Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 14.
Hari itu, badai tidak datang dari langit, tapi dari mulut manusia.
Karina melangkah masuk ke rumah besar keluarga Adrian dengan wajah berpura-pura sedih. Di hadapan ibu dan beberapa saudara Adrian yang sedang berkumpul, ia menarik nafas panjang seolah menahan tangis.
“Tante,” suaranya serak penuh pura-pura iba, “Saya cuma tidak tega lihat Mas Adrian dimanfaatkan.”
Tatapan ibu Adrian langsung tajam. “Maksudmu apa, Karina?”
Karina menghela napas berat, lalu mengeluarkan foto-foto dari ponselnya. Foto saat Adrian, Alana, dan Alima di taman.
“Lihat sendiri, Tante. Perempuan itu dulu cuma baby sitter di rumah Aruna. Tapi sekarang dia jadi ‘istri siri’ Adrian. Katanya pernikahan itu cuma formalitas, karena kak Aruna minta begitu sebelum meninggal. Tapi saya dengar, dia mulai bertingkah seolah pemilik rumah. Bahkan pakai perhiasan kak Aruna, tidur di kamar kakak, dan mengatur semua hal di rumah itu.”
Beberapa keluarga saling berbisik.
Karina menunduk pura-pura iba. “Saya cuma takut, Tante... Alana itu bukan perempuan polos seperti kelihatannya. Dia cuma mau satu hal, harta Mas Adrian.”
Wajah ibu Adrian menegang. “Cukup!”
Ia berdiri, matanya menyala marah. “Kalau itu benar, dia sudah melampaui batas.”
Tanpa menunggu Adrian pulang, perempuan itu langsung berangkat ke rumah putranya dengan supir.
Sore itu, Alana baru selesai mencuci tangan di dapur saat suara bel rumah terdengar keras. Ia terkejut melihat ibu Adrian berdiri di sana dengan tatapan dingin menusuk.
“Ibu… silakan masuk,” katanya gugup, tapi sopan.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Wanita itu menggebrak meja di ruang tengah, suaranya keras dan penuh emosi.
“Kau pikir aku tidak tahu, ya? Kau kira aku tidak dengar apa yang kau lakukan?”
Alana terdiam. “Saya tidak mengerti maksud Ibu…”
“Kau pikir aku akan percaya kalau Aruna minta Adrian menikahi mu? Aku tahu tipe perempuan seperti kamu! Manis di luar, tapi hatinya busuk! Kau cuma mau naik derajat, dari pengasuh jadi nyonya rumah!”
Alana menunduk. “Saya tidak pernah berniat seperti itu, Bu. Saya hanya menjalankan amanah—”
“Cukup!” bentaknya.
Ia lalu menatap Alima yang berdiri di tangga, ketakutan. “Alima akan ikut denganku! Tidak pantas cucuku dibesarkan oleh perempuan seperti kamu!”
“Ibu, tolong jangan pisahkan saya dari Alima…” Alana berusaha menahan air mata, tapi suaranya gemetar.
Ibu Adrian menatapnya tajam. “Kau kemasi barangmu. Pergi dari rumah ini sekarang juga sebelum Adrian pulang! Aku tidak mau perempuan murahan menodai rumah anakku!”
Kata “murahan” itu terasa seperti cambuk di wajah Alana.
Tangannya bergetar, tapi ia menurut. Ia mengemasi beberapa pakaian, memasukkan ke dalam tas hitam kecil, dan berdiri di depan pintu.
Alima menangis keras. “Bunda jangan pergi!”
Alana berlutut menatap wajah kecil itu, berusaha tersenyum meski air matanya jatuh. “Alima sayang, Bunda cuma mau istirahat sebentar, ya. Dengerin Nenek dulu...”
Ia mencium dahi anak itu lama, lalu berjalan keluar dengan langkah berat.
Rumah itu terasa kembali kosong, hanya ada suara pintu tertutup dan hati yang seakan ikut hancur.
Di halte depan kompleks, Alana berdiri sendirian.
Tas kecil di tangan, wajahnya menunduk. Ia berpikir akan pulang ke kampung, ke tempat di mana tak akan ada yang menghinanya.
Namun di tengah langkahnya, suara lembut Aruna muncul di kepalanya.
“Alana... aku tahu kamu orang kuat. Kalau suatu hari ada yang mengusir mu, jangan pergi. Karena rumah ini, juga rumahmu. Jangan biarkan siapa pun merampas tempatmu, di samping Mas Adrian.“
Alana berhenti, air matanya menetes di pipi.
Ia menatap langit yang mulai senja, dan berbisik pelan. “Baik, Nyonya… Saya tidak akan lari.”
Sementara itu di kantor, Adrian baru saja menutup rapat saat menerima telepon dari Alima. Putrinya menangis dan mengatakan dia dibawa sang nenek dan Bundanya disuruh pergi.
Adrian langsung berdiri, Ia berlari keluar dan naik ke mobil melaju secepatnya.
Pikirannya kacau.
“Pergi ke mana dia?!” gumamnya sambil menekan gas lebih dalam.
Tapi saat ia mencari kontak Alana untuk menghubungi wanita itu, ia bahkan tak tahu nomor ponsel Alana, ia tak pernah menanyakannya.
Bahkan ia tidak tahu teman-teman dan kehidupan Alana sebelum datang menjadi baby sitter di rumahnya.
Ia hanya tahu, Alana setiap hari di rumah. Dan sekarang, perempuan itu hilang. Akhirnya Adrian memutuskan untuk pulang lebih dulu ke rumah, mungkin akan ada petunjuk tentang Alana.
Hari sudah sore ketika Adrian berhenti di depan rumah. Ia berjalan cepat ke dalam, menatap ruangan yang kosong.
Namun saat langkahnya menuju dapur, sebuah aroma jahe hangat menyambutnya.
Dan, di sana... di bawah cahaya lampu dapur Alana berdiri. Memegang sendok kayu, sedang mengaduk air jahe di panci.
“Alana…”
Wanita itu menoleh pelan, wajahnya tenang meski matanya masih sembab. “Saya baru saja kembali dan membuat jahe untuk Tuan.”
Adrian tak bisa menahan diri. Ia melangkah cepat lalu tanpa berpikir, menarik Alana ke dalam pelukannya. Pelukan itu sangat erat, seolah ia takut kehilangan seseorang lagi.
Alana membeku di tempatnya, ia juga bisa merasakan degup jantung pria itu saat memeluknya.
Adrian menutup matanya, “Aku pikir aku kehilanganmu,” bisiknya parau.
“Aku tidak tahu harus ke mana mencarimu. Aku… tidak bisa tenang.” Lanjutnya.
Alana terdiam, air matanya pun jatuh tanpa ia sadari.
Adrian melepaskan pelukan itu sedikit, menatap wajah Alana. Dan tanpa sadar, ia menunduk untuk mengecup kening Alana perlahan.
Ciuman itu bukan sekadar syukur. Ada perasaan yang selama ini ia tahan di dalam, kini pecah begitu saja.
“Jangan pergi...”
Dan malam Alana mulai berharap, meski terlambat tapi dia bisa dicintai oleh suaminya.