Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 — Foto yang Tidak Sama
Rendra berhasil mencapai penginapannya. Ia berlari kencang, menembus tirai hujan merah yang untungnya mereda intensitasnya begitu ia menjauhi rumah Nyai Melati. Hujan masih turun, namun kembali ke warna kelabu keruh yang ia kenali.
Saat ia tiba, ia langsung menutup pintu kayu kamar penginapan yang lembab itu, menguncinya, dan menyandarkan tubuhnya ke pintu. Napasnya terengah-engah, bau amis darah menempel di jaket dan rambutnya. Tasbih kayu dari Nyai Melati terasa dingin dan berat di telapak tangannya.
Ia tidak bisa memercayai apa yang baru saja terjadi. Bukan hanya bertemu dengan Nyai Melati, tapi juga pengalaman sureal melihat hujan berubah menjadi darah kental. Itu bukan ilusi. Itu adalah ancaman.
Setelah mengatur napas, Rendra bergerak ke kamar mandi yang sempit dan remang-remang. Ia harus mencuci film yang ia ambil tadi pagi di Sumur Tua, foto yang menangkap bayangan Yang Basah. Ia harus mencucinya sekarang, sebelum kelembaban atau Yang Basah sendiri merusak bukti tersebut.
Di bawah cahaya lampu minyak yang berkedip, Rendra mengeluarkan peralatan pencucian filmnya. Cairan kimia yang ia gunakan—developer, stopper, fixer—mengeluarkan bau tajam yang kontras dengan bau lembab dan besi di kamar itu. Ia bekerja dengan cepat, namun teliti, dengan ritual tenang seorang fotografer di tengah badai emosi.
Satu per satu negatif film itu ia keringkan. Ada foto-foto sumur tua, akar pohon yang meliuk, dan wajah tegang Dimas. Kemudian, ia sampai pada bidikan yang paling penting: foto yang diambil tepat saat hening yang mematikan terjadi.
Rendra mencetak foto itu perlahan.
Saat gambar mulai muncul di kertas foto, ia merasa seluruh darahnya membeku. Itu adalah pemandangan di sekitar sumur. Kabur, gelap, dan penuh butiran air yang mengaburkan fokus. Di atas batu penutup sumur, memang ada siluet hitam pekat yang menjulang, seperti sosok yang terbuat dari kabut tebal. Rendra berhasil menangkap esensi Yang Basah.
Ia membalik foto itu, membiarkannya kering sebentar, lalu mencetak foto berikutnya—foto terakhir dalam rol itu. Foto ini diambil Rendra tanpa melihat ke lensa. Ia hanya membidik cepat ke arah belakangnya, sesaat sebelum hujan merah itu datang, mengarahkannya ke jalanan berlumpur di depannya, tepat setelah ia bertemu Dimas pagi itu.
Foto itu mulai terbentuk: jalanan lumpur yang sepi, rumah-rumah kayu yang tertutup lumut, dan langit kelabu yang meneteskan air. Namun, di sudut kanan atas foto, di balik tirai rintik hujan yang tipis, ada sosok perempuan.
Sosok itu berambut panjang, basah kuyup, berdiri di sana, tanpa bergerak.
Tapi saat itu aku sendirian. Rendra mengingat dengan jelas. Ia yakin seratus persen, tidak ada orang di jalan saat ia membidik foto itu, apalagi seorang perempuan berambut panjang.
Rendra meraih foto itu, tangannya gemetar hebat. Ia mendekatkan foto itu ke lampu minyak, mencermatinya. Sosok perempuan itu memiliki fitur yang samar karena tertutup tirai hujan, tetapi senyumnya terlihat jelas. Senyum yang lebar, tidak alami, dan anehnya… familiar.
Ia meraih foto Rani, adiknya yang hilang. Ia membandingkan keduanya.
Rendra terkesiap, tersedak napasnya sendiri.
Sosok perempuan di balik hujan itu memiliki kontur tubuh, tinggi, dan senyum yang hampir identik dengan Rani. Namun, ada perbedaan yang mencolok dan mengerikan: mata pada sosok di foto itu tampak kosong, dan di pipi kirinya, ada noda yang terlihat seperti lumut hijau yang menjalar, atau mungkin memar yang gelap.
Adikmu masih di sini. Tapi dia bukan lagi manusia sepenuhnya. Kata-kata Nyai Melati bergema di kepalanya, diiringi suara gemericik air yang semakin membebani malam.
Rendra meletakkan kedua foto itu di atas meja, menatapnya. Jika ini Rani, ia tidak sedang diculik. Ia sedang mengawasi. Mengawasi kakaknya, dari balik hujan, dari balik batas yang tidak lagi memisahkan manusia dan entitas.
