalau bagian itu bereaksi saat bersama istrinya, itu tandanya dia terangsang! Harusnya dia bersyukur, bukan panik! Dan Justru bagus dia bangun bukan karena selingkuhannya!”
Alana kesal setiap kali ada pria yang berselingkuh saat dia sudah memiliki istri.
“Jadi, itu artinya dia masih normal?” tanya Edward, berusaha terdengar tenang padahal wajahnya mulai memerah.
“Ya, normal hanya pada istrinya saja!” Alana menatapnya curiga. “Siapa temanmu itu, hah? Aku bahkan tidak yakin kau punya teman sedekat itu sampai tahu detail begini.”
Edward terbatuk kecil. “Lupakan identitasnya. Katakan saja solusinya.”
Alana menghela napas panjang, lalu menjelaskan dengan nada profesional tapi masih sinis. “Katakan pada temanmu, supaya sering berdekatan dengan istrinya. Jangan menghindar. Istrinya juga harus sering menyentuh bagian itu. Agar syarafnya terbiasa. Bisa diurut dengan lembut, biar rileks.”
Edward spontan tersedak ludahnya sendiri. “Di-urut?” tanyanya kaget.
“Hmm,” jawab Alana santai sambil menulis sesuatu. “Pakai tangan istrinya, tentu saja. Itu terapi paling alami.”
Pipi Edward terasa panas. Bayangan Ara yang lembut dan polos memegang tubuhnya tiba-tiba melintas di kepalanya. Ia buru-buru menggeleng, mencoba menyingkirkan bayangan itu.
“Sudah, keluar sana!” bentak Alana tiba-tiba, sadar kalau wajah adiknya mulai merah seperti kepiting rebus. “Dan jangan pernah datang lagi dengan topik memalukan seperti ini! Suruh temanmu itu bersyukur karena punya istri yang istimewa?”
“Istimewa?”
“Karena bisa membangunkan miliknya tanpa harus repot-repot ke dokter,” ucap Alana.
Edward yang tak berdaya hanya bisa menunduk dan bergegas keluar. Saat pintu ruang Alana tertutup, ia menghela napas berat.
“Diurut oleh Ara? Apa aku sanggup?” gumamnya pelan dengan wajah semakin merah.
Langkahnya menuntun kembali ke ruang tunggu. Dari kejauhan, ia melihat Ara sudah duduk di kursi, tampak lebih segar. Senyum kecil menghiasi wajahnya saat berbicara dengan Bobby.
Namun bagi Edward, pemandangan itu malah menyalakan bara lain di dadanya. Kenapa mereka terlihat begitu akrab? pikirnya kesal.
Ia mempercepat langkah, suaranya terdengar dingin saat berkata, “Apa yang kalian lakukan?”
Bobby langsung menoleh, wajahnya berubah kaku. “T-tidak ada, Tuan. Kami hanya bercanda,” ucapnya gugup.
Edward menatap keduanya bergantian. Tatapannya tajam, seperti pisau yang siap menebas.
“Kita pulang!” katanya singkat sambil menggenggam tangan Ara.
Ara terkejut, tapi tak melawan. Ia hanya sempat menatap Bobby dengan tatapan meminta maaf sebelum mengikuti langkah Edward yang berjalan cepat meninggalkan rumah sakit.
Bobby menghela napas panjang. Tatapannya tertuju pada punggung Ara yang perlahan menghilang di balik pintu keluar.
“Kasihan,” gumamnya pelan. “Sepertinya hidupmu akan makin rumit setelah ini, Nona.”
Dan benar, di dalam mobil yang melaju diam menuju rumah, hawa tegang mulai mengisi ruang sempit itu. Edward diam, tapi genggamannya pada tangan Ara terasa kuat.
Seolah ingin memastikan sesuatu. Ara menatapnya bingung, tak tahu bahwa di balik diamnya, ada badai perasaan yang mulai ia tak mampu bendung lagi.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul