NovelToon NovelToon
Aku Pergi...

Aku Pergi...

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Penyesalan Suami
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Call Me Nunna_Re

Luna Maharani.

Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.

Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.

“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”



Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.

Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.

Luna.

Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.

Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23

Jovan duduk bersandar di kursi kerjanya setelah Anisa meninggalkan ruangan. Pintu sudah tertutup rapat, namun pikirannya belum juga tenang. Pandangannya kosong, terarah pada cangkir kopi di mejanya yang mulai kehilangan uap panasnya.

Bekas memar samar di wajah Anisa terlintas kembali di benaknya, membuat sesuatu di dalam dirinya terusik, Jovan merasa ada yang aneh.

 “Make up setebal itu tidak mungkin menutupi luka baru... Apakah dia dipukul seseorang?”

Biasanya, Jovan tak pernah peduli pada urusan pribadi karyawan, apalagi anak magang. Tapi entah kenapa kali ini, pikirannya tidak bisa diam.

Beberapa detik kemudian, ia menekan tombol interkom di mejanya.

“Damian, ke ruangan gue sekarang.”

Tak sampai satu menit, pintu terbuka. Damian, sekretaris utama sekaligus tangan kanan Jovan masuk sambil membawa tablet dan beberapa berkas.

 “Ada yang bisa gue bantu,?”

Jovan menatapnya datar, lalu menyandarkan tubuh ke kursi dengan tangan terlipat di depan dada.

“Cari tahu semuanya tentang anak magang yang baru gue tugaskan menjadi sekretaris gue.”

Damian tampak sedikit terkejut.

“Maksud Lo… Anisa Putri?”

“Ya.”

Nada suara Jovan datar, tapi tegas. “Gue ingin tahu semuanya. Latar belakangnya, keluarganya, tempat tinggal, bahkan kenapa dia punya luka memar di wajahnya.”

Damian menatap bosnya dengan ragu.

“Apakah lo mau gue menanyakannya langsung pada yang bersangkutan?”

Jovan menggeleng pelan.

“Tidak. Jangan tanya dia apa pun. Lakukan dengan diam-diam. Gue tidak ingin dia tahu bahwa gue menaruh perhatian padanya.”

Damian sedikit tersenyum, ia sudah lama mengenal Jovan. Saat bosnya mulai “tidak ingin terlihat peduli,” itu justru pertanda Jovan benar-benar peduli.

“Baik, Bos. Gue akan tugaskan orang gue untuk mengumpulkan data secepatnya.”

“Pastikan hasilnya bersih dan detail,” lanjut Jovan. “Gue tidak ingin ada informasi yang terlewat.”

Damian mencatat cepat di tabletnya, lalu bertanya hati-hati.

“Kalau boleh tahu, Bos... apa yang membuat lo begitu tertarik pada gadis itu?”

Jovan menatap Damian tajam, lalu berdiri perlahan sambil merapikan jasnya.

“Gue tidak tertarik,” katanya datar. “Gue hanya ingin semua data orang yang menjadi sekretaris gue harus jelas dan valid. Dan gadis itu... sepertinya menyembunyikan sesuatu.”

Ia berjalan ke arah jendela besar, menatap langit yang mulai berubah warna.

“Seseorang yang datang dengan luka di wajah dan mata yang terlalu tenang itu bukan hal biasa, Damian.”

Damian hanya menunduk, menahan komentar yang sebenarnya ingin keluar. Ia tahu, Jovan bukan tipe pria yang mudah tergerak oleh simpati. Tapi cara bosnya menyebut nama Anisa saja sudah cukup menunjukkan bahwa gadis itu mulai mengguncang ketenangan hati sang CEO.

“Baik, Pak Bos,” ucap Damian akhirnya. “gue akan segera melaporkan hasilnya begitu selesai.”

“Bagus.”

Setelah Damian keluar, Jovan masih berdiri di depan jendela. Pandangannya kosong menatap langit kota yang penuh cahaya.

“Anisa Putri...” gumamnya pelan.

“Siapa kamu sebenarnya, dan luka seperti apa yang sedang kamu sembunyikan?”

Saat Anisa memasuki ruangan, Jovan berhenti sejenak.

Aroma kopi hangat bercampur wangi mawar samar dari parfum Anisa memenuhi udara. Gadis itu berdiri di sisi meja dengan postur tegak, memegang iPad dan beberapa berkas penting.

“Kopi Anda, Pak.” ujarnya sopan dengan suara lembut.

Jovan hanya mengangguk singkat.

Namun sepanjang hari itu, tatapan matanya beberapa kali tanpa sadar menelusuri wajah Anisa. Make up nya hari ini lebih tebal dari kemarin, tapi tetap tidak bisa menutupi raut lelah di balik senyum tenang itu.

Meski begitu, performanya nyaris sempurna.

Anisa bekerja cepat namun hati-hati. Semua berkas yang diminta selalu siap bahkan sebelum Jovan memintanya. Ia tak banyak bicara, tapi setiap kali diminta pendapat, jawabannya singkat, padat, dan penuh logika.

Siang itu, Jovan mengadakan rapat internal dengan beberapa kepala divisi untuk membahas strategi promosi produk baru Millanoz Group.

Damian yang biasanya mencatat poin-poin penting kini digantikan oleh Anisa.

“Baik, rapat hari ini kita mulai,” suara Jovan tegas tapi tenang. “Saya ingin mendengar pandangan baru untuk promosi media bulan depan. Damian, catat.”

Namun Damian menatap Anisa sejenak dan menjawab,

“Anisa sudah menyiapkan sistem notulensi digital, Pak. Semua poin akan langsung tersinkron ke server pusat.”

Jovan mengangkat alis tipis, agak terkejut.

“Begitu ya?”

“Ya, Pak,” sahut Anisa pelan. “Akan lebih efisien jika setiap divisi bisa langsung mengakses hasil rapat tanpa menunggu file manual.”

Seluruh ruangan menoleh ke arah gadis itu.

Salah satu kepala divisi bahkan sempat berbisik kecil, kagum pada ide sederhana tapi efektif tersebut.

“Lanjutkan,” ujar Jovan.

Selama rapat berlangsung, beberapa kali Jovan mengajukan pertanyaan tajam mengenai tren pasar dan strategi kompetitor.

Anisa yang awalnya hanya mencatat tiba-tiba angkat bicara, menjelaskan analisis singkat berdasarkan riset yang pernah ia buat saat kuliah.

“Menurut saya,Pak,” ujarnya tenang, “tren konsumen muda sekarang lebih responsif terhadap promosi yang bersifat interaktif, bukan sekadar visual. Jika kita menggabungkan pendekatan emosional dengan storytelling yang kuat, maka brand Millanoz akan lebih mudah diingat oleh masyarakat.”

Ruangan hening sesaat.

Bahkan Jovan yang biasanya sinis terhadap opini bawahan hanya menatap gadis itu lama, seolah tak percaya ide secerdas itu keluar dari seorang anak magang.

“Menarik,” gumamnya singkat.

“Siapkan proposal rinci besok pagi. Saya ingin melihat bagaimana kamu mengemas ide itu.”

“Baik, Pak.”

Setelah rapat selesai, para kepala divisi berbisik-bisik kagum di luar ruang rapat.

“Anak magang itu luar biasa.”

“Gila, dia berani bicara di depan CEO dan jawabannya rapi banget.”

Damian yang mendengar hanya tersenyum kecil. Ia tahu, Jovan tidak pernah memuji siapa pun, tapi dari ekspresinya tadi, jelas sekali bahwa Anisa telah menarik perhatiannya.

Sore hari, Jovan memanggil Damian.

“Gue suka cara kerjanya,” katanya pelan, sambil menatap laporan hasil rapat di tangannya. “Dia berbeda. Teliti, sopan, tapi punya pemikiran yang tajam.”

“Apakah lo mau gue tambahkan evaluasi khusus?”

“Tidak perlu,” jawab Jovan. “Tapi pastikan dia tetap jadi sekretaris gue sampai program magangnya selesai. Dan Damian…”

Damian menatapnya.

“Ya, Bos?”

“Kalau ada yang mencoba menjatuhkannya di kantor ini, pastikan mereka tahu siapa yang sedang mereka hadapi.”

Damian hanya mengangguk, memahami maksud di balik kalimat dingin sang CEO.

Sementara itu, di meja kecil dekat jendela, Anisa menatap layar laptopnya. Ia tersenyum kecil, bahagia karena hari pertamanya berjalan lancar.

Namun jauh di dalam hati, ia tidak tahu bahwa di ruangan lain, ada seorang pria dingin yang perlahan, tanpa sadar mulai memperhatikan setiap langkahnya dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.

Sementara itu di apartemennya Luna sudah mengamuk karena sudah pukul 20.00 WIB namun Anisa belum juga kembali, sedangkan ia saat ini tengah merasa lapar dan ingin meminta gadis itu membuatkannya makan malam. Lagi-lagi Bima terlambat pulang karena ada meeting dadakan, sedangkan Luna males untuk memesan makanan di luar, ia lebih memilih untuk membuat Anisa repot dan ketika gadis itu kelelahan itu merupakan sebuah kepuasan bagi Luna.

"Awas aja nanti kalau lo pulang, gue akan bikin lo jadi babu gue, gadis kampung sialan!!" Maki Luna melemparkan ponselnya ke sofa.

1
Ma Em
Anisa kalau Luna berbuat macam macam pada Anisa lawan saja jgn mau dihina atau diinjak injak harga diri Anisa , Anisa bkn babu tapi istri sah daripada Luna cuma selingkuhan , Anisa berhak usir Luna dari apartemen yg Anisa tinggali dan kalau Bima marah lawan jgn diam saja .
Ma Em
Cepatlah enam bulan berlalu agar Anisa bisa secepatnya meninggalkan Bima , semoga Anisa berjodoh dgn Jovan .
Ma Em
Anisa semangat dan sabar semoga enam bulan cepat berlalu lalu tinggalkan Bima seumpama Bima berubah jadi jatuh cinta sama Anisa jgn mau terima biarkan Bima dgn Luna , semoga Anisa bisa berjodoh dgn Jovan dan berbahagia .
Ma Em
Thor banyak typo harusnya disita negara bkn disiksa negara 🙏🙏
Call Me Nunna_Re: nanti di revisi ya kak🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!