Rendra merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Ia adalah seorang skeptis, ia percaya pada bukti visual. Dan bukti visualnya sekarang menunjukkan: adiknya telah menjadi bagian dari teror desa ini.
Tiba-tiba, ia menyadari sesuatu. Bau yang selalu menyertai hujan di sini. Bau besi, bau darah. Dimas bilang itu bau tanah subur. Pak Darmo bilang itu dosa masa lalu. Nyai Melati bilang itu memori.
Tapi, bau itu kini terasa seperti parfum yang terbuat dari bau kematian, dan bau itu semakin kuat. Bau yang kini terasa lebih dekat, seolah-olah ia bisa merasakannya di balik pintu kamarnya.
Hujan di luar tiba-tiba turun semakin deras, menghantam atap kayu dengan kekerasan yang menggila.
Lalu, di antara deru hujan yang memekakkan telinga, Rendra mendengarnya.
Suara langkah kaki.
Bukan langkah kaki biasa. Bukan langkah kaki manusia yang menginjak lumpur. Itu adalah suara gemericik air yang bergerak, seolah seseorang berjalan dengan tubuh basah kuyup, atau berjalan di genangan air yang sangat dangkal.
Suara gemericik itu terdengar tepat di luar jendela kamarnya. Jendela kecil yang kacanya selalu berembun karena kelembaban abadi Desa Waringin.
Rendra menoleh, jantungnya berdebar kencang, mengikuti irama gemericik itu. Yang Basah? Rani?
Ia meraih senter kecilnya. Cahayanya bergetar di tangannya yang basah.
Suara gemericik itu berhenti. Tepat di samping jendela.
Rendra menahan napas. Ia menempelkan telinganya ke jendela yang dingin dan basah. Ia tidak mendengar apa-apa, kecuali deru hujan yang seolah sedang berbisik.
Kemudian, ia melihatnya.
Kaca jendela yang berembun itu perlahan-lahan mulai dibersihkan dari luar. Seperti ada jari yang basah, yang bergerak pelan, membersihkan embun dari kaca, membuat lingkaran kecil yang bening.
Rendra mundur selangkah, napasnya tertahan. Lingkaran bening itu semakin besar.
Dan dari balik kaca, yang kini bersih di tengah embun tebal, sepasang mata mengawasinya.
Mata itu gelap, tanpa pupil, dan tampak basah kuyup, tidak berkedip. Mata yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi, tetapi memancarkan rasa lapar yang dingin. Mata yang Rendra kenali dari foto Rani.
Rendra tidak bisa berteriak. Ia terpaku, terperangkap dalam tatapan dingin yang dipenuhi air itu.
Mata itu bergerak pelan, seolah sedang mengamati setiap detail wajah Rendra, setiap ketakutan yang terpantul di sana.
Tiba-tiba, mata itu menghilang.
Dan di kaca yang bersih, perlahan-lahan terbentuk tulisan. Tulisan yang ditulis dengan cairan keruh berwarna kemerahan. Tulisan yang dibuat oleh jari yang sama yang tadi membersihkan embun.
Tulisan itu berbunyi:
“AKU ADIKMU, KAK.”
Rendra tersentak mundur, menabrak meja kayu di belakangnya. Cairan pencuci film dan kertas foto berhamburan ke lantai. Ia menatap tulisan di kaca itu. Tulisan yang ditulis dengan darah, atau air hujan yang terkontaminasi darah.
Ia merasakan mual yang hebat. Bukan karena bau darah yang amis. Tapi karena kenyataan mengerikan yang menatapnya dari balik kaca jendela yang berembun. Adiknya tidak hilang. Adiknya telah berubah.
Rendra menutup mata, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya halusinasi yang dipicu oleh kelelahan dan tekanan psikologis di desa terkutuk ini. Namun, saat ia membuka mata, tulisan itu masih ada, dan di sudut kaca yang lain, ia melihat bayangan yang bergerak:
Sesosok bayangan yang panjang dan kurus, perlahan-lahan menjauh dari jendela, kembali ke dalam kegelapan dan gemericik hujan.
Rendra mencengkeram tasbih kayu dari Nyai Melati, menatap bayangan yang menjauh itu, dan ia tahu, ia tidak punya banyak waktu lagi. Ia harus kembali ke Sumur Tua. Ia harus menggali kebenaran yang ditanam oleh ayahnya.
Ia mengumpulkan kembali hasil cetak fotonya, terutama foto Rani di balik hujan. Ia memasukkannya ke dalam saku tersembunyi jaketnya.
Tidak ada lagi waktu untuk memilah-milah antara mitos dan kenyataan. Ia harus percaya. Ia harus mencari Rani sebelum Yang Basah—atau adiknya yang telah berubah—datang lagi dan membawanya pergi selamanya, mencuci jejaknya dengan darah di tanah hujan ini.